Pagi-pagi buta, Riana sudah berjongkok di depan gerbang rumahnya. Dia menggunakan kacamata pembesar, satu tangannya memegang senter kecil. Wanita itu menyisir gerbang dari atas hingga bawah, dari ujung satu ke ujung lain. Tidak ada tanda-tanda kerusakan pada gerbang rumahnya. Kala itu, waktu baru menunjukkan pukul 4 pagi, ayam-ayam belum berkokok, dan para manusia yang super sibuk di lingkungan rumahnya, masih memejamkan mata, berada di alam mimpi. Riana perlu sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk, siapa yang dengan lancang telah mengambil kameranya. Kamera itu memang bukan kamera mahal, tapi isinya, bisa menghancurkan hidup dan keluarganya. Dia kembali menyisir dari sudut hingga sudut. Tapi, tidak menemukan apa pun. Cahaya dari senter mulai menyisir jalan, sudut-sudut tembok, dan beralih pada taman. Jika orang itu mengetahui letak cctv, maka yang diincar adalah titik buta. Dan, taman buatan Riana ini tidak tertangkap cctv. Seharusnya, ada jejak kaki di sana. Atau setidaknya, a
Pukul 01.15, Riana kembali menyelinap ke luar. Wanita itu memastikan sang suami tertidur pulas, dan tidak akan terbangun untuk mencarinya sebelum menyambar semua perlengkapannya.Berjalan-jalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara, wanita itu memasukkan kantung plastik berisi keset ke dalam tas. Riana bahkan tidak sadar bahwa putranya sudah kembali ke rumah. Fokus utamanya adalah menangkap si pencuri. Entah ini ada kaitannya dengan Lost atau tidak, dia harus tetap menemukan bedebah itu. Riana memacu motornya dengan kecepatan penuh, jalanan lengang memudahkannya untuk lebih cepat sampai tanpa harus menyalip sana-sini. Dia mencoba menghubungi Paul, selama beberapa detik wanita itu menunggu, hingga suara parau Paul terdengar di sebrang sana. "Ya, Nona?" "Aku butuh bantuan." "Apa yang bisa kubantu?" Riana diam sejenak, "Aku akan sampai dalam lima menit." Dia memutus telponnya. Riana semakin mempercepat lajunya. Lima menit kemudian dia sampai di tempat persembunyian orang-
Gean terkejut melihat putranya sudah duduk manis di kursi meja makan dengan seragam lengkap. Tas sekolahnya dia sampirkan pada punggung kursi, duduk dengan tenang seraya menggulir layar ponsel. "Kapan kamu pulang?" Sapa Gean begitu menjatuhkan bokongnya pada kursi. Randu menoleh sekilas, lalu fokus kembali pada ponselnya, "Tadi malam." Gean hanya mengangguk, lalu hening.... Sampai Riana menyajikan berbagai macam masakan di atas meja, keluarga kecil itu tetap tidak ada yang membuka suara. Mereka makan dalam diam, padahal isi kepala mereka begitu riuh menyuarakan banyak hal. Riana menatap keduanya dengan pandangan tak terbaca. Keheningan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Riana menyodorkan segelas susu pada putranya, yang hanya dilirik sekilas oleh pemuda itu. Beberapa menit kemudian, dia menyimpan alat makannya, tanpa menyentuh susu yang sudah dibuatkan. Ekspresi wajahnya datar, dia mengambil tas ransel, dan beranjak dari sana tanpa sepatah kata, tanpa salam, tanpa pamit. Ked
Semenjak kedatangan siswa baru, Randu semakin diam, moodnya semakin hancur. Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari sakunya, menuliskan kejadian hari ini. Tentang siswa baru yang tiba-tiba mendekatinya. Selesai menulis, Randu kembali membuka catatan sebelumnya. Tentang serangkaian kejadian yang membuat hidupnya jungkir balik dalam sekejap. Pemuda itu berharap, dengan membuat catatan seperti ini dia akan menemukan kebenaran tanpa harus bergabung dengan mereka. Seorang teman Randu memasuki kelas, satu tangannya membawa sebuah mangkuk berisi bakso, tangan satunya dia gunakan untuk melahap bakso itu seraya mendekat pada Randu. Duduk di atas meja seraya melahap makanannya, matanya memicing melihat sebaris kata dari catatan milik Randu. "Lost?" Sebutnya rendah. Randu menoleh, pemuda itu sigap menutup bukunya begitu melihat Aska memandangi catatannya dengan pandangan tajam. "Apa hubunganmu dengan Lost?" Aska menyimpan mangkuk bakso, beralih menatap Randu dengan sorot amarah.
Riana tercekat, tubuhnya kaku, tidak bergerak. Bahkan hanya untuk sekedar menggulir bola mata dia tidak bisa.Pandanganya terkunci pada Randu yang tengah terisak. Lidah Riana kelu untuk berucap, dia menyadari setelah ini ada percaya yang sudah hilang. Randu tahu segalanya, dan itu meruntuhkan dunianya. Riana hanya bisa menatap sang putra dengan pilu. Masa lalu memang salah dirinya, tapi Riana menyesal, semua itu berimbas pada Randu.Putranya terluka, dan itu ulah dirinya. "Aku tahu segalanya, bu. Aku tahu sekarang siapa sebenarnya ibu." Riana membisu, kelu. Tidak ada kata yang terlintas untuk menjawab pertanyaan Randu. Wanita itu ingin menjelaskan semuanya, meminta maaf yang sedalam-dalamnya, namun yang dia lakukan sekarang hanya diam. Randu, ini sama menyesakkan seperti kamu mengetahui kebenarannya. Riana hanya bisa membatin. Randu masih menutupi wajahnya, menangis dengan suara isak tertahan. Riana meraih kedua tangan Randu, menariknya perlahan, menurunkannya dari wajah sang p
Paul bergerak menemui Ethan, memberikan laki-laki itu secarik kertas berisi nomor Randu."Kau ingin aku mencari siapa?" Ethan bertanya"Randu.""Randu siapa?""Pemuda yang membawa kabur berkas Lost." Paul menjawab tenang. Jari-jari Ethan yang semula lincah menekan tombol keyboard, kini terhenti. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali. Seketika otaknya blank. "Kenapa?" "Dia pemuda yang kau bicarakan waktu itu? Putra Nona?" Paul mengangguk. Ethan terperangah, tidak percaya. Laki-laki itu seketika berdiri. Memegang kepalanya yang mendadak terasa sakit. "Apa yang akan kau lakukan padanya? Jangan bilang kau akan melakukan sesuatu pada pemuda itu? Paul! Meski pun dia orang yang mencuri berkas Lost, dia tetap putra Nona. Kau bisa dihajar olehnya!" Ethan berkata panik, tapi nada suaranya seperti berbisik. Paul menatap laki-laki di hadapannya dengan pandangan datar. "Bisakah kau tetap melacak lokasinya tanpa banyak bertanya? Keadaannya mendesak, akan kujelaskan nanti." "Tapi-""Ethan, w
"Apa maksudmu? Kenapa Randu tidak ada di sana?""Kami sudah menyisir sekitaran area tempat di mana sinyal handphone Randu terakhir ditemukan. Tapi, tidak ada apa pun di sini. Tempat ini kosong." Paul menjelaskan, namun matanya tak lepas mengintai tempat itu. Riana terduduk di kasur, memijat pelipisnya pelan. Mendadak dia tidak bisa berpikir. Haruskah dia menemui Martin dan berlutut dihadapannya? Riana menggeleng keras, berlutut dihadapan manusia hanya akan membuatnya terlihat lemah, kecuali dia bersalah.Wanita itu memutar otak, mencari cara. Sialnya, Riana sungguh tidak bisa memikirkan apa pun, otaknya mendadak kosong. "Aish, sial!" Umpatnya kesal. "aku akan ke sana!" "Tidak, Nona." Cegah Paul. "sebaiknya kau tetap di sana. Belum waktunya Gean berangkat, dia akan curiga jika kau mendadak pergi tanpa alasan."Riana mengemas barangnya cepat, "Gean sudah berangkat, dia pergi tadi saat aku baru tiba. Dan aku punya waktu dua hari sebelum Gean kembali. Sebelum itu, aku harus memastika
"Apa yang kau inginkan?"Sosok itu sedikit melunak, dia menurunkan nada suaranya. "Kau adalah menteri.""Lantas?""Lost mengincar putraku."Dia menaikkan alis, "Sejak kapan kau punya anak?"Riana mendengkus, kenapa orang-orang kerap menanyainya hal serupa? "Apa pentingnya aku menjawab pertanyaanmu? Faktanya aku nemiliki putra.""Penting, itu menunjukkan bahwa tidak sedang menipu daya diriku. Lagipula, kau mandul, Riana." Sial! Kesal, wanita itu mengepalkan tangan. Jika tidak membutuhkan bantuannya, mungkin sudah Riana hajar. "Kau tidak pernah memperbaiki filter bicaramu rupanya, menteri Doja."Doja tersenyum, "Ini bukan gayamu, jangan bertele-tele, cepat katakan yang kau inginkan! Aku tidak punya banyak waktu meladenimu." Ujarnya kesal, seraya bejalan menuju kursi tamu. "Beri aku akses senjata."Doja menoleh pada Riana secepat kilat, "Kau ingin aku memberi akses perdagangan senjata ilegal?!""Ya.""Aku menteri! Menteri pertahanan! Apa kata orang nanti jika aku ketahuan?!" Doja men