Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Rita tersenyum sumringah begitu melihat mobil putra sulungnya memasuki pekarangan rumah. Tak lama kemudian, Gean keluar dari mobil disusul istrinya Riana.Gean menggandeng Riana kehadapan sang ibu, menyalaminya."Apa kabar, nak?" tanya Rita begitu antusias sembari mengelus lembut surai rambut Gean. Wajahnya begitu berbinar."Gean baik, bu."Rita tersenyum lebih lebar, beralih pada menantunya. "Menantu ibu. Kamu udah punya kabar baik buat ibu, kan?"Riana yang baru saja mengecup punggung tangan Rita seketika terdiam. Ia sudah menduga hal ini, karena setiap kali datang berkunjung, Rita selalu melontarkan pertanyaan yang sama.Dengan senyum getir, Riana mendongak, menatap ibu mertuanya dengan sendu, menggelangkan kepala sebagai jawaban."Maaf, bu. Hasilnya masih negatif." lirih Riana, menunduk.Senyum yang sedari tadi Rita pasang memudar, berubah menjadi pandangan datar."Teru
Riana menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Untungnya Gean masih tertidur pulas.Begitu masuk Riana hanya berdiri mematung. Hatinya gundah, gelisah. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Gean? Akankah Gean akan mempertanyakan banyak hal?"Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan?" Riana mengusap wajah kasar, menghampiri Gean perlahan. Mengguncang bahu suaminya pelan membangunkan."Mas." panggilnya ragu.Gean menggeliat pelan, membuka matanya perlahan, lalu bangkit untuk duduk.Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Begitu sadar sepenuhnya, ia menoleh pada sang istri dan membelalak sempurna. Ia terkejut, begitu melihat seorang bayi berapa dalam gendongan Riana."Ri, ini bayi siapa? Kenapa kamu bawa ke sini? Kamu gak culik bayinya, kan? Gak mungkin, kan?" tanya Gean beruntun."Mas, tenang dulu. Biar aku jelasin."
18 tahun kemudianRiana tidak menduga, setelah 18 tahun berlalu ia akan kembali lagi menginjakkan kaki ke rumah ini. Rumah milik Rita, mertuanya.Setelah lebih dari 25 tahun tidak pernah mendapat pengakuan dari mertuanya.Kemarin, Rita mengundang keluarganya untuk hadir diacara ulang tahunya.Tentu saja Riana sangat antusias, apalagi Randu putranya belum pernah sama sekali berkumpul dengan keluarga sang Ayah.Riana tersenyum lega, kehadiran Randu disambut hangat oleh kerabat lain. Meski Rita masih bersikap dingin. Randu bahkan ditarik ke sana- ke mari hingga anak itu kebingungan.Sedangkan Gean, sudah melipir pergi bersama adiknya entah ke mana.Tinggalah Riana bersama Sari, istri dari Rian adik Gean. Rita memiliki dua putra,Gean adalah putra sulungnya, dan Rian adalah bungsunya.Rian menikah dengan sari beberapa bulan sebelum Gean dan Riana mengadopsi anak. Usia dua kakak beradik itu mem
"Lalu, kau pikir aku SUDI MEMBERIKAN PUTRAKU PADA KALIAN?!!" Riana berteriak nyalang, "sentuh putraku, kubunuh kalian!""Riana!"PlakkSatu tamparan mendarat pada wajah pria yang baru saja meneriakkan namanya."Sentuh putraku, kuhancurkan kalian!" suara Riana dalam, penuh penekanan. Juga tatapan yang mengintimidasi.Namun, pria yang ditamparnya barusan balik menatap, mendekat satu langkah pada Riana."Jangan karena kini kau memiliki kehidupan yang berbeda, kau merasa bukan bagian dari kami. Ingatlah, Riana. Bahwa kau tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu yang mengikat erat jiwamu. Meski kini, kau tidak bersama kami." ucapnya pelan, meremat pundak Riana kuat hingga wanita itu meringis."Karena itu, seharusnya kalian takut untuk mengusikku kembali. Apa kau pikir, aku tidak sanggup menghancurkan kalian?!" setelah mengatakan itu, Riana melenggang pergi dengan langkah tergesa."KAU-! KEMBALI
Riana duduk di tepi ranjang, semenjak pulang dari kediaman Rita. Sikap Riana berubah, ia jadi lebih banyak diam.Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengusak rambutnya yang basah. Menghela napas panjang begitu melihat Riana seperti orang kehilangan jiwa.Pria yang berusia setengah abad itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga."Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean.Riana menoleh, binar matanya meredup. Kesedihan terpancar jelas dalam netra jernih itu."Kamu kenapa?" tanya Gean sekali lagi."Aku... kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah."Ada apa sama dia?""Randu..." jeda sejenak, Riana menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "dia udah tahu semuanya. Dia udah tahu... kalau dia bukan anak kandung kita."Handuk yang Gean pegang terlepas dari genggaman, jatuh meluruh ke lantai. Gean sendiri
Riana baru saja memasuki ruangan ketika seorang pria berkepala plontos mengikutinya dari belakang. Menjulurkan sebuah map berwarna hitam. Berisi beberapa informasi yang Riana minta sebelumnya."Mereka berkembang menjadi lebih besar dibanding sebelumnya. Bahkan setelah tragedi itu. Pemerintah tidak membiarkan mereka meredup. Pembongkaran markas dulu, membangun markas baru yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap. Mereka juga memasok beberapa senjata memasok beberapa senjata yang hanya dimiliki negara tertentu. Juga..." dia menjeda ucapannya."Juga?" Riana berbalik, menatap pria didepannya tanpa ekspresi."Semakin banyak orang mereka, semakin banyak orang tua yang kehilangan putranya."Riana menghela napas, memijat pelipisnya. Pria yang berbicara dengannya adalah pria yang sama dengan yang menelponnya."Apa itu masuk akal?""Anda tahu bagaimana cara kerja mereka." jawab Paul.Riana duduk di k
Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.Tidak ada siapa-siapa juga di sana.Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya."Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.Paul mengangguk."Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.