"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Laa ilaaha illallaah."Suara azan Subuh yang menggema dari speaker masjid membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Wanita itu perlahan membuka mata dan merasakan kepalanya begitu berat. Dia mencoba duduk dan bersandar di ranjang sembari memijat pelipis.
Setelah dirasakan cukup nyaman, Annisa bangun dari tempat tidur hendak keluar menuju kamar mandi. Ketika pintu terbuka, tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung dengan kepala seperti berputar.
"Kenapa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya bersandar di depan pintu.
"Pusing, Pak," jawab Annisa dengan bibir gemetaran.
"Sini Bapak bantu." Pandu meraih lengan putrinya dan membawa Annisa duduk di kursi makan.
"Aku mau wudu, Pak," pinta Annisa. Napasnya tersengal-sengal seperti orang yang habis berlari jauh.
"Bapak bikinkan kamu teh hangat. Habis itu minum dulu, baru wudu. Kita salat jema'ah."
Dengan cekatan, Pandu menuang air ke panci dan memasaknya sebentar. Setelah mendidih, dia mengambil cangkir dan gula. Begitu air panas menyentuh daun teh, aroma harum seketika menguar ke seluruh ruangan.
Annisa langsung menyesap setiap tegukan teh hangat yang membuat tubuhnya terasa lebih nyaman.
"Sudah?" tanya Pandu.
"Sudah, Pak," jawabnya seraya meletakkan cangkir ke meja setelah separuh isinya habis diminum.
"Ayo, kita subuhan dulu. Nanti baru cari sarapan," ajak Pandu. Laki-laki itu berjalan ke depan dan menggelar sajadah.
Sudah satu bulan ini, putrinya kembali dan rumah seakan terasa bernyawa. Biasanya setiap pagi menjelang, Pandu akan berkelana mencari sarapan sembari berkeliling kampung dan melihat sawah miliknya.
Sekarang, setiap membuka mata, akan ada sarapan di meja meskipun hanya sederhana. Annisa sama seperti mendiang ibunya, pintar dan rajin memasak.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh." Pandu mengucap salam sembari menoleh ke arah kanan dan kiri, setelah dua rakaat selesai ditunaikan.
Annisa mengangkat kedua tangan dan mengaminkan semua doa yang dibacakan oleh ayahnya. Mereka begitu khusyu' meminta kepada Sang Maha Pencipta agar selalu diberikan kesehatan, rezeki yang berkah juga keselamatan dunia dan akhirat. Wanita itu juga tak lupa mendoakan mendiang ibunya agar diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.
"Nisa mau bikin sarapan dulu. Bapak maunya apa?" tanya wanita itu setelah selesai melipat mukena.
"Apa saja boleh, Nduk. Bapak pasti makan," jawab Pandu. Laki-laki paruh baya itu mengambil tasbih lalu mulai berzikir.
Annisa bergegas ke dapur untuk mencari bahan apa yang bisa diolah. Begitu pintu kulkas terbuka, dia langsung menutup hidung karena mencium bau tak sedap yang menyengat. Wanita itu langsung berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi lambungnya.
"Kamu kenapa?" tanya Pandu ketika melihat kondisi putrinya yang berbeda pagi ini.
Annisa mengabaikan pertanyaan ayahnya, lalu kembali muntah. Setelah dirasa cukup lega, dia membasuh wajah dan mengeringkannya dengan handuk.
"Di kulkas ada apa ya, Pak? Kok bau banget pas dibuka," katanya sembari membuka magic com dan mendapati nasi yang masih tersisa cukup banyak.
Tadi Annisa hendak membuat nasi goreng dengan isian lauk yang ada di freezer. Namum, niatnya urung ketika mencium bau tak sedap yang begitu menyengat.
"Bau apa? Ndak ada. Bapak kan pakai anti bau biar kulkasnya segar," kata Pandu sembari mencari sumber bau yang tadi putrinya sebutkan.
"Ya sudah kalau begitu. Bapak tolong carikan udang sama sosis ada tidak? Aku mau masak," pintanya.
Tangan Annisa kini sibuk mencari bawang di keranjang. Ketika dia mengupas kulitnya, seketika rasa mual kembali melanda.
Annisa meletakkan pisau begitu saja dan kembali berlari ke kamar mandi. Perutnya terasa nyeri efek dari muntah yang tak berhenti sejak tadi.
"Kalau mual ya ndak usah masak. Bapak ke warung depan saja cari sarapan. Nasi pecal mau?" tanya Pandu dengan nada suara yang dikeraskan, dan posisi berdiri di depan kamar mandi.
"Mau, Pak!"
Annisa berjalan ke depan dan duduk di teras sembari melihat warga yang mulai beraktivitas pagi. Beberapa orang menyapa, yang dibalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan.
"Bapak pergi dulu," ucap Pandu berpamitan sembari meraih kunci motor dan melajukannya ke luar dari gang.
Annisa masih asyik menghirup udara pag, ketika tak lama sebuah mobil travel hitam memasuki halaman rumah. Begitu melihat siapa yang datang, wanita itu langsung memaki sandal dan turun untuk menyambut.
"Ibu."
"Ibu sama sia--"
Pertanyaan Annisa terputus saat mendengar pintu mobil terbuka dan sosok Bima muncul dengan gagahnya. Wanita itu membuang wajah dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Nis," sapa Bima yang disambut dengan anggukan kepala oleh wanita itu.
"Ayo, masuk dulu. Bapak lagi beli sarapan di depan. Nanti Nisa telepon biar porsinya ditambah." Wanita itu menggandeng lengan ibu mertuanya.
Bima mengulum senyum saat melihat sikap Annisa yang mengabaikannya. Dengan santai, dia mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil dan meletakkannya ke teras rumah.
"Ibu kenapa ke sini? Perjalanan jauh, nanti capek," ucapnya sembari membawa nampan yang berisi minuman.
"Kan udah Ibu bilang tadi. Kangen. Lagi pula Bima belum masuk kerja, jadi masih ada waktu buat jalan-jalan," jawab Ratih tenang seraya memijat kakinya yang terasa pegal.
"Iya. Aku mulai kerjanya awal bulan depan. Jadi pengen lihat-lihat Jogja," ucap Bima menimpali.
Annisa mengabaikan ucapan Bima. Dalam hatinya berkata, Siapa juga yang bertanya tentang pekerjaan laki-laki itu.
"Ibu mau mandi dulu atau tunggu sarapan?"
"Sarapan dulu juga boleh," jawab Ratih.
"Kalau gitu, sebentar Nisa telepon Bapak."
Annisa berjalan ke kamar dan mengambil ponsel. Begitu panggilan tersambung, dia menceritakan bahwa ibu mertua dan adik iparnya datang berkunjung.
Pandu mengiyakan dan membeli beberapa porsi nasi pecal sesuai permintaan putrinya. Laki-laki paruh baya itu segera pulang setelah membayar pesanan.
"Assalamualaikum," ucap Pandu saat memasuki rumah. Annisa segera menyambut ayahnya dan membawa bungkusan ke dapur untuk disajikan.
"Pakde. Saya izin ke belakang," pamit Bima saat melihat Annisa berjalan ke dapur.
"Ya, silakan. Pakde masih mau ngobrol sama Ibu," kata Pandu ramah.
Tak membuang waktu, Bima bergegas menyusul Annisa ke belakang. Ketika melihat wanita itu sibuk menata piring di meja, dia berjalan mendekat.
"Mau apa?" tanya Annisa saat melihat Bima berdiri di sampingnya.
"Mau ke kamar mandi," jawab Bima tenang.
"Sebelah sana. Bukan di sini," tunjuk Annisa ke arah kanan ruangan.
"Tapi mau ngobrol dulu sama kamu," kata Bima cuek. Tangannya bahkan mencomot kerupuk yang baru saja Annisa masukkan ke dalam toples.
Mendengar itu, Annisa refleks mengancungkan pisau tepat di depan wajah Bima. Tadi dia memakainya untuk mengiris telur rebus.
"Jangan macam-macam!" ancamnya.
Bima tersentak melihat sikap wanita itu lalu berkata dengan gugup, "Gak kok, Nis. Aku gak akan macem-macem."
Annisa menatap wajah laki-laki itu dengan penuh amarah. "Jangan coba-coba mendekat. Aku bisa menjadi pembunuh jika ada orang yang berani mengganggu, apalagi menodai."
Bima mengusap wajah berulang kali, lalu dia berjalan menuju kamar mandi dan mencuci wajah. Saat dia keluar, tampaklah ibunya dan Pandu sudah duduk di meja makan dan bersiap-siap hendak makan.
"Ayo, Nak Bima. Kita sarapan bareng," ajak Pandu.
Bima menarik kursi di sebelah ibunya, inginnya sih duduk di sebelah Annisa. Namun, saat melihat reaksi wanita itu saat mereka berdekatan tadi, niatnya menjadi urung.
"Ayo kita makan," ucap Pandu sembari menyendok nasi dan sepotong ayam. Mereka makan dalam diam karena semua sedang kelaparan.
Annisa bahkan tak merasa mual sama sekali saat bumbu kacang yang gurih itu masuk ke mulutnya.
"Enak banget, Pakde," puji Bima saat merasakan suapan pertama.
"Di sini banyak makanan enak-enak, Nak Bima. Nanti kita coba satu-satu kalau masih lama liburnya," jelas Pandu seraya menyebutkan beberapa menu andalan di kampung mereka.
"Rencana satu minggu. Ya, Bu?" kata Bima melirik ibunya.
"Iya. Satu minggu cukup. Semoga kedatangan kita ada hasilnya," jawab Ratih. Lalu, wanita itu menutup mulut sembari melirik sang putra karena kelepasan bicara.
"Memangnya ada apa, Bu?" tanya Annisa penasaran. Sejak awal dia sudah curiga dengan kedatangan mereka berdua. Apa ada hubungannya dengan permintaan ibu mertuanya waktu itu? Dia berdoa dalam hati semoga saja dugaannya tidak benar.
Mereka melanjutkan makan dan berbagi cerita tentang banyak hal. Pandu berjanji akan mengajak besannya berkeliling kota sebelum pulang nanti.
"Saya permisi ke kamar. Mau istirahat," pamit Ratih.
Annisa sudah membersihkan kamarnya karena mereka akan tidur bersama. Sementara itu, Bima akan tidur dengan ayahnya nanti.
"Saya mau mandi," ucap Bima setelah menghabiskan satu piring penuh nasi pecal dan dua gelas teh hangat. Dia berjalan ke depan untuk mengambil handuk dan baju ganti di koper.
"Silakan," kata Pandu sembari mengambil sapu dan keluar lewat jalan belakang. Dia berencana akan membersihkan halaman agar nanti mereka bisa berbincang santai di teras.
Melihat semua orang pergi, Annisa dengan cepat membersihkan sisa makanan dan mencuci piring kotor.
"Nis."
Panggilan itu membuat Annisa dan menoleh dengan cepat. Sejak kapan Bima berada di belakangnya? Apa dia terlalu asyik membersihkan dapur sehingga tak sadar?
"Mau apa?" kata wanita itu waspada. Dia sudah pernah dijebak dan tak ingin hal itu terulang kembali.
"Jangan galak-galak sama calon suami," ejek Bima seraya mengulum senyum licik.
"Jangan mimpi!"
Bima tergelak, lalu berkata, "Dulu waktu kita pacaran kamu gak kayak gini."
"Itu dulu. Aku menjaga diri setelah menjadi istri Mas Rahman," jawab Annisa ketus. Rasa bencinya kepada laki-laki itu semakin menjadi. Bima seperti tak punya malu mengucapkannya.
Bima kembali tergelak seraya menatap wajah cantik yang setiap malam selalu memunculkan rasa rindu.
"Tunggu saja, kalau tiba waktunya. Kamu gak akan aku lepaskan," ucapnya saat berjalan menuju kamar mandi sembari berdendang riang.
Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha."Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih."Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.Annisa hanya terdiam
Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya."Aku belum bisa menjawab sekarang."Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemari
"Muhammad Attar," ucap Annisa ketika ditanya siapa nama putranya."Dia suci. Ibunya yang telah berdosa," lanjutnya dengan air mata bercucuran.Semua orang menjadi haru ketika melihat itu. Ratih memeluk menantunya dengan erat untuk menguatkan. Pandu mengusap air mata saat pertama kali menggendong Attar. Sementara Bima menahan keinginan mendekap bayi mungil itu karena larangan Annisa.Satu bulan Attar dirawat di ruang NICU karena mengalami kendala di saluran pernapasan. Setiap hari Annisa datang ke rumah sakit untuk membesuk putranya. Beberapa kali dia bahkan diberikan kesempatan untuk mengganti popok atas seizin perawat ruangan.Attar akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya mulai membaik, dengan syarat harus rajin kontrol ke rumah sakit untuk perkembangannya.Bima sendiri kerap meluangkan waktu untuk setelah pulang bekerja untuk melihat putranya. Sejauh ini, laki-laki itu telah berkorban banyak hal. Salah satunya menjual motor