Mobil travel berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan lantai kayu dan cat berwarna hijau. Suasana terlihat sepi, hanya kicauan burung yang terdengar dari beberapa pohon mangga yang tumbuh di pekarangannya. Makhluk itu hinggap ke sana kemari sesukanya tanpa mengenal lelah.
Ketika pintu rumah itu terbuka, muncullah sesosok laki-laki paruh baya dengan memakai sarung dan kaus putih serta peci di kepala.
"Nisa?" Mata tuanya seakan tak percaya saat sang putri kesayangan turun dari mobil dengan membawa sebuah koper.
"Bapak." Annisa memeluk ayahnya dengan erat sembari meneteskan air mata.
"Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga." Pandu memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Dia mengira, Annisa akan pulang bulan depan karena sesuai hitungan masa iddahnya belum selesai.
"Nisa sudah kangen sama Bapak. Jadi, minta izin sama Ibu pulang lebih cepat. Lagi pula, adiknya Mas Rahman sudah datang. Jadi, ibu ndak sendirian lagi," jelasnya dengan mata yang masih basah.
Annisa sengaja tak mau menyebutkan nama laki-laki itu karena dia begitu benci kepada Bima. Hatinya merasa lega karena sudah sampai di rumah, tempat di mana dia dilahirkan sekalipun sang ibu sudah tiada. Wanita itu merasa aman dan nyaman karena bersama sang ayah, dia akan mendapatkan perlindungan.
Pandu meraih koper lalu mereka berjalan bersisian masuk ke rumah. Laki-laki itu tak menyiapkan apa pun untuk menyambut kedatangan putrinya karena Annisa tak memberi kabar.
"Syukurlah kalau begitu. Memang baiknya kamu pulang. Bapak sendirian," kata Pandu sembari meletakkan koper di sudut ruangan.
"Oh iya, Pak. Ini Nisa bawakan camilan dari kota," ucapnya sembari menyerahkan paper bag yang berisi buah tangan.
Annisa menatap sekeliling ruangan, lalu duduk di sofa dan menyandarkan kepala untuk melepas penat. Sementara itu Pandu berjalan ke belakang mengambil piring dan membuatkan teh, karena putrinya pasti kelelahan karena setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
"Minum dulu, Nak. Teh daun, kesukaan kamu."
Begitu tutup teko dibuka, aroma harum teh menguar merasuk panca indra. Annisa yang tadinya sempat terlelap jadi terbangun mendengar panggilan ayahnya. Wanita itu meraih cangkir dan mulai menikmati minuman hangat itu sedikit demi sedikit.
"Bapak sehat?"
"Alhamdulilah sehat. Cuma kaki Bapak sakit. Jadi jarang ke sawah. Sementara Bapak serahkan dulu sama orang lain untuk mengerjakannya. Hasilnya dibagi dua," jelas Pandu sembari meraih kotak kue yang dibawa sang putri. Kue pisang balen yang cukup terkenal di kota dan rasanya memang juara.
"Sudah Bapak istirahat saja. Jangan memaksakan diri. Uang pensiun masih cukup buat sehari-hari. Sawah biar dikerjakan orang." Annisa meletakkan cangkir di meja lalu ikut mencicipi pisang balen itu.
Sebenarnya, Annisa hanya membawa pakaian saat pulang kali ini. Sejak azan Subuh berkumandang, wanita itu segera mandi dan menunaikan dua rakaat, lalu membereskan barang-barang yang akan dibawa. Namun, ketika akan berangkat, mobil berbelok dan Bima membelikannya berbagai macam camilan.
Annisa hendak menolak, tetapi laki-laki menarik tangannya untuk menerima pemberian itu. Ketika mereka kembali bersentuhan, rasa takut kembali muncul sehingga dia segera kembali ke mobil meninggalkan ibu mertuanya yang masih memilih camilan.
"Untung saja kamu pulang. Bapak pikir kamu sudah betah tinggal di kota. Apalagi mertuamu kaya," ucap Pandu. Tubuh laki-laki itu terlihat kurus dengan uban yang semakin banyak memenuhi kepala.
"Mas Rahmas sudah gak ada, Pak. Untuk apa Nisa bertahan," lirihnya. Mata wanita itu berkaca-kaca ketika mengingat kembali kenangan bersama mendiang suaminya.
Pandu menepuk pundak putrinya, lalu berkata, "Orang baik itu disayang Tuhan, Nak. Jadi diambil lebih cepat."
Annisa memeluk ayahnya dengan erat dan menumpahkan tangis di bahu tua itu. Hanya beliaulah yang dia miliki dan wanita itu sudah berjanji untuk berbakti.
"Kamu ganti baju dulu sana. Istirahat. Bapak mau ke warung depan beli makanan. Kamu masih suka rawonnya Bude Tri, ndak?" tanya Pandu seraya melepaskan pelukan putrinya. Dia pernah merasakan hal yang sama bertahun-tahun yang lalu, ketika sang istri meninggalkan mereka saat Annisa masih kelas 1 SMA.
"Masih, Pak. Sama gorengannya sekalian. Yang banyak. Nisa lapar," ucapnya sembari mengusap air mata dengan ujung hijab.
"Ya sudah. Bapak jalan dulu. Nanti kita makan di sana kalau kamu udah lebih baikan."
Pandu melajukan motor melintasi jalan kampung menuju ke arah pasar di mana penjual makanan langgannya berada. Sejak Annisa merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan, laki-laki paruh baya itu hidup sendirian. Hingga saat ini, dia belum ingin menikah lagi sekalipun putrinya sudah mengikhlaskan.
Pada saat Annisa mengatakan ingin menikah dan calon suaminya berasal dari kota tempatnya belajar, Pandu tahu bahwa putrinya itu tak akan pernah kembali.
Awalnya Pandu merasa kecewa karena berharap agar Annisa berjodoh dengan pemuda kampung. Sehinga mereka tak tinggal berjauhan lagi. Namun, ketika bertemu dengan Rahman pada saat lamaran, hatinya luluh. Sikap menantunya ternyata begitu sopan dengan tutur kata yang lembut.
Pandu langsung merestui dan meminta pernikahan diadakan secepatnya karena khawatir putrinya berbuat yang tidak-tidak. Sebagai ucapan syukur, dia menjual sebagian tanah untuk mengadakan pesta besar-besaran demi putri tunggalnya.
"Tumben beli dua bungkus," ucap Lastri saat Pandu memesan rawon lebih banyak dari biasanya.
"Iya. Ada Nisa datang dari kota," jelas Pandu sembari mengambil kantong plastik dan memilih gorengan kesukaan sang putri.
"Wah, akhirnya datang juga. Jadi Mas Pandu ndak sendirian lagi," lanjut Lastri sembari menuang kuah rawon yang mengebul panas ke dalam wadah.
"Alhamdulillah, Tri. Jadi berapa semua?" tanya laki-laki itu saat mengeluarkan dompet.
"Tiga puluh ribu saja, Mas," jawab Lastri sembari memasukkan pesanan Pandu ke dalam plastik besar. Dia juga memasukkan kecap dan sebungkus kerupuk udang sebagai tambahan.
"Gorengannya ndak dihitung?" tanya Pandu heran karena biasanya dia membayar lebih dari itu.
"Gratis buat Nisa. Anggap saja sambutan dari Bude Tri," ucapnya saat menerima selembar uang biru dari Pandu dan mengambilkan kembaliannya.
"Alhamdulillah. Makasih, Tri. Kamu ini sudah pintar masak, baik hati pula," puji Pandu.
Tri mengulum senyum mendengarkan pujian itu, lalu berkata, "Kalau Mas Pandu mau makan enak setiap hari ya jadikan aku istrimu saja."
Pandu tergelak dan mengambil bungkusan yang disodorkan kepadanya. Ada banyak yang menawarkan diri untuk menjadi istrinya, tetapi belum ada satu pun yang cocok di hati.
Pandu kembali melajukan motor menuju jalan pulang. Sesampainya di rumah, laki-laki itu terkejut saat melihat susunan dapur yang sudah rapi. Ternyata selama dia pergi, Annisa merapikan rumah.
Pandu mengucap syukur karena dengan adanya sang putri, rumah seperti memiliki nyawa kembali.
***
Getaran ponsel di meja membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Matanya melirik ke arah jam yang jarumnya menunjukkan angka lima. Pikirnya, entah siapa yang menelepon subuh hari begini.
"Halo," jawabnya sembari mengusap wajah karena masih mengantuk. Wanita itu duduk bersandar di ranjang dan menguap beberapa kali.
"Nis. Kamu udah sampai?"
Deg!
Wanita iu langsung menutup panggilan ketika tahu siapa yang meneleponnya. Ponsel kembali bergetar dengan nomor yang sama.
"Sudah dari kemarin sore. Ada apa?" tanya Annisa ketus.
"Cuma mau memastikan kamu baik-baik saja, Nis," jawab Bima.
"Aku sudah mengabari Ibu," jawab Annisa dengan nada suara yang meninggi.
"Syukurlah kalau begitu. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa," lirih Bima di seberang sana.
"Aku baik-baik saja di sini. Justru berbahaya jika tetap di sana," jawabnya kesal, lalu mematikan sambungan telepon dan memblokir nomor itu.
Annisa bangun dari ranjang dan keluar menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah menunaikan dua rakaat, dia membantu ayahnya membereskan pekerjaan rumah, seperti mencuci piring dan membuat sarapan.
Ketika semua sudah selesai dan hari mulai terang, Annisa membuka jendela rumah dan membiarkan udara masuk melalui celah-celahnya.
"Mas Rahman, Nisa kangen. Maaf kalau Nisa tinggalkan Mas di sana," lirihnya sembari menatap jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas warga.
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.Laa ilaaha illallaah."Suara azan Subuh yang menggema dari speaker masjid membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Wanita itu perlahan membuka mata dan merasakan kepalanya begitu berat. Dia mencoba duduk dan bersandar di ranjang sembari memijat pelipis. Setelah dirasakan cukup nyaman, Annisa bangun dari tempat tidur hendak keluar menuju kamar mandi. Ketika pintu terbuka, tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung dengan kepala seperti berputar. "Kenapa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya bersandar di depan pintu. "Pusing, Pak," jawab Annisa dengan bibir gemetaran. "Sini Bapak bantu." Pandu m
Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha."Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih."Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.Annisa hanya terdiam
Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya."Aku belum bisa menjawab sekarang."Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemari