Nur memarkir motornya di bawah pohon keres yang berdaun jarang. Lalu dia berjalan ke dalam warung, diliriknya tempat favoritnya, seperti biasa belum ada yang menduduki. Di dalam warung, Nur melihat tidak ada antrian, maka dia langsung menuju ke meja yang terdapat laci kaca dan berisi bermacam-macam lauk pauk. Nur berkata, “Mak, pecel satu kayak biasanya ya.”
“Nggeh Mas Nur.” Jawab Mak Nem.
Nur menunggu sebentar. Sesaat kemudian Mak Nem memberikan piring yang sudah berisi nasi pecel pesanannya. Dia teringat sesuatu lalu berkata lagi pada Mak Nem, “Sama kopi Mak, nggeh?”
Mak Nem mengangguk sambil berteriak pelan ke arah dapur, “Kopi siji.”
Nur tidak menunggu kopi tersebut, dia langsung berjalan menuju pintu keluar yang hanya beberapa langkah dari meja. Dia duduk di kursi panjang tanpa sandaran di teras warung tersebut. Piringnya ditaruh di meja panjang di depannya. Dikeluarkannya ponsel, rokok dan pemantik api, dari saku celananya dan ditaruhnya didepan piringnya.
Sesaat kemudian kopinya datang, diucapkannya terima kasih pada si pengantar, lalu diseruputnya pelan-pelan kopi tersebut. Dia memejamkan mata sambil menelan kopi tersebut. Dia mengecap bibirnya dan berkata pelan, “Aaahhh..”
Dia membatin, “Nikmat mana yang kamu dustakan Nur? Tidak ada ya Allah.”
Selama dia makan, warung itu semakin ramai. Nur disapa oleh beberapa orang yang berdatangan juga ingin sarapan di warung itu. Dilihatnya Gun sedang memarkir motor di sekitar pohon keres. Timbul rasa gembira dihatinya melihat temannya itu. Gun langsung duduk di sebelah Nur.
“Jadi wakil ketua tetap saja datang paling awal ya?”
Nur tidak menjawab, hanya terkekeh dengan tetap mengunyah nasi pecel.
“Kamu sudah sarapan?”
“Sudah”
“Masa? Sana pesan, ada aku. Mumpung enggak ada antrian.”
Nur lihat wajah Gun tiba tiba sumringah.
“Bener?”
Nur mengangguk.
“Boleh deh.”
Nur lihat Gun berdiri setelah berbicara seperti itu dan masuk ke dalam warung. Tak lama kemudian Gun sudah kembali dengan membawa nasi pecel juga. Gun duduk di sebelah kiri Nur.
“Sepertinya, aku harus mulai memanggilmu Pak Nur.” ucap Gun sambil terkekeh.
Nur memberikan pandangan sinis pada Gun. Dia membalas, “Kenapa begitu? Enggak usah macam-macam kamu.”
“Kamu sekarang wakil ketua, masa aku yang cuma bagian gudang memanggilmu tanpa ada embel-embel pak. Enggak enak sama yang lain.” jawab Gun sambil tertawa.
“Nur, aku cuma mau kasih nasehat. Jangan berubah meskipun kamu sudah jadi wakil ketua.” suara Gun tiba-tiba berubah serius.
Nur yang sudah selesai dengan makannya, menganggukkan kepala, lalu meminum kopinya.
Sambil mengunyah, Gun melanjutkan, “Yang aku heran Nur, kenapa bukan Pak Anwar? Kok kamu? Bukan apa-apa ya Nur, jangan tersinggung.”
Nur menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Ndak apa apa.”. Dia memberikan gestur tangannya pada Gun untuk terus melanjutkan ceritanya.
Setelah mendapat respon Nur, Gun berkata lagi, “Secara hierarki, memang seharusnya Pak Anwar. Beliau paling senior, kalau ada posisi kosong di atasnya, ya harusnya Beliau yang naik.”
Ingin rasanya Nur menyanggah pendapat Gun dengan kata-kata Dara semalam. Namun diurungkannya. Dia membatin, “Enggak usah, enggak ada gunanya.” dia diam saja, menunjukkan sikap antusias, sambil terus mendengarkan Gun. Nur mengambil rokoknya, menyulutnya, dan menghisapnya kuat-kuat.
“Nah, itu dia yang aku mau bicarain dengan kamu Gun. Aku juga enggak habis pikir, kenapa aku yang jadi wakil ketua. Aku merasa enggak enak dengan Pak Anwar. Seperti aku melangkahi beliau.”
“Itu dia Nur, Pak Anwar bakalan merasa kamu melangkahi beliau. Beliau sekarang jadi bawahanmu. Kamu harus lebih hati-hati.” Kata Gun sambil menelan makannya.
Gun mau melanjutkan ketika kopinya diantar. Gun tidak jadi melanjutkan bicaranya. Gun diam sebentar lalu berterima kasih pada si pengantar. Setelah si pengantar pergi, Gun melanjutkan omongannya, “Ku pikir kecelakaan Pak Mis itu agak janggal Nur.”
“Janggal apa maksudmu?”
“Ya aneh. Tepat beberapa hari sebelum beliau jadi wakil ketua di kantor pusat, ko ya meninggal karena kecelakaan. Misal kalau enggak ada kecelakaan itu? Pak Mis yang jadi wakil ketua, bukan Pak Anwar, apalagi kamu. Semuanya syarat sudah dipenuhi Pak Mis, termasuk cabang Surabaya itu.”
“Ya berarti rejekinya sudah habis Gun. Mau diangkat wakil ketua apa enggak kalau sudah waktunya ajal ya meninggal, enggak bisa nawar-nawar. Lagipula kenapa kamu mikir seperti itu Gun?”
“Kamu belum masuk di sini saat itu. Pas awal-awal bengkel ini berkembang, Pak Anwar itu yang nyuruh anak buahnya buat jaga bengekel ini biar enggak kemalingan atau dirampok. Itu alat-alat mahal kan? Kalau sampai dicuri, ya mampus.”
“Pak Anwar? Anak buah?” pikiran Nur semakin enggak mengerti kemana arah pembicaraan Gun.
“Pak Anwar itu punya kenalan preman Nur. Pas alat-alat besar dan mahal, juga suku cadang itu datang, kita kan belum punya gudang besar seperti sekarang, Pak Anwar menawari ke Bu Celo bahwa Pak Anwar sanggup menjaga keamanan bengkel ini melalui kenalan-kenalannya itu.”
“Terus apa hubungannya dengan Pak Mis?”
“Kamu itu bagaimana to Nur? Masa begitu saja enggak paham?” Nur lihat wajah Gun membelalak dan seolah olah memberikan kode. Gun mengambil kopinya dan meminumnya.
“Masa?” balas Nur dengan memelototkan matanya dengan rasa tidak percaya.
Gun hanya memberikan pandangan dan menganggukkan kepalanya.
“Ah, enggak mungkin Gun. Masa ada orang seperti di sinetron atau novel-novel begitu? Yang gampang sekali membunuh demi kekuasaan atau uang?”
“Lah yang kamu pikir? Yang terjadi sekarang bukankah seperti itu? Orang bias melakukan apa saja untuk mendapatkan jabatan atau mempertahankan jabatan.”
Nur mengangguk mengiyakan. Hati Nur menciut, takut kalau hal itu benar adanya dan Pak Anwar benar benar ada andil dalam kecelakaan Pak Mis. Bagaimana nasib anak istrinya?
Gun telah menyelesaikan makannya. Nur melihat temannya tidak mengeluarkan rokok. Jadi, Nur menggeser rokoknya ke depan Gun. Gun langsung mengambil sebatang rokok, menyalakannya, dan langsung dihisapnya.
Setelah hisapan pertama Gun, Nur melanjutkan, “Enggak mungkin Gun, Pak Anwar tidak sejahat itu. Di kalangan pegawai, dia disegani kok. Di jajaran pimpinan, dia juga dipercaya Bu Celo.”
“Terserah kamu Nur, pokoknya aku sudah memberi tahu.”
“Sudah ah, itu mertuamu bagaimana keadaanya? Sudah baikan?”
Gun mendesah, menghisap rokoknya kuat-kuat, dan menghembuskanya lewat hidung, lalu menjawab dengan ketus, “Mertuaku sudah baikan.”
“Alhamdulillah.” jawab Nur dengan mematikan rokoknya di asbak.
“Sebentar, itu laporan pertanggung jawaban jadinya bagaimana Nur?” bisik Gun pelan-pelan.
“Sudah tenang saja, yang uang dua puluh juta itu kan? Sudah, kamu enggak usah khawatir. Apalagi aku sekarang wakil ketua.”
“Bukan begitu maksudnya, Anwar bisa saja mengetahui itu dan menggunakannya untuk menjatuhkan kamu dan memecatku.”
“Sudah tenang Gun, enggak usah dipikir. Laporan itu sudah masuk ke Bu Celo. Aku sendiri yang menyusun dan menandatanganinya. Kemungkinan untuk diketahui sedikit sekali. Lagian, fakturnya kan juga sudah dirubah.” kata Nur meyakinkan.
Namun di dalam hatinya muncul perasaan menyesal, “Kenapa kemarin ku iyakan saja permintaan orang ini. Kalau sampai Bu Celo tahu, bisa hancur semua. Semoga saja tidak apa-apa.”
“Eh, Nur, satu lagi. Kamu ada uang enggak?”
Deg, hati Nur berdebar. Dia membatin, “Pinjam uang ini. Waduh, bagaimana ya? Kalau bilang iya, dia pasti pinjam. Kalau tidak, aku enggak enak sama dia. Dikiranya nanti aku sombong dan enggak mau bantu, mentang mentang sudah jadi wakil ketua.”
“Kamu butuh berapa Gun?” tanya Nur.
“Lima ratus ribu saja. Nanti pas gajian ku ganti.”
“Nanti dulu ya, pas di parkiran saja. Enggak enak banyak orang disini.” rasa sesal di hati Nur.
Gun mengangguk.
Nur membatin, “Kenapa aku enggak pernah bisa menolaknya? Padahal uang itu bisa dipakai untuk makan sehari-hari atau buat tambah-tambah cuci darahnya Wahid. Hhh.. Ya sudahlah, anggap saja ini sebagai sedekahku seperti yang sudah-sudah.”
Dia memarkir motornya di tempat parkir yang berada di belakang bengkel. Parkir itu luas dan berkanopi, berkonsep semi-indoor. Biasanya, hanya ada empat mobil yang parkir disana, mobil Aston Martin DB5 biru langit milik Bu Celo, Honda Civic hitam 2018 milik Pak Anwar, dan dua mobil Avanza tipe G putih 2018 yang menjadi mobil operasional bengkel. Hanya ada mobil operasional yang terparkir. Selain itu, semua pegawai menggunakan motor ataupun menggunakan transportasi umum.Lalu dia berjalan beriringan dengan Gun menuju pintu utama bengkel. Bengkel itu berpagar tinggi bercat putih dengan kawat berduri di atasnya. Tepat disamping pagar itu, ada tempat duduk panjang di bawah kanopi seng untuk para pegawai yang istirahat. Para mekanik yang biasanya duduk di sana sambil merokok.“Hari pertama masuk sebagai wakil ketua.” suara hati Nur dengan diselimuti rasa bangga dan senang. Dilihatnya di dalam pagar sebelah pintu masuk bengkel, ada tulisan berwarna putih dengan wa
“Tok.. Tok..”Nur mengetuk pintu ruangan Bu Celo yang sudah terbuka lebar. Dilihatnya dari pintu Bu Celo sedang berdiri tegap di depan jendela belakang membelakangi pintu masuk. Sepertinya, batin Nur, Bu Celo sedang memantau aktivitas para pegawai di bengkel. Tangan Bu Celo mungkin di lipat di depan tubuh. Nur lihat, Bu Celo memakai celana panjang warna biru tua dan kemeja putih lengan panjang dan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Sedangkan, di gantungan bajunya yang berbentuk tongkat di pojok ruangan, tergantung outer Bu Celo dengan warna yang senada dengan celana.Siluet sosok itu, dipikiran Nur, mencerminkan pose wanita yang tangguh dan mandiri. Sikap dan pembawaan seorang wanita karir sukses, tak lain, seorang pemilik bengkel berkelas nasional. Pose menawan yang memancarkan sihir pesona karena kepercayaan diri tinggi dengan sedikit keangkuhan.“Silahkan masuk Pak Nur.”Nur masuk ke ruangan Bu Celo. Dia berhenti di depan sofa. D
Nur mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu Pak Anwar. Pintu itu masih tertutup rapat, tapi dia tahu Pak Anwar sudah ada di dalam ruangan. Dirinya ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Seolah-olah dia mau masuk ke kandang singa. Hatinya berdebar tak karuan.Tok Tok. Suara pintu itu diketuk.“Masuk.” Nur mendengar suara Pak Anwar dari dalam ruangan.Nur membuka pintu itu pelan-pelan. Sambil tersenyum, dia berkata dengan sopan, “Selamat pagi Pak Anwar.” Dianggukannya kepalanya pada si empunya kantor. Dilihatnya Pak Anwar duduk di kursi kerjanya, beliau sedang membaca berkas-berkas yang ada di depannya. Seperti biasa, beliau selalu memakai dasi, pakaian bisnis formal.Nur merasakan pandangan Pak Anwar dari balik kacamata, pandangan yang tajam. Sakit. Pandangan yang tajam itu serasa menusuk hatinya. Dia merasa tertekan, serasa ruangan itu sempit.Nur masuk ruangan Pak Anwar dengan canggung, seolah-olah dia adalah bawahan ya
Nur masuk ke ruangannya dan duduk di kursinya. Hatinya berdebar kencang berkecamuk antara bingung, takut, dan marah. Benar kata Gun, Pak Anwar bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau.“Gun, apa yang kamu lakukan? Kamu bilang kemarin cuma mengambil dua puluh juta, kenapa Si Anwar bilang sampai seratus juta?” desis Nur. Diambilnya rokoknya, dinyalakannya, dan dihisapnya kuat-kuat. Dia menggaruk dahinya.Diambilnya ponselnya, dia mulai mengetik pesan singkat.“Gun, kemarin yang kamu ambil berapa? Dua puluh atau seratus?”Dikirimnya pesan itu. Disingkirkannya ponsel itu, tiba-tiba dia tidak ingin melihat ponselnya. Dijauhkannya ponsel itu dari dirinya, diletakkan di ujung meja. Dia takut dengan apa isi balasan dari Gun.Dihisapnya rokok itu.Hatinya cemas tidak karuan. Pikirannya berkecamuk. Dia berdiri. Dia menuju ke jendela samping, dihisapnya lagi rokoknya dengan kuat. Sesaat kemudian dia merasa tena
Nur baru pulang dari bengkel habis Isya’. Kejadian hari ini terlalu berat baginya. Pikiranya berkecamuk dan bingung. Sepanjang jalan pulang, dia terus memikirkan bagaimana bisa laporan itu sampai di tangan Pak Anwar dan bagaimana ada selisih depan puluh juta. Tadi waktu mengantarkan santunan ke rumah Pak Mis, Bu Celo juga tidak mengatakan apa apa.Nur sebenarnya punya kesempatan besar untuk bertanya pada Bu Celo, karena saat itu hanya dia dan Bu Celo di dalam mobil kantor. Mulutnya sudah gatal ingin bertanya dan menutup rasa penasaran. Namun, pada akhirnya, dia tidak berani bertanya soal laporan itu. Pikirnya, bisa-bisa tambah curiga Bu Celo dan malah bunuh diri dengan pertanyaan itu. Jadi, dia pikir untuk tunggu dan lihat saja bagaimana nantinya.Jam delapan malam dia masuk rumah. Dara sedang duduk santai di kursi tamu dengan memegang ponselnya. Dilihatnya Wahid sudah tidur di kamar depan. Nur langsung mencium istrinya. Dilihatnya dari sudut matanya, Dara menuju
“Mbak Dita, Mas Adim, dan Mas Surya, ini sudah sore dan sepertinya negoisasi ini masih berbelit-belit. Jadi untuk menghemat semuanya, tiket pesawat dan biaya penginapan, biar saya dan Pak Nur saja yang tinggal disini. Kalian bertiga bisa pulang.” kata Bu Celo yang berdiri di depan meja.“Baik Bu.” jawab Dita. Sementara itu, Nur melihat Adim dan Surya mengangguk mengiyakan.“Mbak Dita bawa ATM kan?”“Iya Bu, kenapa?”“Tolong saya dikirimi nomer rekening Mbak Dita, saya mau transfer untuk uang saku kalian bertiga.”Sesaat kemudian mereka berdua sibuk dengan ponsel masing-masing, dimana Nur hanya terdiam. Hatinya bimbang, dia terpikirkan anak dan istrinya. Dia sudah berkata pada istrinya bahwa dia akan pulang sore ini. Bahkan dia lupa tidak menanyakan bagaimana keadaan Wahid. Dia merasa bersalah. Hatinya bergejolak ingin mengetahui keadaan Wahid dan istrinya. Dia rindu anak dan istrinya. Dia
Nur berdiri dari kursinya. Diambilnya coat warna putih yang tergantung di kursi tempat Bu Celo duduk. Ketika Bu Celo berdiri, dia pakaikan coat itu menyelimuti tubuh beliau. Setelah itu Nur berjalan mendahului Bu Celo ke tempat Pak Asan berada untuk membayar makanan, namun dia tertegun lagi ketika Pak Asan tidak mau menerima uangnya.“Uang temannya Bu Celo tidak laku disini.” kata Pak Asan.Sambil memasukkan lagi uangnya ke sakunya, Nur lihat Bu Celo dan Pak Asan saling berpamitan. Mereka tampak akrab sekali. Bu Celo pun berpamitan pada Pak Asan dan berjalan ke luar warung. Nur pun mengikutinya.Jalanan itu lumayan ramai meskipun sudah malam. Banyak kendaraan yang masih lalu-lalang. Ketika sampai di pinggir jalan, Nur berkata sambil menghadap Bu Celo, “Saya biasanya kalau nyebrang jalan dengan perempuan seperti ini Bu, ada dua syarat. Perempuannya harus milih, digandeng apa digendong?”Di dalam hati, Nur berharap Bu Celo t
Nur pun melihat kiri dan kanannya. Dia Dilihatnya, orang-orang disekitarnya juga sedang berjongkok, bahkan ada yang tiarap. Kendaraan yang ada di jalan raya berhenti semua. Dengan penerangan lampu jalan yang masih menyala itu, dia mencari sumber suara meledak barusan. Ditolehnya ke belakang, dilihatnya truk merah yang over dimension over loading tadi. Nur melihat suasana di sekelilingnya berwarna putih seolah olah berkabut.“Masa kabut? Bukan, ini bukan kabut, tapi debu.” batin Nur. Nur tidak lagi mendengar orang-orang berteriak-teriak. Lolongan orang-orang juga sudah berhenti. Disekitarnya, orang orang sudah bangun dari rundukannya atau tiarapnya. Dia semakin penasaran, akhirnya dilepaskannya pelukannya terhadap Bu Celo. Dia berdiri. Dibiarkannya Bu Celo masih berdiri dengan lututnya. Dia menoleh ke belakangnya. Debu-debu yang menyelimuti udara terlihat semakin tebal. Disiapkannya hatinya untuk melihat pemandangan horor yang mungkin ada. Un