Share

Dara

Dilepasnya sepatu di depan pintu dan ditaruh di rak sepatu sebelah pintu. “Assalamualaikum, Sayang?” katanya sambil membuka pintu. Hening, tidak ada jawaban.

“Jam segini masa sudah tidur?” pikirnya. Terbersit perasaan kecewa di hatinya. Pelan-pelan dia berjalan menuju kamar depan agar tidak membangunkan istri dan anaknya. Dilihatnya lewat pintu yang terbuka, istrinya dengan mata terbuka baru bangun tidur disamping anaknya yang tetap terlelap.

Dilambaikanlah tangan kirinya dan menjunjung tas kresek hitam di tangan kanannya sambil berbicara tanpa suara, “Maaf.” Nur berharap istrinya tidak sebal karena telah membuatnya terbangun. Nur pernah membuat istrinya sebal karena dia secara sengaja membangunkan istrinya yang sedang tidur untuk makan malam. Istrinya bilang saat itu, dengan suasana hati yang buruk dan bersungut-sungut, berbicara pada Nur, dia lebih memilih untuk tidur daripada makan. Istrinya juga bilang bahwa dia sakit kepala karena bangun tidur mendadak. Dia tidak ingin hal itu terulang kembali.

Istrinya memberikan respon mengangguk kecil dengan mata yang masih mengantuk dan bibir tertutup rapat dan tangan menyeka rambut.

“Matih aku, jadi bad mood dia.” batin Nur. Dia terus berjalan ke arah dapur, dilihatnya sekilas laptop istrinya dalam keadaan power save. Ditaruhnya bungkusan itu di atas meja makan lalu dia ke kamar belakang.

“Mandi dulu saja baru sholat, semoga setelah aku mandi Dara keluar kamar dan makan. Baru aku cerita. Aku butuh pendapatnya tentang hal ini.”

  Dilihatnya Dara sudah di meja makan ketika dia keluar dari kamar mandi. Diurungkannya niatnya untuk sholat, dia merasa bersalah karena harus menunda sholat lagi, tapi perasaan itu diabaikannya. Nur cium rambut istrinya, yang beraroma khas tidak pernah berubah sejak awal nikah dahulu, sambil memejamkan mata. Diciumnya selama beberapa saat dan dia mengharapkan tangan Dara menyentuh atau memeluknya, tapi tidak pernah terjadi. Diciumnya Dara semakin kuat. Hatinya berdesir, perasaan yang sama, jatuh cinta pertama kalinya dulu pada Dara. Dilepaskanya ciuman itu lalu dia duduk di kursi belakangnya, tepat disamping Dara.

“Sayang sudah maem?” tanya Nur dengan nada sedikit manja.

“Belum.” jawab Dara dengan diikuti gelengan kepala lemah. Matanya masih agak tertutup.

“Ini tak bawain maem, kan tadi prasmanan terus boleh bungkus, ya tak bungkusin buat Sayang. Ada rolade, sambel goreng hati, sama bothok tempe-lamtoro.” terang Nur dengan wajah yang antusias dan tersenyum.

"Sudah ada nasinya juga.” lanjut Nur.

“Tak ambilin piring ya?” tanya Nur sambil berdiri. “Belum mempan kalau pakai wajah senyum dan antusias, aku harus berbuat lebih baik agar suasana hatinya membaik.” Batin Nur.

“Enggak usah, langsung disini saja.”

“Tapi itu di dalam plastik..”

Dara memberikan isyarat dengan menggelengken kepalanya. Nur kembali duduk seperti posisinya awal, duduk menyampingi meja menghadap istrinya. Dilihatnya istrinya membuka bungkusan kresek hitam itu, mengeluarkan isinya satu persatu. Dara merobek salah plastik yang berisi rolade dan menjadikannya alas makan. Nur lihat Dara mengambil sendok dan menaruhnya nasi di atas plastik itu sementara plastik berisi bothok dibuka namun tidak dituangnya.

“Eh..” sergah Nur. Dalam hatinya dia berkata, “Bisa ternyata makan dengan cara seperti ini.”

“Sayang, Wahid sudah maem? Tadi dari catering lauknya apa?” tanya Nur.

“Sudah. Tadi ada sup ayam sama perkedel.” jawab Dara sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Nur merasa bahwa Dara menjawab dengan setengah hati.

“Oh.” ujar Nur sambil mengangguk, diam sesaat.

“Aku boleh cerita?” tanya Nur dengan pelan dan nada hati hati.  

“Iyah.” sambil memasukkan sesuap makanan ucap Dara. Nur ingin mengurungkan niatnya untuk cerita pada Dara karena dilihatnya Dara seperti acuh padanya dan masih dengan suasana hati yang buruk. Tetapi, Nur tidak tahan, da harus menceritakan hal ini sekarang.

“Sayang, aku jadi naik jabatan”

Dara seketika berhenti mengunyah makan, Dara menoleh ke arahnya, melihatnya dengan mata melotot seolah olah tidak percaya. Ditangkapnya siratan antusias di balik mata Dara.

“Serius?” kata Dara dengan mulut agak penuh.

“Telan dulu Sayang.” ujar Nur sambil mengangkat jari telunjuknya di depan wajahnya. Setelah Dara melanjutkan mengunyah makanan dan menelannya, Nur melanjutkan ceritanya.

“Barusan pengumumannya, aku yang menggantikan Pak Nas disini.”

“Alhamdulillah Mas.” kata Dara sambil merubah posisi duduk hingga berhadapan dengan Nur. Nur melihat dengan jelas mata yang berbinar, senyum yang terkembang lebar pada wajah Dara.

“Alhamdulillah.” Nur baru sempat berucap syukur. Rasa sesal mendongkol di dadanya karena baru sekarang dia ingat untuk bersyukur.

“Semoga dengan kenaikan jabatan ini bisa meringankan beban kita. Wahid bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik, bisa daftar untuk donor ginjal, juga hutang-hutang kita segera bisa lunas. Aamiin.”

“Aamiin.” jawab Nur. Nur sangat berharap doa Dara terkabul.

Nur melanjutkan, “Tapi sebentar, aku belum selesai cerita Sayang. Begini lo, aku naik jadi wakil ketua. Nah, kok aku yang jadi wakil ketua? Kan seharusnya yang naik jadi wakil ketua ini kan Pak Anwar, dia yang paling senior di kantor dan yang berhak atas promosi ini…”

“Pak Anwar itu kan yang tua, kurus, kacamata?” potong Dara.

“Iya Sayang.” hatinya sedikit sebal dengan pemotongan cerita ini, namun diabaikanya. Nur melanjutkan “Sebelum pengumuman tadi pun, sudah kenceng isu bahwa yang jadi wakil ketua di kantor pusat pun Anwar.”

“Wakil ketua itu tugasnya yang seperti apa Mas?”

 “Wakil ketua itu yang sebenarnya kepala bengkel. Yang mengurusi keseharian kantor, semacam bos kecil yang langsung di bawah Bu Celo?” jawabnya dengan menahan rasa sedikit dongkol.

“Kenapa Pak Anwar yang diisukan Mas? Seolah-olah dia calon kuat.” potong Dara lagi sambil menampakan muka ingin tahu.

Nur mengambil nafas, dia tambah sebal dengan pemotongan yang ketiga ini. Tapi dia berusaha keras agar tidak terlihat sebal.

Nur menjawab pertanyaan Dara dengan pelan-pelan dan hati hati, “Karena dia memenuhi kriteria. Biasanya di bengkel itu, yang berhak naik jabatan berdasarkan durasi pengabdian, kualifikasi pendidikan dan kompetensi, dan yang terakhir mampu memberikan terobosan atau ide yang nyata untuk kemajuan bengkel. Anwar memenuhi ketiga syarat tersebut. Dari lamanya bekerja, di jajaran kepala divisi, dia yang paling senior. Terus kompetensi dan kualifikasi pendidikan, Anwar juga sudah masuk. Nah, yang jadi pemberat yang terakhir ini. Dialah dalang dari kerjasama dengan bengkel resmi ini.”

“Terus Mas bisa memenuhi semua kriteria itu enggak?” tanya Dara.

“Dari tiga kriteria itu yang enggak masuk di aku ya cuma senior itu tadi. Kompetensi dan kualifikasi pendidikan aku masuk, malah aku orang teknik mesin. Terus yang terobosan itu, tahun lalu kan aku yang mengusulkan home service itu sekalian membuat SOP-nya dan jadi instruktur pelatihan bagi para supervisor 3 tahun yang lalu. Jadi supervisor lebih banyak dan waktu tunggu servis lebih cepat.”

“Ya berarti Mas punya kans yang sama untuk menduduki posisi itu Mas.”

“Sayang berpikir seperti itu?”

“Iya Mas. Kalau masalah senioritas, kupikir itu bukan masalah besar. Misal, yang senior ini sudah waktunya naik jabatan, tapi dia tidak melakukan apa-apa. Bisa saja dia pikir bahwa dia tidak harus melakukan apapun, toh dia bakal naik jabatan. Nah, yang junior sudah melakukan banyak hal untuk bengkel. Apa yang junior harus menunggu bertahun tahun untuk si senior bergerak agar si junior bisa naik jabatan?”

“Bener juga. Tapi Anwar sudah melakukan sesuatu.”

“Bisa saja menurut ketuanya yang Anwar kerjakan tidak cukup untuk mengangkat jabatannya.” Ujar Dara mempertahankan pendapatnya.

“Tapi ini Pak Anwar, Sayangku.” sergah Nur sebal karena istrinya tidak segera mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status