Eka mendekap Surtini dengan erat. Tangannya mencengkeram kuat payung yang sudah penyok. Hanya benda itu satu-satunya senjata yang tersisa, meskipun dia tahu tak akan berguna untuk melawan lima preman berbadan kekar.
"Menyerahlah, Manis. Lebih baik bersenang-senang dengan kami."
Seringaian di bibir para preman meremangkan bulu kuduk. Mereka melangkah pelan, seperti dengan sengaja menciptakan ketegangan, seolah-olah singa hendak menerkam rusa. Eka menelan ludah berkali-kali. Suara napasnya sendiri bahkan terasa seperti genderang kematian.
Brak!
Salah seorang preman tersungkur. Dia menggeram marah, lalu dengan cepat berdiri. Keempat preman lainnya mengalihkan pandangan dengan gusar, mencoba mencari tahu siapa yang tengah menganggu mereka.
"Heh, Tuan Muda tampan ini rupanya hendak terlihat keren di depan gadis-gadis, benar-benar bodoh!" ejek ketua preman saat menemukan Rehan berdiri tak jauh dari mereka.
Tawa meremehkan menggema. Mereka
Aroma karbol menusuk hidung, membuat Surtini mengernyitkan kening. Dia membuka mata perlahan, lalu mengerjap beberapa kali. Wajah cantik Eka menyambutnya. Sang nona menatap sendu."Nona ... kenapa Nona sedih? Ada yang menganggu, Nona?""Syukurlah, Surti ... kamu sadar."Jemari halus mengusap rambut Surtini. Senyuman lembut terukir di bibir Eka, terasa hangat bagi sang pelayan kesayangan. Surtini menyentuh sudut mata nonanya yang terlihat sedikit basah sambil menyengir lebar."Surti enggak papa, Non. Kalau sedih begitu, nanti kecantikan Nona berkurang."Eka terkekeh. Dia menyentil ujung hidung Surtini, lalu mencubit pipi gadis pelayan itu dengan gemas. Rehan yang menyaksikan dari sofa mendelik tajam, tetapi gengsi untuk menunjukkan rasa tak suka secara langsung."Meskipun kecantikanku berkurang 50 persen, laki-laki akan tetap bertekuk lutut, kecuali orang yang di sana," celetuk Eka.Dia menunjuk ke arah Sofa. Surtini mengalihkan pandan
"Jadi, Tante Jihan menganggap saya bodoh?" Suara bariton yang khas memecah keheningan. Rehan keluar dari kamar mandi. Rambut yang sedikit basah menambah kharismanya. Dia terus melangkah dengan elegan, hingga berdiri di depan Jihan dengan tatapan mengintimidasi. "Tante menganggap saya bodoh?" ulangnya dengan penekanan di kata "bodoh". "N-Nak Re-han ...." Jihan tergagap. Sorot mata yang tadinya buas berubah menjadi keibuan. Senyuman sinis berganti senyuman lembut nan hangat. Eka susah payah menahan tawa melihatnya. "Tante tidak mungkinlah menganggap kamu bodoh." "Tapi, yang saya dengar tadi berbeda. Tante bilang meminta kamar VIP untuk Surtini itu bodoh. Saya yang meminta kamar VIP, bukankah menurut Tante saya bodoh?" Jihan tampak menelan ludah. Wajahnya memucat. Sementara Rehan tampak tidak memberi ampun. Dia terus menatap tajam meminta penjelasan. Surtini terlihat khawatir. Gadis itu tampak serba salah karena menjadi to
Surtini bersenandung riang sembari menyirami bunga-bunga lili di rumah kaca. Senyuman tak lepas dari bibirnya. Dia terkekeh saat seekor kupu-kupu hinggap di ujung hidungnya."Hei, si kuning yang imut, terbanglah dari hidungku."Si kupu-kupu enggan beranjak, tampak masih betah di hidung Surtini. Gadis itu pun menggoyangkan kepala. Barulah kupu-kupu berpindah tepat.Surtini kembali menyiram bunga. Senandungnya berganti lagu, tadi lagu daerah kini lagu populer kekinian. Dia begitu asyik hingga tak menyadari Eka telah berdiri di belakangnya."Surti," panggil Eka seraya menepuk bahu pelayannya itu.Surtini terlonjak. Dia refleks berbalik sambil memegang selang penyiram tanaman. Tak ayal Eka kena semprot dan basah kuyup."Ah, maafkan saya, Nona! Apa Nona baik-baik saja? Nona tidak terluka, 'kan?" jerit Surtini panik.Dia melepaskan selang penyiram tanaman, lalu bergegas mengambil handuk yang terlipat rapi di loker rumah kaca. Surtini
"Surti ...." Panggilan lembut membuat Surtini tersentak.Dia langsung mengedarkan pandangan. Senyuman manis pemuda yang selalu muncul di mimpi menyambutnya. Surtini refleks melompat ke belakang, lalu memasang kuda-kuda. Matanya melotot, mencoba mengintimidasi si pemuda."Sebenarnya, kamu siapa? Kenapa kamu selalu muncul di mimpiku? Jangan-jangan kamu demit, ya? Genderuwo pohon asem yang mau ngambil aku jadi istri!" cerocos Surtini hampir tanpa jeda.Akibatnya, dia tersengal-sengal. Sementara pemuda tampan itu tidak terlihat takut sama sekali, malah tergelak sampai ke luar air matanya. Surtini menjadi semakin dongkol."Beneran demit, 'kan? Awas kamu! Aku enggak takut!""Ya ampun, Surti. Ini aku, Eka."Surtini ternganga. Matanya membulat lebar persis pemeran hantu di film horor. Dia menggeleng kuat berkali-kali."Tidak! Tid
"Terima kasih–" Surtini terbelalak "B-Bu Mirna? Maafkan saya malah di sini saat jam kerja! Saya sudah lalai! Maafkan saya, Bu!"Surtini membungkukkan badan berkali-kali. Mirna hanya membisu. Suasana menjadi semakin tegang. Keringat dingin membasahi punggung Surtini.Setelah 10 menit, membuat bawahannya jantungan, Mirna menghela napas berat. Dia memberi isyarat agar Surtini tetap duduk seperti sebelumnya. Gadis itu menurut sembari melirik takut-takut.Mirna ikut duduk di samping Surtini. Dia bahkan ikut mencelupkan kaki ke danau. Namun, mereka kembali terjebak hening. Mirna seperti ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Surtini hanya bisa menunggu dengan sabar sembari memilin-milin ujung seragamnya."Aku sudah dengar dari Non Eka. Akhirnya, kamu tau yang sebenarnya," gumam Mirna memecahkan keheningan.Surtini menunduk dalam. Tangannya semakin sibuk memilin-milin ujung seragam. Dia hampir saja melompat ke danau ketika Mirna menepuk bahunya lagi
Surtini menuangkan teh ke cangkir di hadapan Eka. Beberapa camilan juga ditata di meja. Sementara Eka membolak-balik lembaran buku. Ruangan sangat hening persis saat mereka pertama kali bertemu, padahal biasanya Surtini akan berceloteh apa saja."Silakan diminum, Non," ucap Surtini kaku.Setelah mendengar nasihat Mirna, selama 3 hari ini, dia berusaha bersikap seformal mungkin. Eka melirik kesal. Dia menutup buku dengan kasar, lalu menyesap teh sembari mendelik tajam."Duduklah!" perintahnya.Surtini menggeleng cepat, meskipun hatinya rindu hendak bercengkerama dengan Eka seperti dulu."Tidak, Nona, seperti kemarin, saya akan tunggu di luar."Surtini membungkukkan badan, memberi hormat, lalu melangkah keluar dengan cepat. Namun, hari itu usahanya menghindar tak mudah. Sebelum berhasil mencapai pintu, Eka sudah menarik pergelangan tangannya."Nona, ada apa? Ada lagi tugas untuk saya?"Eka mendengkus. Dia terus mendesak Sur
Eka terbangun dari tidur dengan wajah lelah dan rambut acak-acakan. Dia melirik jam dinding, lalu mendesah berat. Hari sudah menjelang siang. Eka benar-benar kesiangan. Hampir semalaman dia tak bisa tidur. Wajah ketakutan Surtini terbayang-bayang. Eka sungguh menyesal sudah mendesak pelayannya untuk berhenti menghindar. "Argggh! Harusnya aku lebih sabar. Dia pasti sangat syok mengetahui yang sebenarnya." Eka mendengkus dan mengacak-acak rambut sendiri. Dia melirik ke arah pintu. Sebelumnya, Surtini berjaga di depan kamar sampai dia terbangun. Setelah mengikat asal rambutnya, Eka bangkit dari kasur. Dia berjalan ke arah pintu dengan perasaan tak karuan. Eka menghela napas sebelum membuka pintu dengan harapan segera bertemu Surtini untuk meminta maaf. "Surti, aku mint–" Eka tercekat. Tak ada siapa pun di depan kamarnya. Dia mendecakkan lidah, lalu menutup pintu dengan kasar. "Apa dia baik-baik saja? Apa sakit? Ah, belum tentu."
Hening merayap perlahan. Rehan dan Reina hanya bisa ternganga. Eka bahkan sudah pasrah apa pun yang akan dilakukan Surtini untuk meluapkan amarah."Aku rindu kelinci kecilku," bisik Eka.Lengan Surtini terangkat. Eka memejamkan mata, siap menerima segala konsekuensinya. Namun, Surtini bukan mendaratkan tamparan, tetapi justru memberikan pelukan balasan.Setelah saling mendekap hampir 5 menit lamanya, Surtini tersentak. Wajahnya merona. Dia refleks melepaskan pelukan dan mundur beberapa langkah."Maafkan saya, Non! Maafkan saya lancang meluk Non Eka! Saya sudah tidak sopan!" serunya canggung.Eka terkekeh, lalu mengusap rambut Surtini. Gadis itu awalnya terhanyut, seperti merasakan kenyamanannya. Namun, lagi-lagi dia tiba-tiba melompat mundur, mungkin teringat jenis kelamin Eka."Akulah yang memelukmu duluan. Jadi, kamu tetap sopan, Surti," sergah Eka sembari tersenyum hangat, juga menyentil pelan kening pe