LOGINTekanan untuk segera hamil membuat Qiara mendapatkan ide gila dengan meminta Om Bagas—selaku dokter kandungan kenalannya untuk mau menghamilinya. Namun, harapannya berubah menjadi mimpi buruk saat dia mengetahui bahwa Om Bagas selama ini terobsesi padanya. Akankah Qiara bisa membebaskan diri dari jeratan sang Dokter yang ingin menguasai hidupnya? Atau, dia justru terperangkap lebih dalam hingga membuat rumah tangganya hancur?
View More"Lepaskan saja, Sayang... Om mau mendengar suara desahanmu."
Om Bagas menarik tanganku yang sejak tadi kaku menutupi bibir. Aku sudah berusaha sekuatnya menahan setiap bunyi yang ingin keluar, rasa malu itu terlalu besar, seolah semua mata di dunia memandang. Hanya sekejap, tanganku terlepas. Suara kecil langsung lolos dari bibirku. "Aahh ...." "Naahh... begitu dong! Om 'kan jadi lebih semangat, Sayang!" Dia tersenyum lebar, dan gerakannya sedikit memacu. Aku tidak bisa menyangkal. Rasanya benar-benar berbeda, lebih dalam, lebih menyentuh bagian yang pernah kubiarkan terpendam. Lebih nikmat dari apa yang pernah aku rasakan bersama suamiku. Tapi tepat pada saat itu, rasa bersalah kembali menyergap dengan kuat. Wajah Mas Bilal terus muncul di depan mata. Senyumnya yang jarang muncul akhir-akhir ini, juga suaranya yang selalu bicara dengan nada tinggi. Aku merasa gelisah, jantungku berdebar kencang. Apakah yang kulakukan sudah benar? Atau, aku hanya mencari alasan untuk mengkhianatinya? Tapi, andai saja dia mau mendengarkan, mau menurunkan sedikit egonya, pasti semua ini tak perlu terjadi. Aku tak perlu bercinta dengan pria lain, apalagi dengan Om Bagas yang sudah kuanggap sebagai Omku sendiri. *** Sebelumnya.... "Bagaimana hasilnya?" tanya Mas Bilal—suamiku. Nada suaranya penuh harap, matanya menyorotkan antusiasme yang selalu hadir setiap kali aku melakukan tespek. Aku baru saja melangkah keluar dari kamar mandi, alat tes kehamilan masih tergenggam erat di tanganku. Namun, lagi-lagi, aku harus mengubur harapannya dalam-dalam. "Garis satu, Mas," jawabku lirih, mengulurkan tangan dengan lesu. Kekalahan ini terasa begitu pahit, seperti ada yang meremuk hatiku dari dalam. "CK!" Pria berkumis tipis itu mendengus kasar. Raut wajahnya yang tadi cerah kini berubah keruh, diwarnai amarah yang kentara. Jangankan menerima benda yang kuulurkan, dia justru menepisnya dengan kasar hingga tespek itu terlempar dan jatuh begitu saja ke lantai. "Promil kita benar-benar nggak ada hasilnya! Ini artinya, kamu harus siap dimadu." "APA?! Dimadu?" Mataku membulat sempurna, terkejut bukan main dengan kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Apakah aku salah dengar? Kata-kata itu menghantamku seperti petir di siang bolong. Dua tahun belakangan ini, kami memang sudah melakukan segala cara untuk bisa memiliki anak. Berbagai jenis program kehamilan sudah kami jalani, mulai dari yang alami hingga yang paling mutakhir seperti bayi tabung. Sayangnya, semua usaha itu seolah menemui jalan buntu. Tak ada satu pun yang berhasil. Aku benar-benar heran. Saat kami berdua diperiksa oleh Om Bagas—dokter kandungan kenalan Ayah sekaligus teman dekatnya, dia mengatakan bahwa kami berdua sehat secara reproduksi. Sama-sama subur, katanya. Lalu, mengapa sampai detik ini aku tak kunjung mengandung buah cintanya? Namun, jika aku harus berbagi suami dengan perempuan lain, tentu saja aku tidak akan pernah mau. Aku sangat mencintai Mas Bilal. Bagiku, dia adalah satu-satunya. Aku tidak bisa membayangkan diriku harus berbagi kasih sayang dan perhatiannya dengan perempuan manapun. "Iya, Qia. Kita sudah nggak punya banyak waktu lagi. Waktu yang Nenek berikan tinggal dua bulan lagi, dan rasanya itu mustahil untuk kamu hamil dalam waktu sesingkat itu." Nada bicara Mas Bilal terdengar dingin dan tanpa kompromi. Tekanan untuk segera memiliki keturunan ini memang bersumber dari Nenek Mirna—nenek dari Mas Bilal. Beliau selalu mengatakan bahwa usianya sudah tidak lama lagi, dan satu-satunya keinginannya adalah melihat Mas Bilal memberikan cicit sebelum dia menutup mata. Nenek Mirna bahkan mengiming-imingi Mas Bilal dengan seluruh harta warisannya jika dia berhasil memberikannya seorang cicit. Namun, di balik iming-iming itu, terselip sebuah ancaman. Jika dalam waktu yang telah ditentukan Mas Bilal belum juga berhasil mendapatkan keturunan, seluruh harta warisannya akan jatuh ke tangan Arta—sepupu Mas Bilal, yang baru menikah sebulan lalu namun istrinya sudah mengandung. Sebuah ironi yang menyesakkan dada. "Tapi kita 'kan bisa mencobanya lagi, Mas. Lagian ... kata Om Bagas, baik aku maupun Mas Bilal, kita berdua sama-sama sehat, sama-sama subur. Jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Aku mencoba menenangkannya, berusaha meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajahnya. "Bagaimana aku bisa nggak khawatir, kalau waktu yang Nenek berikan tinggal dua bulan, Qia," ucap Bilal dengan suara gemetar. Dia lalu menggelengkan kepala dengan frustrasi. "Enggak, lebih baik aku menikah lagi saja! Mungkin dengan menikah lagi, istri baruku bisa langsung hamil." "Mas, nggak ada seorang istri pun yang mau dimadu. Begitupun denganku! Aku nggak mau dimadu! Aku nggak pernah mau membagi suamiku dengan perempuan lain!" tegasku, menolak mentah-mentah gagasan gilanya. Dadaku terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit. "Kamu jangan egois, Qiara. Ini semua demi kebaikan kita bersama." "Bukan kita, tapi cuma kamu, Mas!" "Aku? Apanya yang aku?" Dia menunjuk wajahnya sendiri, tampak geram mendengar perkataanku. "Kamu 'kan tau, selama ini kita makan dari uang perusahaan Nenekku. Rumah ini, bahkan semua yang aku miliki adalah uang dari Nenekku! Kalau sampai harta warisan itu diambil alih Arta, otomatis semua yang kita punya sekarang akan menjadi miliknya! Kita akan jadi gelandangan, Qia! GELANDANGAN, tau nggak!" Dia menekankan kata itu dengan nada tinggi, seolah-olah hidup kami sudah benar-benar berada di ujung tanduk. Padahal, Ayahku juga bukan orang sembarangan. Dia kaya raya, dan aku yakin dia tidak mungkin tega membiarkan anaknya hidup sengsara hanya karena aku menolak dimadu. "Mas ikhlaskan saja warisan dari Nenek. Nanti aku akan bicara pada Ayah, aku yakin Ayah akan membantu kita. Bahkan memberikan Mas pekerjaan baru dan juga rumah baru untuk kita." Aku mencoba menawarkan solusi. "Ayahmu?!" Mas Bilal tampak terkejut, namun kemudian dia tertawa sumbang sambil menggelengkan kepala. "Yang benar saja! Itu nggak akan mungkin, Qia! Kamu 'kan tau sendiri kalau Ayahmu dari dulu nggak pernah suka sama aku." Memang benar, Ayah tidak pernah menyukai Mas Bilal. Bahkan dulu, akulah yang mati-matian memohon agar Ayah mau merestui pernikahan kami. Namun, aku yakin masih ada cara untuk mengubah pandangan Ayah terhadap Mas Bilal. Aku yakin, meskipun Ayah hanyalah Ayah sambungku, tapi dia sangat menyayangiku seperti anak kandungnya sendiri. Dan dia tidak mungkin tega membiarkanku hidup susah. "Kalau Mas mau berubah, aku yakin Ayah bisa menyukai Mas." Aku mencoba memberikan harapan. "Berubah apanya? Kamu mau aku jadi Superman?" Dia bertanya dengan nada sinis. "Bukan jadi Superman. Maksudku, Mas harus mengubah kebiasaan buruk Mas yang hobi main judol. Dari dulu Ayah 'kan nggak suka pas tau Mas hobi main slot." Aku mencoba menjelaskan dengan sabar. Dari awal pacaran hingga sekarang, Mas Bilal memang sudah terbiasa bermain slot. Bisa dibilang, dia sudah benar-benar kecanduan karena tidak pernah bisa lepas dari permainan haram itu. Aku sudah sering memintanya untuk berhenti, karena menurutku itu sama saja seperti menghambur-hamburkan uang. Selain itu, judi juga haram kata Pak Haji Rhoma. Namun, bukannya mendengarkan nasihatku, dia justru marah-marah dan membentakku. "Kalau itu aku nggak bisa." Mas Bilal menggeleng cepat, menolak permintaanku tanpa ragu. "Apa susahnya sih, Mas, berhenti main slot? Lagian nggak ada untungnya juga. Selama ini ... aku selalu lihat Mas kalah." Aku mencoba membujuknya. "Yang kamu lihat mungkin pas kalahnya saja, padahal aku seringnya menang. Dan kamu nggak usah mengatur masalah hobi-ku. Karena Nenekku saja nggak pernah melarang!" tegas Mas Bilal dengan mata sedikit melotot. Seperti biasa, dia paling tidak suka jika aku menasihatinya tentang hobi tidak berfaedahnya itu. Sejak kecil, setelah ditinggal kedua orang tuanya, Nenek Mirna memang terlalu berlebihan memanjakan Mas Bilal, hingga apa pun yang dia inginkan tidak pernah dilarang, termasuk permainan haram itu. "Sudah, nggak usah membahas hobi-ku. Begini saja ... aku akan memberikanmu waktu sebulan lagi untuk bisa hamil. Tapi kalau dalam waktu sebulan kamu nggak bisa hamil, mau nggak mau, suka maupun tidak suka ... kamu harus terima kalau aku menikah lagi! Titik!!" tegasnya, membuat mataku seketika membulat karena terkejut. "Astaghfirullah, Mas ... Mas lebih memilih menikah lagi, ketimbang berhenti main judi? Padahal, jauh lebih baik kalau Mas bisa memperbaiki hubungan Mas dengan Ayah." Aku menggeleng tak percaya. "Aku nggak peduli!" Mas Bilal tampak acuh. Dia langsung berbalik dan berlalu pergi meninggalkanku yang masih terpaku di tempat. Aku tercengang di sofa, tak bisa berkata apa-apa melihat reaksinya. Tubuhku bergetar hebat, hatiku terasa sangat sakit. Kalau sampai Mas Bilal benar-benar menikah lagi dan Ayah sampai tahu, dia pasti akan memintaku untuk menceraikannya. Aku yakin itu. Tidak! Aku tidak bisa! Aku tidak mau! Meskipun Mas Bilal hobi main judi dan orang yang keras kepala, tapi aku sangat mencintainya. Aku benar-benar tidak bisa membiarkannya menikah lagi, juga melihatnya mencintai perempuan lain selain diriku. Aku... Harus secepatnya mencari solusi untuk masalah ini. Bersambung...."Hari ini aku lembur sampai pagi, jadi kamu nggak usah menungguku pulang."Suara Mas Bilal dari telepon terasa dingin dan singkat, seolah tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Apakah dia masih marah padaku, karena aku menasehatinya untuk berhenti main judi?"Lembur sampai pagi?!" ulangku dengan dahi yang berkerut rapat, mataku memandang layar ponsel yang sudah mati seolah tidak percaya. Merasa heran sekali. "Kok tumben lembur segala, sampai pagi lagi, Mas?"Rasanya memang aneh, seperti ada yang tidak pas. Selama bekerja jadi CEO, Mas Bilal tidak pernah lembur—bahkan dia lebih sering bolos tak masuk kerja dan memilih nongkrong dengan teman-temannya di cafe untuk bermain judi."Iya, lagi banyak kerjaan dan nggak bisa ditunda sampai besok. Sudah dulu, ya, aku tutup teleponnya.""Tapi, Mas, aku—"Padahal aku belum selesai bicara, tapi bunyi "klik" dari telepon menandakan dia sudah mematikkannya.Aku menghela napas panjang, dada terasa sesak. Ada bagusnya sebenarnya dia mengatakan le
"Ja-jangan, Om!"Aku langsung memeluk tubuhnya erat, menahannya saat dia hendak menarik diri dari atas tubuhku. Aku tidak ingin dia marah padaku, aku tidak ingin dia mengakhiri permainan ini. Jika dia beneran marah dan tidak jadi meneruskan aktivitas ini, otomatis aku tidak bisa hamil. Impianku untuk mewujudkan keinginan suamiku akan sirna begitu saja."Kalau begitu jawab jujur, tapi berikan jawaban yang membuat Om senang." Tatapannya tajam menusuk, seolah bisa membaca setiap pikiran dan perasaanku. Aku tahu, aku tidak bisa berbohong padanya."Lebih enak bercinta dengan Om!" Jawabku sedikit lantang, berusaha meyakinkan."Serius?" Dia menatapku penuh selidik, tampak belum sepenuhnya yakin dengan jawabanku."Iya, serius, Om." Aku mengangguk cepat, dengan wajah memelas."Kalau begitu, cium bibir Om sekarang juga."Tanpa menjawab, aku menurut untuk mencium bibirnya.Wajah Om Bagas langsung berseri, dia tersenyum senang. "Baiklah... Ayok kita teruskan permainan ini! Om akan membuatmu terus
Ceklek~Pintu kamar mandi perlahan terbuka, menampilkan sosok Om Bagas yang keluar dengan balutan handuk kimono hotel. Aku refleks menelan ludah dan terkesima sesaat.Selama ini, aku hanya melihatnya sebagai pria tampan yang ramah. Namun, pemandangan di depanku ini membuka dimensi baru—seksualitas yang tak terduga.Dia begitu seksi!Sinar matahari siang yang masuk melalui jendela kamar hotel menerpa tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk ototnya yang terlatih."Maaf menunggu lama, soalnya tadi Om mandi pakai banyak sabun biar wangi," ucapnya lembut, langkahnya mendekatiku. Aroma sabun yang kuat dan segar menyeruak, memenuhi indra penciumanku. Bukan pusing yang kurasa, melainkan desiran aneh yang membangkitkan gairah."Nggak lama kok, Om. Santai saja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. "Oh ya... tadi hape Om bunyi. Ada yang telepon, namanya Karin," kataku sambil menunjuk ponselnya di atas nakas. Nada bicaraku sedikit khawatir, takut ada urusan penting."Karin?" Om Bagas mengulang
"Om 'kan bisa dapat kepuasan. Jadi Om nggak perlu jajan sama cewek lain, bisa hemat duit." Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal, meskipun aku tahu itu terdengar konyol."Enak saja jajan, kamu pikir Om cowok apaan? Om cowok baik-baik, Sayang!" Dia membela diri, dengan nada sedikit tersinggung."Masa sih, Om nggak pernah jajan?" Rasanya tidak mungkin. Seorang pria yang sudah lama menduda, tidak mungkin tidak pernah tergoda untuk mencari kesenangan di luar. Aku tidak percaya itu."Iyalah. Om 'kan sudah lama jadi dokter kandungan, nggak mungkin Om melakukan hal seperti itu. Jajan diluar 'kan bisa menyebabkan penularan penyakit seksual dan Om nggak akan melakukan hal itu." Dia menjelaskan dengan nada meyakinkan, tapi aku tetap merasa curiga."Kan bisa pakai ko*ndom." Aku menyarankan, mencoba menggodanya."Meski pakai pengaman, tapi tetap saja nggak menutup kemungkinan kalau penularan HIV itu bisa terjadi." Dia menjawab dengan nada serius."Terus, selama ini ... kalau Om pengen, gi
"Sentuh aku, Om! Hamili aku!" pintaku dengan suara lantang, memecah kesunyian ruangan Om Bagas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa persiapan, tanpa basa-basi.Setelah tadi sempat merenung di antara air mata dan keputusasaan, aku akhirnya berhasil mendapatkan ide. Sebuah ide yang gila, ekstrem, dan mungkin juga nekat. Tapi aku pikir, di situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Dan hanya Om Bagas lah, satu-satunya orang yang bisa menolongku.Selain Om Bagas adalah dokter kandungan langgananku, yang sudah tahu seluk-beluk masalah reproduksiku, hanya dia satu-satunya pria lain yang kukenal secara akrab. Pria yang kupikir bisa kupercaya.Selain itu, dia juga berstatus duda. Jadi, secara logika, akan aman. Tidak akan ada istri yang marah, tidak akan ada keluarga yang terluka. Hanya aku dan dia, dalam sebuah kesepakatan rahasia."Kamu bicara apa, Sayang?" Om Bagas tampak terkejut. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari tempatnya. Ekspresinya antara kaget dan tidak percaya.
"Lepaskan saja, Sayang... Om mau mendengar suara desahanmu."Om Bagas menarik tanganku yang sejak tadi kaku menutupi bibir. Aku sudah berusaha sekuatnya menahan setiap bunyi yang ingin keluar, rasa malu itu terlalu besar, seolah semua mata di dunia memandang.Hanya sekejap, tanganku terlepas. Suara kecil langsung lolos dari bibirku."Aahh ....""Naahh... begitu dong! Om 'kan jadi lebih semangat, Sayang!" Dia tersenyum lebar, dan gerakannya sedikit memacu.Aku tidak bisa menyangkal. Rasanya benar-benar berbeda, lebih dalam, lebih menyentuh bagian yang pernah kubiarkan terpendam. Lebih nikmat dari apa yang pernah aku rasakan bersama suamiku. Tapi tepat pada saat itu, rasa bersalah kembali menyergap dengan kuat.Wajah Mas Bilal terus muncul di depan mata. Senyumnya yang jarang muncul akhir-akhir ini, juga suaranya yang selalu bicara dengan nada tinggi. Aku merasa gelisah, jantungku berdebar kencang.Apakah yang kulakukan sudah benar? Atau, aku hanya mencari alasan untuk mengkhianatinya?






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments