"Jadi, Tante Jihan menganggap saya bodoh?"
Suara bariton yang khas memecah keheningan. Rehan keluar dari kamar mandi. Rambut yang sedikit basah menambah kharismanya. Dia terus melangkah dengan elegan, hingga berdiri di depan Jihan dengan tatapan mengintimidasi.
"Tante menganggap saya bodoh?" ulangnya dengan penekanan di kata "bodoh".
"N-Nak Re-han ...."
Jihan tergagap. Sorot mata yang tadinya buas berubah menjadi keibuan. Senyuman sinis berganti senyuman lembut nan hangat. Eka susah payah menahan tawa melihatnya.
"Tante tidak mungkinlah menganggap kamu bodoh."
"Tapi, yang saya dengar tadi berbeda. Tante bilang meminta kamar VIP untuk Surtini itu bodoh. Saya yang meminta kamar VIP, bukankah menurut Tante saya bodoh?"
Jihan tampak menelan ludah. Wajahnya memucat. Sementara Rehan tampak tidak memberi ampun. Dia terus menatap tajam meminta penjelasan.
Surtini terlihat khawatir. Gadis itu tampak serba salah karena menjadi to
Surtini bersenandung riang sembari menyirami bunga-bunga lili di rumah kaca. Senyuman tak lepas dari bibirnya. Dia terkekeh saat seekor kupu-kupu hinggap di ujung hidungnya."Hei, si kuning yang imut, terbanglah dari hidungku."Si kupu-kupu enggan beranjak, tampak masih betah di hidung Surtini. Gadis itu pun menggoyangkan kepala. Barulah kupu-kupu berpindah tepat.Surtini kembali menyiram bunga. Senandungnya berganti lagu, tadi lagu daerah kini lagu populer kekinian. Dia begitu asyik hingga tak menyadari Eka telah berdiri di belakangnya."Surti," panggil Eka seraya menepuk bahu pelayannya itu.Surtini terlonjak. Dia refleks berbalik sambil memegang selang penyiram tanaman. Tak ayal Eka kena semprot dan basah kuyup."Ah, maafkan saya, Nona! Apa Nona baik-baik saja? Nona tidak terluka, 'kan?" jerit Surtini panik.Dia melepaskan selang penyiram tanaman, lalu bergegas mengambil handuk yang terlipat rapi di loker rumah kaca. Surtini
"Surti ...." Panggilan lembut membuat Surtini tersentak.Dia langsung mengedarkan pandangan. Senyuman manis pemuda yang selalu muncul di mimpi menyambutnya. Surtini refleks melompat ke belakang, lalu memasang kuda-kuda. Matanya melotot, mencoba mengintimidasi si pemuda."Sebenarnya, kamu siapa? Kenapa kamu selalu muncul di mimpiku? Jangan-jangan kamu demit, ya? Genderuwo pohon asem yang mau ngambil aku jadi istri!" cerocos Surtini hampir tanpa jeda.Akibatnya, dia tersengal-sengal. Sementara pemuda tampan itu tidak terlihat takut sama sekali, malah tergelak sampai ke luar air matanya. Surtini menjadi semakin dongkol."Beneran demit, 'kan? Awas kamu! Aku enggak takut!""Ya ampun, Surti. Ini aku, Eka."Surtini ternganga. Matanya membulat lebar persis pemeran hantu di film horor. Dia menggeleng kuat berkali-kali."Tidak! Tid
"Terima kasih–" Surtini terbelalak "B-Bu Mirna? Maafkan saya malah di sini saat jam kerja! Saya sudah lalai! Maafkan saya, Bu!"Surtini membungkukkan badan berkali-kali. Mirna hanya membisu. Suasana menjadi semakin tegang. Keringat dingin membasahi punggung Surtini.Setelah 10 menit, membuat bawahannya jantungan, Mirna menghela napas berat. Dia memberi isyarat agar Surtini tetap duduk seperti sebelumnya. Gadis itu menurut sembari melirik takut-takut.Mirna ikut duduk di samping Surtini. Dia bahkan ikut mencelupkan kaki ke danau. Namun, mereka kembali terjebak hening. Mirna seperti ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Surtini hanya bisa menunggu dengan sabar sembari memilin-milin ujung seragamnya."Aku sudah dengar dari Non Eka. Akhirnya, kamu tau yang sebenarnya," gumam Mirna memecahkan keheningan.Surtini menunduk dalam. Tangannya semakin sibuk memilin-milin ujung seragam. Dia hampir saja melompat ke danau ketika Mirna menepuk bahunya lagi
Surtini menuangkan teh ke cangkir di hadapan Eka. Beberapa camilan juga ditata di meja. Sementara Eka membolak-balik lembaran buku. Ruangan sangat hening persis saat mereka pertama kali bertemu, padahal biasanya Surtini akan berceloteh apa saja."Silakan diminum, Non," ucap Surtini kaku.Setelah mendengar nasihat Mirna, selama 3 hari ini, dia berusaha bersikap seformal mungkin. Eka melirik kesal. Dia menutup buku dengan kasar, lalu menyesap teh sembari mendelik tajam."Duduklah!" perintahnya.Surtini menggeleng cepat, meskipun hatinya rindu hendak bercengkerama dengan Eka seperti dulu."Tidak, Nona, seperti kemarin, saya akan tunggu di luar."Surtini membungkukkan badan, memberi hormat, lalu melangkah keluar dengan cepat. Namun, hari itu usahanya menghindar tak mudah. Sebelum berhasil mencapai pintu, Eka sudah menarik pergelangan tangannya."Nona, ada apa? Ada lagi tugas untuk saya?"Eka mendengkus. Dia terus mendesak Sur
Eka terbangun dari tidur dengan wajah lelah dan rambut acak-acakan. Dia melirik jam dinding, lalu mendesah berat. Hari sudah menjelang siang. Eka benar-benar kesiangan. Hampir semalaman dia tak bisa tidur. Wajah ketakutan Surtini terbayang-bayang. Eka sungguh menyesal sudah mendesak pelayannya untuk berhenti menghindar. "Argggh! Harusnya aku lebih sabar. Dia pasti sangat syok mengetahui yang sebenarnya." Eka mendengkus dan mengacak-acak rambut sendiri. Dia melirik ke arah pintu. Sebelumnya, Surtini berjaga di depan kamar sampai dia terbangun. Setelah mengikat asal rambutnya, Eka bangkit dari kasur. Dia berjalan ke arah pintu dengan perasaan tak karuan. Eka menghela napas sebelum membuka pintu dengan harapan segera bertemu Surtini untuk meminta maaf. "Surti, aku mint–" Eka tercekat. Tak ada siapa pun di depan kamarnya. Dia mendecakkan lidah, lalu menutup pintu dengan kasar. "Apa dia baik-baik saja? Apa sakit? Ah, belum tentu."
Hening merayap perlahan. Rehan dan Reina hanya bisa ternganga. Eka bahkan sudah pasrah apa pun yang akan dilakukan Surtini untuk meluapkan amarah."Aku rindu kelinci kecilku," bisik Eka.Lengan Surtini terangkat. Eka memejamkan mata, siap menerima segala konsekuensinya. Namun, Surtini bukan mendaratkan tamparan, tetapi justru memberikan pelukan balasan.Setelah saling mendekap hampir 5 menit lamanya, Surtini tersentak. Wajahnya merona. Dia refleks melepaskan pelukan dan mundur beberapa langkah."Maafkan saya, Non! Maafkan saya lancang meluk Non Eka! Saya sudah tidak sopan!" serunya canggung.Eka terkekeh, lalu mengusap rambut Surtini. Gadis itu awalnya terhanyut, seperti merasakan kenyamanannya. Namun, lagi-lagi dia tiba-tiba melompat mundur, mungkin teringat jenis kelamin Eka."Akulah yang memelukmu duluan. Jadi, kamu tetap sopan, Surti," sergah Eka sembari tersenyum hangat, juga menyentil pelan kening pe
"Makasih, ya, Mas Rehan!" Eka melambaikan tangan mengiringi kepergian mobil Rehan meninggalkan kediaman Keluarga Hartono. Pemuda itu baru saja mengantarkannya dan Surtini setelah mereka puas bermain di taman hiburan. Dia sengaja bersikap manja karena tahu Gayatri melihat dari jendela kamar. Surtini hanya bisa menyaksikan tingkah sang "nona" dengan mulut terbuka lebar. Eka memang pernah bercerita bahwa, sebelum masuk ke kediaman Keluarga Hartono, dia mendapatkan pelatihan akting untuk menjadi perempuan. Namun, Surtini tak menyangka sandiwara yang ditampilkan akan sebagus itu. "Jangan kaget, kenapa dengan hanya latihan akting sebulan, aku bisa memerankan seorang perempuan dengan baik. Itu karena aku memang jenius," celetuk Eka membuyarkan lamunan Surtini. Surtini mengerutkan bibir. "Iya, iya, Non Eka paling jenius sedunia. Eka tergelak. Dia segera mengajak Surtini masuk. Namun, gadis itu meminta izin untuk kembali ke asra
"Surti, Surti." Panggilan lembut dan tepukan pelan di pipi membuat Surtini membuka mata perlahan sambil menguap lebar. Dilihatnya Eka tengah menahan tawa. Gadis itu seketika duduk dengan tegak. Pipinya langsung merona saat melihat pantulan wajah dari kaca jendela mobil, ada bekas iler di sudut bibir kiri. "Maaf, Non, maaf, saya jorok!" seru gadis itu gugup. Eka terkekeh. Dia mengeluarkan saputangan bermotif bunga lili, lalu menyeka sudut bibir Surtini dengan lembut. Si gadis pelayan kembali merona, tetapi langsung tersentak. "Aduh, saputangan Nona jadi kotor!" keluhnya. Dia mengambil saputangan dari tangan Eka. "Nanti saya cuci dulu, Non." Eka menyeringai jail. "Sebenarnya, tidak apa-apa tidak dicuci. Mungkin nanti akan kumasukkan dalam kotak kaca sebagai kenang-kenangan," goda Eka. Surtini mengerecutkan bibir. Dia cepat memasukkan saputangan ke dalam saku jaket, khawatir sang nona akan benar-benar m