“Mas By sudah makan?” Langkah Yasmen langsung terhenti ketika melihat Byakta sudah berada di ruang keluarga. Ternyata, suaminya sudah lebih dulu sampai di rumah daripada Yasmen. Tidak hanya itu, Byakta juga mengganti baju dan terlihat segar dengan rambut yang masih terlihat basah. Sementara Yasmen, ternyata sangat-sangat telat untuk berada di rumah. Ini akibatnya jika tidak memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Harusnya, Yasmen bisa memprediksi jarak gedung apartemen Nando dengan Casteel High. Belum lagi kemacetan yang selalu menghiasi ibukota di jam-jam tersebut. “Belum,” Byakta menatap tas dengan logo restoran cepat saji, yang ditenteng oleh Yasmen. Sebelum menebak isinya adalah makanan dari restoran tersebut, lebih baik Byakta bertanya lebih dulu. Siapa tahu saja, isinya justru pakaian, atau barang yang lainnya. “Apa itu?” “Oh …” Yasmen yang masih berada ditempatnya, langsung mengangkat tas tersebut. “Ayam, sama kentang. Aku beli pas pulang tadi.” “Kamu beli?” Byakta yang seda
Byakta membuka pintu kamar, lalu menahan napas. Ada tas kerja Yasmen di atas tempat tidur, dan Byakta melihat lembaran rupiah yang tercecer dari sana. Melangkah maju, Byakta melihat handuk basah tertinggal di atas meja rias istrinya. Belum lagi kabel hairdryer yang masih menancap dan tergeletak begitu saja di lantai. Selain itu, kartu debit yang baru Byakta buat pagi tadi ternyata masih tergeletak di tempat semula. Tanpa bergeser sedikit pun.“Yas …” Byakta pergi menuju walk in closet tapi, tidak menemukan Yasmen di dalam sana. Sudah bisa ditebak, malam ini Yasmen akan kembali tidur di kamar lainnya seperti kemarin malam.Byakta segera keluar kamar, untuk mendatangi Yasmen yang sudah pasti berada di kamar tadi malam. Seperti kemarin, Byakta kembali membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di dalam sana, terlihat Yasmen sudah duduk santai di sofa sambil menikmati ayam dan kentang goreng yang dibelinya seorang diri.Yang membuat Byakta mengerutkan dahi kali ini ialah, gadis itu han
“Mas By, Aku haus! Bukain pintunya!”Yasmen tanpa segan menggoyang tubuh Byakta dengan sekuat tenaga, untuk membangunkan pria itu. Kendati ia tahu, Byakta sudah tertidur begitu lelapnya. Salah sendiri, siapa suruh Byakta mengunci pintu kamar dan menyembunyikan kuncinya.Byakta menghela sambil membuka mata. Tidak pernah ada satu pun, yang pernah membangunkan Byakta seperti ini seumur hidupnya. Yasmen benar-benar berisik, tidak sabar, dan kasar. Bahkan Mario yang keras sekalipun, tidak pernah membangunkan Byakta seperti ini.“Apa mami kalau bangunin kamu tiap pagi selalu kasar begini?”Sambil mengerucutkan bibirnya, Yasmen menggeleng. “Kalau sekolah aku sudah biasa bangun sendiri. Kalau libur, yaaa, terserah aku mau bangun jam berapa.”Byakta kembali menghela. “Tapi bukan begini caranya bangunin orang.”Yasmen yang duduk di tengah ranjang itu berdecak. “Yang penting bangun,” ujarnya lalu menarik tangan Byakta dengan paksa. “Buruan, aku haus. Entar beli itu filter air minum aja, pasang d
Yasmen menggumam lelah. Enggan bangkit dari tempat tidur, karena seluruh sendi di tubuhnya benar-benar terasa luluh lantak. Nyeri, perih, dan ngilu bercampur jadi satu. Rasanya sungguh berbeda, seperti pertama kali Yasmen menyatu dengan Byakta pagi itu. Apa mungkin karena mereka melakukan hingga lewat tengah malam, sampai akhirnya tubuh Yasmen terasa remuk redam.Ingin merutuk kebodohannya karena terlalu lemah di depan Byakta, tapi Yasmen tidak menampik jika ia menikmatinya semua yang dilakukan sang suami kepadanya. Kalau begini, nasihat yang dimuntahkan Sinar terasa sia-sia belaka.Yasmen kembali jatuh dalam pesona Byakta, dan tidak bisa sama sekali menolaknya.Ternyata, cinta benar-benar telah membutakannya.“Jangan sampai telat ke kantor.”Ucapan tersebut, seketika mengejutkan Yasmen yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Lebih terkejut lagi, ketika ia melihat Byakta sudah sangat rapi dengan setelan jas kerjanya. Yasmen spontan melihat jendela kamar yang sudah sangat terang ben
“Ngapain kamu di sini?”Bira yang baru masuk ke dalam ruang kerjanya, cukup terkejut saat mendapati Yasmen sudah berbaring di sofa panjang. Dengan segera, Bira menghampiri putrinya dan duduk tepat di samping tubuh Yasmen. Menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis itu dan Bira langsung bernapas lega karena suhu putrinya ternyata normal-normal saja. “Pergi ke ruanganmu sana.”“Bentar, belum jam kerja.” Yasmen menolehkan wajah, pada asisten Bira yang terus berjalan menuju meja kerja. Pria yang bernama Ricky itu menyalakan perangkat komputer, sambil mengeluarkan laptop yang biasa dibawa Bira bepergian. “Om, tolong keluar dulu dong, aku mau ngomong sama Papi.”Riky mengangguk, tapi masih bertahan di tempatnya. “Sebentar, ya, Mbak. Tunggu komputer sama laptopnya nyala.”“Heh, panggil Bapak kalau di kantor,” tegur Bira lalu beranjak menuju meja kerjanya. “Keluar dulu, Rik. Masuk lagi kalau Yasmen sudah keluar.”“Baik, Pak.”Yasmen tidak kunjung bangkit dari posisinya, meskipun Riky sudah
“Loh, udah pulang? Kirain lembur lagi.”Yasmen segera berlari kecil menghampiri Byakta, yang baru saja masuk ke dalam kamar. Meraih tangan kosong Byakta yang tidak menenteng tas kerja, lalu menariknya menuju sofa.“Ayo kita bicarain yang tadi pagi,” lanjut Yasmen sudah duduk berdampingan dengan sang suami. Karena sudah berada di rumah, maka Yasmen hendak memperjelas nasib pernikahannya dengan Byakta.“Tadi pagi?” Byakta bersandar lelah sambil menoleh pada sang istri. Sejenak, Byakta kembali mengingat-ngingat mengenai pembicaraannya dengan Yasmen pagi tadi. Setelah mengingatnya, Byakta lalu menghela karena Yasmen masih saja bersikap kekanakan. Seharusnya, Yasmen tidak perlu membicarakan hal yang seperti ini, karena semua keputusan ada di tangan gadis itu. Tidak bisakah Yasmen belajar untuk bersikap realistis dan dewasa seperti Mai?Mai, lagi. Mai, lagi. Apa benar wanita itu sudah benar-benar move on dengan pria yang baru dikenalnya, dan melupakan Byakta?“Hm, bicaralah.”“Itu!” Yasmen
Yasmen berjalan gontai keluar rumah, sambil memijat bahu, leher, serta lengannya bergantian. Sesuai kesepakatan, Yasmen tidak boleh mengeluh dengan apa yang telah terjadi kemarin malam. Meskipun tubuhnya kini luar biasa pegal di segala sisi, tapi Yasmen tetap bungkam dan berusaha untuk tidak merengek pada Byakta.“Kenapa lagi?” tanya Byakta yang baru saja menutup pintu mobil setelah meletakkan tas laptopnya di kursi penumpang. Sebelum mengitari roda empatnya, Byakta melihat Yasmen yang baru melewati pintu sambil merungut. Tangan istrinya itu pun sibuk memijat bahu, dan sesekali meringis dengan wajah kesal.“Nggak papa!” jawab Yasmen ketus dengan memperlihatkan wajah datar. Menjaga mulutnya untuk tidak mengeluh, maupun merengek karena nyeri yang dirasa di seluruh tubuhnya. Ternyata, kehidupan seorang istri tidak seindah yang dibayangkan Yasmen. Mengapa hidupnya tidak bisa seperti sang mami, atau Sinar? Hanya tinggal duduk diam di rumah, dan menikmati hari-hari dengan sesuka hati. Buka
“Lunch?”Satu jam sebelum makan siang, Yasmen menerima notifikasi chat dari nomor yang tidak tertera di dalam daftar kontak teleponnya. Karena penasaran, Yasmen buru-buru membukanya dan melihat foto profil yang menampilkan logo sebuah perusahaan yang sama sekali tidak diketahuinya. Semakin penasaran, Yasmen pun langsung membalas chat dari seseorang yang mengajaknya makan siang.“Siapa lo?” ketik Yasmen lalu mengirimkannya dengan segera. Baru saja Yasmen meletakkan kembali ponselnya di sebelah keyboard, benda persegi nan mahal itu kembali berbunyi singkat.Karena tidak ingin bolak balik memegang ponsel, Yasmen berinisiatif memasang aplikasi chat berlogo hijau tersebut di browsernya. Tidak perlu menunggu lama, Yasmen akhirnya sudah bisa menggunakannya aplikasi tersebut, dan langsung membalas chat yang diterima melalui komputer kantor yang saat ini digunakannya.“Endy.”Yasmen membulatkan bibirnya saat membaca jawaban singkat tersebut. Merasa tidak memiliki janji makan siang dengan siapa