Langkah Yasmen terhenti saat baru melewati pintu rumah. Mulai mencebik, terisak seraya memutar tubuh memeluk Byakta. “Nggak dapat gado-gadooo.” Satu tangan Byakta menutup pintu, dan satunya lagi mengusap punggung sang istri. Lebih baik seperti kemarin, tidak perlu ada acara ngidam, hingga tidak merepotkan seperti sekarang. “Besok, ya. Ini sudah malam, mana ada orang jual gado-gado. Kalau nasi goreng banyak.” “Mau gado-gado.” Suara Yasmen semakin lirih. Sesenggukan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan. “Entar anaknya ileran kalau nggak keturutan.” Byakta berdecak. Merasa heran karena Yasmen masih memercayai hal seperti itu. “Kata siapa?” “Kataku barusan.” “Semua bayi ileran, Hun.” Byakta kembali mengingat tingkah Rara yang suka memasukkan tangan ke dalam mulut mungilnya. Bila sudah begitu, maka daerah sekitar mulutnya pasti akan belepotan dengan air liur. Mengingat hal tersebut, Byakta jadi tidak sabar ingin melihat jagoannya segera lahir. “Tapi entar tambah ileran.” “N
Cukup.Byakta ingin meneriakkan kata tersebut, tetapi tidak kunjung bisa terlontarkan dari mulutnya. Semakin ke sini, Byakta semakin pusing dengan permintaan Yasmen. Semua hal yang diminta sebenarnya masih ada dan terjangkau oleh mata. Akan tetapi, istrinya itu selalu meminta di waktu yang tidak tepat.Yasmen pernah menghubungi Byakta ketika ia sedang berada dalam rapat direksi penting bersama Bira. Istrinya itu meminta Byakta untuk membelikan makanan Korea, dan meminta dirinya mengantarkan sendiri ke rumah.Tahu begini, Byakta tidak pernah berharap istrinya itu akan ngidam sampai kapan pun.“Mau apa lagi sekarang?” Meskipun mengantuk, tetapi Byakta tetap mengusap punggung Yasmen yang belakangan ini sering mengeluh pegal.“Nyari asinan malam-malam begini di mana, ya, Bee?”Mulai lagi, kan. Di mana mau mencari asinan di jam sembilan malam seperti sekarang?“Ini sudah jam sembilan lebih, Hun.” Byakta harus mengatur intonasinya selunak mungkin, agar perasaan sensitif istrinya itu tidak t
“Duduklah, biar aku yang bikin susu.” Byakta mengambil alih wadah susu dari tangan Yasmen dan langsung membukanya. Ketika istrinya itu keluar kamar tanpa menoleh dengan intonasi bicara yang datar, Byakta paham ada satu hal yang sudah mengganggu perasaan Yasmen.“Aku bisa bikin sendiri.” Meskipun begitu, Yasmen hanya berdiam diri dan tidak mengambil kembali wadah susu dan gelas yang baru saja di ambil oleh Byakta. Yasmen justru mengerjap berulang kali, agar tidak ada air mata yang menitik di wajahnya.“Iya, aku tahu, tapi biar aku yang bikin malam ini,” ulang Byakta sudah menuangkan satu sendok susu ke dalam gelas. “Habis ini biar aku potongkan buahnya. Jadi kamu tinggal duduk manis, terus makan.”Yasmen mengangguk dalam diam. Ia pergi menuju sebuah sofa panjang, yang di letakkan di salah satu sisi dapur. Sejak Yasmen hobi menghabiskan harinya di dapur untuk memasak, ia meminta sofa panjang yang ada di ruang tamu agar dipindah ke dapur. Jadi, sambil menunggu gorengannya matang, Yasmen
Perasaan Yasmen bisa sedikit lebih lega setelah mendengar pernyataan sayang dari Byakta. Walaupun, Yasmen masih meyakini hati sang suami masih saja terpaut dengan kakak sepupunya. Secara nyata, Mai memang bukan ancaman karena Yasmen tahu wanita seperti apa kakak sepupunya itu. Namun, hal tersembunyi yang masih berada di dalam hati Byaktalah yang terkadang membuat Yasmen merasa kecil hati.“Bee …” Yasmen masuk ke kamar mereka di lantai bawah, tetapi tidak mendapati Byakta ada di sana. Hanya ada laptop terbuka yang tergeletak di tempat tidur, dan masih menyala. Mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, Yasmen akhirnya menyimpulkan suaminya saat ini sedang berada di dalam sana.Tiba-tiba saja, sebuah pikiran datang dan mengusik Yasmen saat melihat laptop Byakta di tempat tidur. Karena itu, Yasmen segera menghampiri dan membuka windows explorer baru dan mencari sebuah folder yang dulu pernah ia lihat dan buka.Namun, hingga beberapa saat Yasmen menyelidiki, folder yang dahulu penuh
“Aku, juga mau stroller yang begini, tapi warnanya biru atau hijau buat cowok,” pinta Yasmen saat menyentuh sebuah stroller yang akan dihadiahkan pada Sila yang baru saja melahirkan bayi perempuan. Yasmen belum menjenguknya, karena menunggu hingga Sila pulang ke kediaman Sagara terlebih dahulu. Karena setiap bulan selalu datang ke rumah sakit untuk kontrol kandungan, Yasmen jadi bosan mencium aroma khas yang membuat perutnya mual.Yasmen hanya mual, tetapi tidak sampai muntah. Namun, hal itulah yang membuat dirinya enggan pergi ke rumah sakit, kecuali terpaksa.“Kenapa nggak bilang dari tadi?” Sudah sampai di depan kasir dan hendak membayar, barulah Yasmen mengutarakan keinginannya tersebut.“Tadi nggak pengen, tapi sekarang pengen,” jawabnya beralasan.Byakta menghela. Padahal, mereka menghabiskan waktu yang tidak sedikit ketika mencari sebuah stroller yang pas sesuai keinginan Yasmen. Kini, saat sudah dapat dan hendak pergi ke kediaman Sagara, gadis itu ingin membeli satu lagi untuk
“Ada Rara.” Byakta menunjuk gadis kecil yang berada di gendongan Pras yang sore ini terlihat sangat rapi. Karena pria itu tidak memakai baju rumahan yang cenderung santai, maka Byakta menebak, Pras akan keluar bersama cucu kesayangannya tersebut. “Cepat banget besarnya.”“Itu artinya, Mas Bee sudah tambah tua.” Yasmen membuka sabuk pengaman, walau mobil Byakta masih berjalan pelan memasuki pekarangan kediaman Sagara. Melihat Rara ada bersama Pras, itu berarti di dalam sana juga ada Mai dan Raj yang sedang berkunjung.Sejenak, Yasmen menatap sang suami. Mengingat tidak ada lagi foto-foto Mai di dalam laptop Byakta, Yasmen setidaknya sudah bisa mempercayakan separuh hidupnya pada pria itu. Semoga saja, sosok Mai tidak hanya dihapus di laptop Byakta, tetapi juga dari hati serta pikiran pria itu.Ya, semoga saja.“Itu artinya, kamu sudah nikah sama orang tua,” balas Byakta lalu membelokkan roda empatnya dengan perlahan untuk parkir. Tidak ada mobil Raj ataupun Mai ada di pekarangan, Byakt
“Kalau Sila jahitannya banyak.”Mendengar Qai mengatakan hal tersebut, Yasmen jadi bergidik sendiri. Membayangkan dirinya berada di ruang persalinan dengan dokter dan perawat di sekitarnya. Belum lagi, dengan rasa sakit dari kontraksi sebelum persalinan berlangsung. Nyali Yasmen seketika ciut mendengarnya.“Disuruh jangan ngejan, tapi dia ngejan karena nggak kuat,” sambung Qai.Yasmen yang duduk di tepi ranjang di samping Sila, menoleh pelan pada Byakta yang duduk di sofa panjang bersama Qai. “Aku mau caesar aja, Bee. Nggak jadi normal.”“Mau operasi, mau normal, dua-duanya sama-sama ada resikonya,” kata Sinar yang duduk berseberangan dengan Yasmen. Bukan mau menakut-nakuti Yasmen, tetapi Sinar ingin memberi pandangan lain agar keponakannya itu bisa memikirkan semua hal dengan matang. “Jadi, pikirkan dulu baik-baik. Kalau memang mau operasi, mending cari tanggal cantik dulu. Kalau normal, kan, nggak bisa milih.”Yasmen mengernyit. Masih membayangkan bagaimana rasanya bila bagian inti
Dengan berat hati, malam itu Byakta ikut makan malam di kediaman Pras atas titah Sinar. Duduk satu meja dengan Mai, yang tampak tidak peduli dengan semua hal seperti biasa. Tidak ada Raj, karena pria itu ternyata sedang berada di luar kota, dan karena itulah Mai berada di rumah orang tuanya.Rasa canggung itu ternyata masih ada, tetapi Byakta berusaha bersikap biasa. Bagaimanapun juga, mereka saat ini sudah menjadi satu keluarga besar. Mai sudah membuang masa lalunya, begitupun dengan Byakta. Mereka sudah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing, dan tidak perlu lagi menyinggung ataupun mengingat masa lalu.“Ayah, aku mau pulang.” Yasmen menghampiri Pras yang sedang duduk bersila di ruang tengah, bersama Rara yang belum juga beranjak tidur. Pria itu sedang menemani cucunya bermain dengan buku bantalnya. Dengan perlahan, Yasmen ikut duduk di atas karpet, lalu bersila di samping Rara. “Kamu kenapa belum tidur, siiih!” Ketika kedua tangan Yasmen hendak mencubit gemas pipi Rara, Pra