#Empat#
Reyka menyematkan bros pada kerudung segi empat yang dipakai. Dia memilih menggunakan celana panjang longgar dengan kaos lengan panjang berpadu dengan kardigan selutut. Tak lupa membawa masker untuk dikenakan menutupi wajah. Terakhir, dia mengambil sepatu kets dan menggunakannya untuk menemani aktivitas hari ini.
“Loh, Non, kenapa gak pakai seragam?” tanya Bi Siti heran melihat penampilan Reyka bukan untuk pergi ke sekolah.
“Rey mau izin, Bi, untuk hari ini.”
“Memang, Non Rey, mau ke mana?” Bi Siti penasaran.
Reyka menghentikan mengunyah makanan yang ada dalam mulut. Ditatapnya Bi Siti dengan pandangan nelangsa.
“Rey kangen pengen ketemu Ibu. Hari ini, Ibu pasti datang.”
“Oh, iya, Non Rey hari ini ulang tahun, kan? Non Rey akhirnya berusia tujuh belas tahun. Selamat ya, Non, udah dewasa,” Bi Siti berucap dengan binar bahagia. “Semoga selalu diberikan kesehatan, dilimpahi kebahagiaan,” doa Bi Siti. Yang diamini lirih oleh Reyka.
Terasa miris, di usianya yang ke tujuh belas tahun justru Bi Siti yang menjadi asisten rumah tangganyalah yang pertama kali mengucapkan selamat dan juga memberikan doa. Banyak orang menantikan ulang tahun ke tujuh belas hingga menamainya sweet seventeen. Namun bagi Reyka, kebahagiaan sederhana yang dimiliki orang lain begitu sulit untuk dia miliki.
“Pak Rahmat, ayo, kita berangkat!” ajak Reyka memanggil supir yang setia menemani ke mana pun dia pergi setelah menyelesaikan sarapan.
“Ke sekolah, Non?” tanya Pak Rahmat bingung melihat Reyka tak memakai seragam.
“Antar saja, Pak, nanti Rey beritahu ke mana kita akan pergi hari ini.”
Tak ada kuasa untuk menolak keinginan dari anak majikannya, Pak Rahmat menuruti keinginan Reyka. Pak Rahmat membukakan pintu belakang mobil agar Reyka bisa masuk seperti biasa. Namun Reyka malah membuka sendiri pintu depan. Mengambil posisi tempat duduk di samping kemudi.
“Non, kenapa duduk di depan?” tanya Pak Rahmat yang lagi-lagi bingung.
“Lagi pengen lihat pemandangan dengan leluasa, Pak. Sekalian, Rey mau minta tolong sama Pak Rahmat.”
“Minta tolong apa, Non?”
“Pak Rahmat, masuk saja dulu, nanti Rey ceritakan di jalan.”
Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah yang luas. Setelah ke luar dari area kompleks rumah barulah Reyka secara bertahap menunjukkan arah jalan yang akan mereka datangi.
“Pak, tahu ga, hari ini hari apa?” Reyka mulai membuka percakapan.
“Hari rabu, Non.”
“Bukan itu. Hari ini hari spesial buat Rey, Pak.”
“Memang hari apa, Non?”
“Hari ini Rey ulang tahun ke tujuh belas. Pak Rahmat, mau ngasih hadiah apa buat Rey?” tanya Reyka.
Pak Rahmat yang ditodong Reyka sedikit gelagapan. Apa yang bisa dia berikan pada Reyka selaku anak dari majikannya. Dia tak bisa memberikan sesuatu yang mahal.
“Pak, kok bengong?” ledek Reyka.
“Pak Rahmat takut, Non Reyka, minta barang yang bagus dan mahal,” ungkap Pak Rahmat polos dan jujur. Reyka tersenyum mendengarnya, menampakkan lesung pipi yang dimiliki.
“Rey ga akan minta barang kok, Pak. Rey mau minta yang lain. Tenang, Pak Rahmat ga perlu mengeluarkan biaya sedikitpun untuk itu,” Reyka seolah memberikan teka-teki.
“Kalau boleh tahu, apa, Non?” Pak Rahmat mengutarakan rasa penasarannya.
“Ajari Rey menyetir, Pak!”
“Waduh, Non, sudah minta izin Tuan Irawan?” Pak Rahmat kaget dan takut dengan permintaan Rey.
“Ga usah minta izin Ayah. Ini akan jadi rahasia kita berdua atau malah bertiga dengan Bi Siti. Tapi untuk sementara Bi Siti pun belum tau.”
“Non, ga usah belajar nyetir, biar Bapak aja yang antar Non ke mana saja dan kapan saja Non perlu,” cegah Pak Rahmat.
“Kalau Pak Rahmat ga mau ngajarin Rey, Rey masih bisa belajar dari orang lain kok. Rey tinggal ambil kursus. Ya, walau Rey harus keluar uang buat biaya kursus,” Rey merajuk dengan sedikit memainkan nada bicaranya.
“Berarti, Pak Rahmat, memang ga sayang sama Rey, diminta hadiah yang ga berbayar aja ga mau!” sindir Rey.
Pak Rahmat menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya mudah untuk mengajarkan menyetir pada Reyka. Reyka adalah anak yang cerdas yang pernah Pak Rahmat temui, akan mudah baginya menyerap apa yang diajarkan. Namun dia takut jika terjadi sesuatu dikemudian hari karena dia mengajarkan itu pada Reyka.
“Kalau Tuan Irawan marah, Bapak bingung, Non.”
“Ayah ga akan mungkin marah. Selama ini, kan Ayah ga peduli dengan apa yang Rey lakukan. Masa, Pak Rahmat ga ingat?” tanya Reyka miris.
Pak Rahmat mati kutu dengan pernyataan Reyka. Apa yang dikatakan memang benar adanya.
“Kapan, Non Rey mau mulai belajar?” tanya Pak Rahmat kemudian.
“Segera, Pak.”
“Kenapa, Non ingin belajar menyetir?”
“Untuk saat ini belum ada jawaban yang tepat. Tapi Rey yakin keterampilan apapun yang dimiliki suatu hari akan berguna. Karena keterampilan yang dimiliki adalah bekal ilmu yang ringan untuk dibawa ke mana-mana,” jelas Reyka.
“Pak, di perempatan jalan nanti kita belok ke kanan,” pinta Reyka.
“Kita sebetulnya mau ke mana, Non?”
“Pengadilan agama.”
“Ngapain, Non?” Pak Rahmat terkejut dengan tujuan mereka.
“Ayah dan Ibu hari ini menjalani sidang cerai terakhir. Rey ingin mendengar hasil putusan sidang secara langsung. Rey juga kangen ingin bertemu Ibu.” Pandangan Rey kosong menatap jalanan yang tak terlalu padat.
Setelah bertanya pada petugas, Reyka mengetahui ruangan mana yang digunakan sebagai tempat sidang cerai orang tuanya. Dia mengetahui hal ini karena tanpa sengaja melihat surat panggilan sidang yang tersimpan di meja kerja ayahnya.
Reyka yang menggunakan masker duduk di barisan belakang. Setengah jam mendengar tanya jawab yang terjadi antara hakim, pengacara dan beberapa orang yang berwenang dalam kasus ini, hasil pun diumumkan.
“Dengan ini, mengabulkan gugatan cerai yang dilakukan oleh saudari Tiara Kusuma Dewi terhadap saudara Irawan Sasmita. Tanpa tuntutan harta gono-gini. Adapun hak asuh anak diberikan kepada Irawan Sasmita,” suara hakim terdengar sangat tajam hingga menohok batin Reyka.
Palu hakim diketuk tiga kali dan tak lama para pengurus perkara bangkit berdiri bersiap meninggalkan ruang sidang. Reyka tak dapat menahan air mata yang meluruh. Ingin dia menjerit, mengapa hal seperti ini terjadi padanya.
Adakah di dunia ini, seorang anak yang sedang berulang tahun ke tujuh belas dan dihadiahi perceraian kedua orang tuanya? Bayangan tentang orang tua yang duduk dalam satu meja, menyaksikannya meniup lilin sebagai perayaan menuju usia dewasa lalu menyuapi keduanya dengan kue yang manis menguap tanpa bekas.
Reyka melihat lelaki yang berwajah tampan dan gagah itu berjalan meninggalkan ruangan tanpa beban. Senyum terkembang saat Tante Dinda mengapit lengannya. Ayahnya tak menyadari kehadiran Reyka di ruangan ini.
“Rey?” sapa ramah perempuan yang berdiri di hadapan Reyka.
“Kenapa kamu di sini? Kamu ga pergi sekolah?” tanya ibunya dengan lembut.
Reyka tak menjawab. Dia segera berdiri memeluk Tiara lalu tangisnya pecah.
“Kenapa ini semua terjadi, Bu? Mengapa Ibu membiarkan hak asuh jatuh pada Ayah?!”
“Ibu bukan membiarkan, justru Ibu yang memintanya. Meminta ayahmu tetap bertanggung jawab terhadap anaknya. Seorang istri bisa berubah menjadi mantan, tapi tak akan pernah ada istilah mantan untuk anak,” Tiara berujar dengan sabar.
Tiara mengelus punggung Reyka dengan lembut. Menikmati pelukan Reyka yang entah kapan mereka bisa berpelukan lagi seperti ini. Akan terbentang jarak di antara keduanya karena berpisah tempat.
“Eh, anak Ibu yang cantik hari ini berulang tahun, kan? Ayo, kita rayakan! Kita pergi ke toko kue dan memesan sebanyak yang Rey mau.”
Ternyata ibunya masih mengingat hari kelahiran Reyka. Melihat ruangan yang juga sudah kosong, Reyka menganggukan kepala. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berlama-lama dengan ibunya.
Reyka menghubungi Pak Rahmat agar pulang karena Reyka menggunakan mobil yang dikendarai ibunya menuju café. Dalam perjalanan, tak banyak kata yang terucap. Karena semakin banyak lisan bergetar semakin memantik emosi yang menguras duka.
#Lima#“Silakan, selamat menikmati,” ujar pelayan yang membawakan cheesecake berbentuk bundar berdiameter enam belas sentimeter. Terdapat dua lilin yang berbentuk angka satu dan tujuh di atasnya.“Walau hanya seadanya, Ibu harap kamu suka.”“Rey sangat suka. Suka sekali,” jawab Rey dengan mata berkaca-kaca. Ada haru dan luka yang menyeruak dalam dada sekaligus.“Anak cantik jangan nangis, nanti cantiknya luntur,” Tiara menyapu lembut pipi Reyka yang basah. “Sekarang kita nyalakan lilinnya, jangan lupa make a wish!”Reyka menutup mata. Berdoa dengan khusyu akan permintaannya. Dia hanya meminta semoga ibunya bisa selalu bahagia walau kini mereka tak lagi tinggal bersama.“Sudah?” tanya Tiara saat melihat Reyka membuka mata. Reyka mengangguk lalu meniup lilin yang menyala.Tiara memotong cheesecake menjadi empat bagian dan memindahkan
#Enam#Pak Rahmat sudah bersiap diri untuk mengantar Reyka sekolah seperti biasa. Sesampainya Reyka di depan mobil yang terparkir, Reyka tersenyum lebar yang membuat Pak Rahmat tak enak hati. Pasti Reyka akan mengeluarkan sesuatu yang di luar kebiasaan.“Kenapa ekspresi muka Pak Rahmat begitu?” tanya Reyka bingung melihat Pak Rahmat yang terlihat cemas.“Pasti, Non mau minta yang aneh-aneh kalau udah kayak gini,” cetus Pak Rahmat dengan jujurnya.“Tau aja nih, Pak Rahmat. Iya, Rey mau minta tolong. Hari ini Rey yang coba bawa mobil, ya. Bapak duduk di sebelahnya mengawasi,” pinta Reyka.“Duh, Non, jalanan ke sekolah itu ramai. Padat kendaraan. Kalau mau latihan di sekitaran kompleks aja, ya,” tawar Pak Rahmat.“Kan udah seminggu lebih latihan di sekitaran kompleks. Ibarat main game, ya harus naik level Pak, biar tambah lancar,” Reyka mengajukan protes.“Ja
#Tujuh# Reyka memeriksa buku catatan yang selalu dibawanya ke mana-mana. Buku catatan itu berisi targetan yang harus dikerjakan setelah disusun berdasaran minggu, bulan, tri wulan hingga satu semester ke depan. Reyka merasa harus mulai melakukannya. Karena dengan memetakan target, tujuan hidupnya akan lebih terarah. Reyka membolak balik kalender duduk di meja belajarnya. Ujian semester akan diadakan pekan depan sedangkan ujian nasional akan dilaksanakan bulan April, yang berarti akan dilaksanakan empat bulan lagi. “Lumayan nih, libur sekolah dua minggu,” gumam Reyka. Pikirannya kembali menyusun rencana untuk mengisi waktu liburan. Seminggu akan dia jadwalkan untuk mengunjungi ibunya. Dan seminggu lainnya, akan dia manfaatkan untuk belajar bisnis. Mungkin ini saatnya untuk mulai peduli terhadap urusan bisnis. “Non,” panggil Bi Siti sambil mengetuk pelan pintu kamar Reyka. “Ya, Bi?” Reyka menyimpan buku catatannya dan memb
#Delapan# Pagi hari, Reyka sudah berpakaian rapi. Dia mengenakan setelan blazer berwarna pastel serta kerudung pashmina warna senada. Sepatu tanpa hak turut melengkapi penampilannya. Orang asing akan mengira jika Reyka adalah seorang sosialita walau wajahnya hanya ditaburi bedak tipis serta sentuhan lip balm agar bibirnya tak kering. “Wah, Non, cantik,” puji Bi Siti saat melihat Reyka menghampiri meja makan untuk sarapan. “Emh, jadi hari-hari sebelumnya Rey gak cantik nih, Bi?” tanya Reyka. “Eh, Bi Siti salah ngomong, ya?! Maksud Bibi, Non selalu cantik. Tapi hari ini, bikin Bi Siti pangling.” “Mau ke kantor harus pakaian formal kan, Bi?” “Non, mau ke kantor Tuan Irawan?” tanya Bi Siti memastikan. Reyka mengangguk sambil mengunyah nasi goreng yang sudah disiapkan di atas meja. “Rey mau belajar bisnis, Bi. Mumpung lagi liburan sekolah. Dari pada liburan ga jelas, menghambur-hamburkan uang. Lebih
#Sembilan# Chika, salah satu pegawai yang bekerja di bagian keuangan dengan hati gelisah dan takut kini berjalan menuju ruangan atasannya. Sangat jarang Pak Irawan memanggilnya, kecuali jika ada kesalahan. Biasanya Bayu, rekan satu profesinya yang merupakan manajer keuangan yang akan berhadapan dengan bosnya jika ada yang harus dibicarakan. Chika mengetuk pintu. Pintu yang terbuka dari dalam membuat Chika kaget, karena mendapati seorang gadis cantik berkerudung berada dibalik pintu. “Bu Chika, ya?” tanya Reyka dengan senyum ramah membuat Chika terpesona dengan kecantikannya. “Mari, masuk!” Reyka mempersilakan. Chika melangkahkan kaki dengan ragu. Reyka kembali menutup pintu dan meminta Chika untuk duduk di sofa yang terletak di tengah ruang kerja ayahnya. Chika mengamati sekitar mencari keberadaan Irawan. “Bu Chika bingung, ya, bisa dipanggil ke sini?” tanya Reyka saat mendapati sikap canggung Chika. “Sejujurnya, iya. Sa
#Sepuluh#Reyka sedang bermalas-malasan di atas kasur sambil mendengarkan musik menggunakan earphone yang tersambung pada ponsel. Matanya dipejamkan demi menikmati musik dan menghayati lirik yang mengalun.Semalam, Reyka mendapat pesan dari Tante Dinda untuk datang ke sebuah butik untuk mencoba baju yang akan digunakan saat resepsi pernikahan ayahnya dan Tante Dinda. Entah tulus atau tidak ajakan tante Dinda tersebut, tetapi hal itu tak ditanggapi dengan serius oleh Reyka.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Reyka membuka mata dengan malas karena mengira panggilan yang masuk berasal dari Tante Dinda atau ayahnya, mengingat waktu untuk fitting telah tiba. Tetapi, saat Reyka melihat nama ibunya tertera pada layar, Reyka langsung mengangkat panggilan.“Assalamu alaikum, Bu,” sapa Reyka membuka percakapan yang langsung dibalas oleh ibunya.“Wa alaikum salam. Anak Ibu sedang sibuk?”&
#Sebelas#Reyka memfokuskan pandangan pada jalanan yang dilalui. Ingin sekali menikmati pemandangan, tetapi ini adalah salah satu kesempatan baginya untuk menyetir mobil ke luar kota. Pak Rahmat masih setia mengawasi dan memberikan arahan jika diperlukan.“Kalau capek, biar Bapak yang gantikan,” ujar Pak Rahmat menawarkan diri.“Ga usah, Pak. Sebentar lagi juga sampai,” jawab Reyka sambil melirik sebentar jalur peta yang terpampang pada layar ponsel.“Non, berapa lama nanti di sana?” tanya Pak Rahmat.“Mungkin tiga hari, Pak. Nanti Rey kabari kalau minta dijemput,” jawab Reyka.Mobil mulai memasuki jalanan kecil yang di sisi kanan kirinya berderet rumah penduduk. Dari petunjuk yang ada di layar ponsel, jarak rumah Tiara hanya berkisar 500 meter. Reyka benar-benar tak sabar untuk segera bertemu dengan ibunya.Reyka menghentikan kendaraan di depan rumah bercat hijau dan berpagar rendah, seperti ciri-ciri yang disebutkan Tiara. Rumah itu seperti kedatangan banyak tamu, terlihat dari bany
#Dua Belas#Kening Reyka berkerut melihat angka-angka yang dia tulis. Mengamati kembali kertas soal dan menemukan letak kesalahan pada catatannya. Reyka melanjutkan menghitung soal ujian matematika yang berisi 40 soal pilihan ganda.Hari ini merupakan hari terakhir ujian nasional setelah serangkaian ujian sekolah dengan berbagai mata pelajaran dilalui. Tinggal dua langkah menuju Korea yakni menunggu hasil ujian dan mendaftar di kampus yang sudah dipilihnya.Wajah Bianca dan teman-teman yang lain tak kalah kusut. Materi integral yang belum terlalu dipahami, keluar pada ujian kali ini.‘Kalau mentok, paling asal-asalan buletin huruf biar pola di kertas jawabannya bagus’ batin Reyka. Karena dalam kondisi seperti ini, sikap setia kawan tidak berlaku.Dua bulan sejak ujian nasional berakhir, teman-teman Reyka bergembira karena pengumuman masuk ke perguruan tinggi negeri sudah diumumkan. Keempat teman Reyka diterima di kampus yang menjadi dambaan mereka. Sedangkan Silmi, dia tidak lolos di