Share

Keputusan Tiara

#Tiga#

Obrolan tempo hari dengan Diana menjadikan Reyka mulai memikirkan dengan serius perihal kelanjutan pendidikan yang akan dilakukannya di luar negeri. Reyka mulai mencari-cari informasi mengenai Korea Selatan.

Budaya, bahasa, wilayah, kampus-kampus penyedia bea siswa, jurusan di setiap kampus, pengurusan visa dan juga paspor. Semua mulai digali informasinya oleh Reyka. Dan kendala bahasa adalah sesuatu yang tak bisa dia miliki dengan instan.

Reyka memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya di suatu pagi saat melihat pria tersebut sarapan seorang diri.

“Yah, Rey ingin bicara serius,” ucap Reyka tanpa basa-basi.

Mendapati tatapan ayahnya yang hanya memandang sekilas lalu terfokus lagi pada sarapannya, Reyka menarik salah satu kursi lalu duduk.

“Seingat Rey, Rey tak pernah meminta apapun pada Ayah. Mungkin hingga beberapa saat ke depan, Rey akan meminta beberapa hal pada Ayah,” ungkap Reyka.

Tak ada reaksi berarti yang ditunjukkan Irawan. Rey mengembuskan napasnya dengan kasar hingga terdengar oleh Irawan. Dia tahu, anaknya itu mulai kesal karena dia tak memberikan respons. Hatinya sedikit goyah saat mencerna kembali kata-kata yang dipilih oleh Rey untuk berbicara dengannya. Betul, Rey sudah lama tak meminta sesuatu darinya. Terakhir kali Rey meminta agar Irawan mau menemaninya berlibur setelah pembagian rapor saat masih sekolah dasar. Namun tak dikabulkan.

“Apa yang kamu minta?” tanya Irawan.

“Pertama, Rey meminta tambahan uang.”

“Untuk apa?”

“Rey akan mengikuti beberapa les tambahan sebagai persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi.”

“Bukankah kau sudah paling pintar di sekolah? Mengapa perlu les tambahan?” tanya Irawan menyelidik.

“Les tambahan yang akan Rey ikuti tak akan bernilai hingga belasan atau bahkan puluhan juta. Masih lebih murah dibandingkan uang yang Ayah habiskan untuk menyenangkan Tante Dinda!” desis Reyka dengan tenang.

Irawan tak dapat menjawab ataupun mengelak jawaban yang diberikan oleh Reyka. Jika dia manusia yang masih memiliki kepekaan, seharusnya hatinya akan terkoyak saat seorang anak kandung berani mengatakan hal demikian. Namun Irawan sepertinya sudah menutup hati.

“Lalu apa lagi yang kau minta?”

“Nanti Rey akan meminta Ayah menandatangani persetujuan jika Rey kuliah di luar negeri.”

“Negara mana yang kau pilih?”

“Sejak kapan Ayah peduli terhadap pilihanku?” Bukannya menjawab Rey malah bertanya balik.

Irawan mengembuskan napas lalu meraih tas kerja yang tersimpan di kursi samping di mana dia duduk. Dengan gagah dia berjalan meninggalkan Rey yang masih duduk di ruang makan.

“Terserah apa maumu!” Hanya itu kata yang keluar dari lisan Irawan.

Reyka menundukkan kepala di atas meja makan. Hendak menangis pun tiada guna. Untuk apa menangisi ayah yang tak peduli padanya. Hanya menyia-nyiakan air mata. Itulah yang Reyka pikir.

Reyka meneguk segelas susu yang sudah disiapkan Bi Siti lalu berangkat ke sekolah diantar Pak Rahmat. Di tengah perjalanan, ponsel Reyka berbunyi pelan. Sebuah pemberitahuan masuk. Uang senilai sepuluh juta telah masuk ke dalam rekening. Tercantum nama ayahnya sebagai pengirim dana.

Senyum Reyka terkembang. Saat pulang sekolah nanti Reyka akan segera mendaftarkan diri untuk les yang telah dipilihnya. Les bahasa korea dan les piano. Mungkin besok dia pun akan membeli kamera sebagai penunjang pelatihan fotografi yang dia ikuti secara online. Uang tabungan yang ada dalam rekening ditambah uang ayahnya yang baru saja masuk cukup untuk keperluannya saat ini malah mungkin bisa bersisa. Tergantung pada harga kamera yang akan dipilihnya besok.

=== 

Suara denting piano terdengar mengalun. Sesekali ada not yang salah ditekan tetapi berhasil diatasi. Arahan dari seorang perempuan membuat Reyka mengangguk-anggukan kepala tanda memahami penjelasan.

Tiara yang baru saja datang melihat punggung anaknya yang serius belajar piano. Entah bagaimana ceritanya, hingga piano yang teronggok hanya sebagai pajangan di sudut ruangan yang besar ini akhirnya berguna juga.

Ada rasa bersalah yang menyergap. Bagaimana mungkin ada seorang ibu yang tega membiarkan anaknya tumbuh seorang diri padahal masih memiliki orang tua yang lengkap. Dia yang menghindari Irawan juga turut pergi dari pandangan Reyka, anak semata wayangnya.

Bukan tanpa alasan Tiara pergi dari rumah ini. Siapa yang akan tahan melihat suami yang selama ini diharapkan bisa memberikan cinta ternyata tak jua memberikannya. Hati Irawan tetap terkait pada perempuan masa lalu yang seharusnya cerita di antara mereka sudah terkubur.

Terlebih setelah kematian kedua mertuanya, Irawan kembali mencari Dinda dan melanjutkan hubungan mereka yang sempat terhalang oleh restu. Kini tak ada yang bisa menghalangi. Apalah dayanya, Tiara tak mampu menghalangi apa yang menjadi keinginan hati Irawan.

Pun dengan kehadiran Reyka, tak bisa menggerakkan hati Irawan untuk mempertahankan rumah tangga. Seorang anak yang tak tahu apa-apa, harus menanggung luka karena hidup dalam cangkang keluarga namun kosong dan jauh dari kata bahagia.

“Ibu..?!” panggil Reyka tak percaya dengan sosok yang berdiri di dekat sofa.

Tiara segera menghapus air mata yang akan segera menitik. Dia tak ingin Reyka melihatnya sedang menangis.

“Hai, anak Ibu sedang les piano ternyata?” tanyanya kemudian sambil merentangkan tangan. Berharap Reyka akan menghambur dalam pelukan.

Benar, mendapati kedua tangan ibunya terentang, Reyka berjalan cepat dan memeluk ibunya. Pelukan ibu yang selalu dia rindukan. Sudah beberapa lama dia tak mendapatkannya. Walau kini usianya sudah dewasa, pelukan ibu selalu menjadi tempat ternyaman.

“Ibu ke mana saja? Apa Ibu lupa kalau Ibu punya anak?” tanya Reyka.

“Ibu sedang menyelesaikan urusan Ibu, Sayang. Maaf Ibu terlalu lama meninggalkanmu. Bagaimana mungkin Ibu lupa, kamu adalah anak Ibu. Anak Ibu satu-satunya. Anak Ibu yang paling cantik, pintar dan menggemaskan,” ujar Tiara dengan menciumi pucuk kepala Reyka yang tertutup jilbab.

“Sebentar, Bu,” ujar Reyka melepas pelukan sang Ibu.

“Bu, bolehkah sesi latihan hari ini sampai disini? Kita sambung lagi lusa,” pinta Reyka sopan pada perempuan yang merupakan guru lesnya.

“Oh, tentu boleh. Oke, kita bertemu kembali lusa, ya,” ujarnya ramah.

Tak lama guru les piano itu berlalu pergi. Reyka kembali memeluk ibunya. Tiara yang tak siap hampir saja terhuyung mendapati pelukan Reyka.

“Bu, apa Ibu sehat?” tanya Reyka riang.

“Apa Ibu terlihat sedang sakit?” Tiara membalas dengan pertanyaan.

“Badan Ibu terasa lebih kecil,” ujar Reyka.

“Yang betul kamu yang berkembang menjadi lebih besar.” Tiara memberikan alasan.

“Kenapa Ibu baru pulang?”

Tak langsung menjawab, Tiara tampak menata diri. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan pada Reyka. Dan Tiara berharap Reyka bisa mengerti dan memahami posisinya.

“Rey, Ibu ingin bicara. Bisa kita bicara sekarang?” tanya Tiara yang terlihat serius. Reyka mulai merasa tidak enak.

“Tentu, Bu. Ayo, kita duduk dulu,” ajak Reyka.

Reyka dan Tiara duduk berhadapan di sebuah sofa yang empuk dan megah. Tiara akan berusaha berhati-hati dalam menyampaikannya.

“Rey, Ibu tahu Rey sudah besar. Rey sudah dewasa. Sebentar lagi usia Rey tujuh belas tahun, kan?” Reyka mengangguk.

“Ibu kira Rey sudah tahu dengan apa yang terjadi antara Ayah, Ibu juga Tante Dinda. Ibu tak ingin membahas lebih jauh mengapa dan bagaimana ini terjadi. Tapi yang perlu Rey ketahui, hubungan Ayah dan Ibu sudah tak bisa bertahan. Kalau Ibu bertahan malah akan membuat Ibu semakin terluka.”

“Suatu hari nanti, saat Rey telah lebih dewasa Rey akan mengerti mengapa Ibu memilih menyerah.” Cairan bening mulai menitik dari pelupuk mata Tiara. Tak jauh berbeda, mata Reyka sudah memerah.

“Rey masih jadi anak Ibu dan akan selalu jadi anak Ibu. Posisi Rey di hati Ibu tak akan tergantikan.”

“Ibu, jangan berbicara seperti ini. Kita masih bisa tinggal bersama,” protes Reyka.

“Tinggallah bersama ayahmu, Nak. Walau dia bersikap dingin, dia tak akan mungkin sampai membuatmu kekurangan materi. Paling tidak masa depanmu terjamin jika tinggal bersama ayahmu.”

“Ibu tega meninggalkanku?” tanya Reyka dengan air mata yang lolos mengalir.

Tiara hanya menjawab dengan menarik Reyka dalam pelukan. Kedua orang yang pernah dalam satu tubuh selama sembilan bulan ini menangis bersama. Bi Siti yang tak sengaja menyaksikan dari dapur turut menangis. Nyonya dan nonanya terluka karena sebuah perpisahan.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status