Share

Insya Allah Ada Jalan, Nak!
Insya Allah Ada Jalan, Nak!
Author: Hakayi

1. Surat dari Kampung Halaman

Sepulang dari kuliah, kubaringkan tubuhku di atas lantai keramik putih. Pandangan mataku menerawang ke langit-langit kamar. Hampa rasanya. Kepalaku semakin pusing saat mengingat tunggakan bayaran kuliah yang belum bisa aku bayarkan. Orang tuaku di kampung sudah lama tak mengirim uang. Pihak kampus sudah memanggilku berkali-kali. Bahkan mereka mengancam untuk mengeluarkanku dari kampus jika bulan depan aku masih belum juga melunasi tunggakan. Aku bingung untuk mencari solusinya.

Ketukan di pintu kamar terdengar agak mengejutkanku. Bergegas aku membukanya. Tergugup aku mendapati Elis yang tersenyum dan berdiri di depanku. Ujung jilbab lebarnya bergerak-gerak tertiup angin siang yang berembus. Hari ini, wajahnya yang bersih cerah terlihat begitu indah dipandang.

“Aa, ada titipan dari Umi, nih,” ucapnya, lalu menunduk. Di tangannya kulihat sepiring makanan yang ditutup sehelai daun pisang.

Aku tersenyum sambil meraih piring yang ternyata berisi nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Pas sekali waktunya, perutku sejak tadi memang keroncongan karena sepagian belum terisi apa-apa. Bukan tidak lapar, tetapi karena persediaan uangku terus menipis. Sudah dua semester ibuku berhenti mengirimiku uang, entah apa alasannya aku tak tahu. Sudah berkali-kali aku menulis surat pada Ibu tentang hal ini, tapi sampai sekarang belum juga ada balasan.

“Makasih ya, Lis. Jadi nggak enak nih, merepotkan terus,” ucapku basa-basi.

“Nggak apa-apa, Aa. Umi kok yang nyuruh,” sahut Elis dengan mimik wajah terlihat malu-malu.

“Bilang sama Umi, ya, Aa terima kasih banyak.”

“Iya, nanti Elis bilangin. Oh ya, A, ini sekalian ada surat buat Aa. Umi yang terima dari pos.”

Aku menerima amplop tertutup yang diulurkan Elis. Kutemukan nama ibuku di alamat pengirim. Setelah Elis berpamitan, kuletakkan piring di atas meja belajarku, dan bergegas membuka surat.

Bram, maafkan Umak. Sudah beberapa bulan ini tidak mengirimi kamu uang. Kopi-kopi kita tak berbuah banyak seperti tahun kemarin. Warung Umak macet karena banyak pembeli yang berutang. Umak hampir saja kehabisan modal. Listrik sudah dua bulan ini menunggak, Nak, hampir saja diputus oleh PLN. Untung pamanmu bersedia meminjamkan Umak uang untuk membayarnya. Adik-adikmu juga menunggak bayaran sekolah.

Jika tidak mengganggu kuliahmu, Umak menyarankan agar kamu juga mencari pekerjaan. Tapi jika tidak bisa, Umak punya rencana menjual sawah kita pada Mang Bahar, agar uangnya bisa melunasi utang Umak dan membiayai kuliahmu di Jakarta. Hanya ini jalan satu-satunya. Umak tak punya pilihan lain. Umak ingin kamu tetap kuliah, mengejar cita-cita yang selama ini kamu impikan. Umak tunggu balasanmu. Jika kamu setuju, Umak akan jual sawah kita secepatnya.

Belajar yang rajin, Bram. Jangan tinggalkan sholat lima waktu. Tetap berdoa, Umak yakin ujian ini hanya sementara.

Aku menarik napas panjang. Rasanya tak berselera lagi menikmati nasi pemberian Elis di atas meja belajarku.

Aku tak mau Umak menjual sawah peninggalan almarhum Ayah. Selama ini, sawah itulah yang menjadi penambah penghasilan Umak selain kebun kopi kami. Aku harus bekerja, bagaimanapun aku tak boleh putus kuliah hanya gara-gara cobaan ini. Namun, aku harus kerja apa? Bagaimana cara mengatur jadwalnya?

Pertanyaanku belum terjawab ketika datang temanku satu indekos, Fajrin namanya, membawa kantong plastik berisi makanan di tangan.

“Wah, wah, dari aromanya, hmmm ... kayaknya ada yang nganterin makanan enak lagi, nih,” celetuk Fajrin tiba-tiba sambil mengendus-endus ke sekitar.

Aku membiarkannya mendekat ke meja belajar dan kulihat dia menemukan suguhan makanan yang dibawa Elis tadi.

“Cieeee, Bram! Udahlaaah, nunggu apa lagi, sih? Kapan lagi ada cewek kayak dia?” Fajrin mulai menggodaku. “Sholehah. Pinter ngaji. Cantik lagi! Sampai kapan ente mau diem-diem aja, Bram? Kasihan tuh Eliiis, nungguin ungkapan kata hati ente. Ane bisa menebak dari matanya, kalo dia itu mengharap kata cinta dari ente!"

Cowok berpostur tinggi, berambut cepak dan berkulit putih itu memandangku dengan serius. Aku diam, sedang tak ingin merespon candanya.

“Hei, Bram, kok murung gitu sih? Lah, ini nasinya nggak dimakan?" Lama-lama, Fajrin pun menyadari ekspresi wajahku yang tak biasanya. Sambil meletakkan tasnya di atas meja belajar, dia melihat ke lembaran surat di tanganku. “Itu surat dari Umak?"

Aku mengangguk.

 “Aman-aman saja, kan?”                                              

Aku tersenyum dipaksakan. Tak ingin Fajrin mengetahui masalahku, aku pun menjawab, “Aman. Aku cuma stres sama tugas-tugas hari ini, Sob,”

“Kirain ada apa-apa di kampung,” Fajrin terlihat lega mendengar pengakuanku. Lalu, lagi-lagi dia menyambung, “Elis itu … udah ibunya baik, bapaknya apalagi!”

“Emang nggak ada pembahasan lain, ya, selain Elis? Aku lagi mau serius kuliah dulu, Sob, belum kepikiran yang begituan. Jadi, kalau kamu suka sama dia, ya monggo, nanti aku bilang ke dia kalau kamu suka. Gimana?"

“Haah? Nggak! Nggak! Dia sukanya sama ente, kok malah ditawarin ke ane sih?" kulit wajah Fajrin yang bersih mendadak terlihat bersemu merah.

“Hahaha! Makanya, jangan ngeledekin aku terus kayak gitu!”

Fajrin geleng-geleng kepala, mengakui ‘kekalahannya’ sambil mulai membongkar perbekalan makanan dari kantung plastik. “Mendingan makan. Perut ane udah keroncongan nih, Sob. Yuk!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ar_key
ya Allah nyesek bacanya, jadi ingat waktu kuliah dulu ......
goodnovel comment avatar
Hakayi
Terima kasih yang sudah membaca. Jangan lupa tambahkan novel ini ke koleksi bacaan dan jangan lupa kasih review ya. Thank so much semuanya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status