Share

2. Elis

Penulis: Hakayi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-15 18:59:15

Kami pun menikmatinya bersama. Saat tengah lahap menyantap hidangan, tiba-tiba pikiranku kembali teringat kondisi keuanganku yang kosong. Aku benar-benar tak punya uang saat ini. Sepeser pun tak ada. Mau pinjam pada Fajrin, malu rasanya. Ya Allah, berilah aku jalan, doaku dalam hati.

“Assalaamualaikum!"

Lagi, aku mendengar suara Elis di luar rumah. Hampir bersamaan, aku dan Fajrin bangkit dan menunda makan untuk membukakan pintu depan. Benar saja, gadis Cianjur itu berdiri di depan pintu.

“Waalaikum salam, Elis,” jawab kami, nyaris berbarengan pula.

“Makan, Lis,” Fajrin menawari sambil menunjuk piring yang setengah kosong di tangannya.

“Makasih, Mas Fajrin. Alhamdulillah, Elis sudah makan.” Sahut gadis manis itu. Lalu, katanya sambil tersenyum, “Maaf, A Bram. Elis mau nyampein pesen Umi. Kata Umi, malam ini kalau bisa Aa ajarin Asep matematika. Besok Asep ulangan.”

Entah kenapa aku seperti terhipnotis dengan wajah ayunya. Heran, padahal ini bukan kali pertama Elis menyampaikan pesan ibunya agar aku menemani Asep belajar.

Fajrin mendorong sikunya ke bahuku—postur tubuhnya memang di atas rata-rata—sebagai isyarat agar aku segera menerima undangan orang tua Elis.

“Nggg, iya, Lis. Insya Allah, bisa,” jawabku sedikit gugup.

“Ya sudah, kalau begitu Elis pulang, ya. Makasih, Aa. Maaf ganggu, sok dilanjutkan makan siangnya,”

“Eh, ntar dulu pulangnya atuh, Elis,” Fajrin dengan sengaja mencegah kepergian gadis itu. Tanpa peduli padaku yang membalas menyikutnya, dia pun menyambung, “Kebetulan tadi Mas Fajrin bawa buah. Elis mau?”

“Nggak, makasih, Mas. Buahnya biar untuk Mas Fajrin sama Aa Bram saja. Elis masih kenyang.”

“Oh, ya sudah kalau begitu," Fajrin tersenyum.

Setelah itu, barulah kami membiarkan Elis pergi. Kami pun kembali ke kamar: aku menghabiskan nasi dan lauk-pauk kiriman Elis, sementara Fajrin menandaskan makanan di piringnya yang masih tersisa sedikit. Kembali, aku terpikirkan lagi persediaan uangku yang nyaris ludes dan kebingunganku memutar otak untuk mencari pekerjaan.

“Eh, Bram, lucu banget deh lihat ente sama Elis tadi,” celetuk Fajrin, setelah mengakhiri makan siangnya dengan mereguk segelas air. “Kalian berdua sama-sama malu-malu. Kalau Elis mah emang aslinya pemalu, tapi kalo ente ... malu-maluin! Hahaha!”

 “Udah, udah, jangan mulai lagi. Mending habisin tuh minuman ente. Ntar kalau ente keselek, ane yang repot!"

Begitulah, karena kami lebih sering tidak seriusnya, kadang-kadang aku merasa masalah seberat apa pun seakan tidak berarti jika sedang bersamanya. Fajrin  adalah sahabatku yang selalu riang. Kupikir, tak pernah aku melihatnya murung dan sedih. Dia seperti selalu bahagia.

Malam harinya, aku benar-benar menepati janji pada Elis untuk datang ke rumahnya dan menemani Asep belajar. Kedua orang tua Elis memang sering memintaku mengajarkan matematika untuk anak bungsunya sejak aku masih menjadi mahasiswa semester pertama.

Abi dan umi Elis sangat baik padaku. Sikap Elis padaku pun—saking baiknya—kadang-kadang menurutku sedikit berlebihan. Walaupun begitu, aku tak ingin berprasangka buruk padanya. Aku menganggap kebaikannya sama seperti kebaikan abi dan uminya. Mana mungkin Elis—seperti sering dibilang Fajrin—suka padaku? Elis berjilbab. Kulitnya putih bersih, wajahnya cantik. Dia lulusan pondok pesantren Gontor dan sekarang kuliah di Universitas Indonesia. Dia tak mungkin tertarik pada pemuda sepertiku yang mungkin tidak selevel dengan dirinya. 

“Diminum, A, teh manisnya."

Suara Elis membuyarkan lamunanku. Sejak pertama bertemu, Elis memang sudah memanggilku Aa, yang berarti kakak dalam bahasa Sunda. Begitu juga Asep, adiknya, yang memanggilku demikian. Awalnya terdengar agak aneh, tentu karena aku sendiri orang Sumatera, tetapi lama-lama aku terbiasa dengan panggilan itu.

“Eh, iya, makasih." Jawabku.

Karena kemunculan ayahnya, Elis meninggalkanku masuk ke ruang dalam.

“Bram, bagaimana kuliahmu? Lancar?” tegur laki-laki paruh baya itu.

“Lancar, Abi. Alhamdulillaah.”

“Syukurlah. Kejarlah apa yang bisa kamu kejar untuk masa depanmu. Abi senang melihat anak muda sepertimu, jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu. Yang terpenting mah kamu bisa membuktikan pada keluargamu di kampung, bahwa kamu bisa jadi sarjana.”

Mendengar kata-kata abi Elis, tiba-tiba aku ragu bisa terus kuliah sampai selesai. Apalagi, jika teringat kondisi Ibu di kampung yang tengah mengalami paceklik. Aku kembali tersandung masalah yang sedang kualami saat ini, bahwa untuk melanjutkan kuliah aku harus bekerja.

“Bram, kamu lagi mikirin apa? Dari tadi Abi cerita, kayaknya kamu nggak nyimak?" Abi tiba-tiba mengeraskan suaranya.

Aku terkejut dan malu seketika.

“Ehm, iya, Abi. Maaf," kukira wajahku merah padam saat ini. Kudengar Elis seperti menertawakanku dari balik tirai. Saat dia menyadari bahwa aku melihatnya, Elis langsung menghilang di balik tirai itu.

“Ya sudah, nanti saja ngobrolnya. Ngobrol terus nanti malah Asep nggak jadi belajar. Eh, kemana anak itu?” Abi beranjak ke ruang dalam, mencari-cari anak bungsunya. “Sep! Asep! Sini, ieu A Bram sudah nungguin!"

Asep pun muncul dari kamarnya sambil menenteng tas sekolah.

“Abi tinggal dulu, ya. Tolong ajari Asep, biar ulangannya dapat nilai bagus.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
Alhamdulillah akhirnya dapat kerjaan dari calon Abi ...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   76. Surat Terakhir Untukmu

    Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   75. Mengunjungimu

    Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   74. Saya Salsabila

    Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   73. Dendang Tahmid

    Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   72. Dear Elis

    Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   71. Sekarang, Semuanya Terasa Gelap

    "Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   70. Ini Tidak Adil

    “Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   69. Ada Apa dengan Elis?

    Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b

  • Insya Allah Ada Jalan, Nak!   68. Titipan Dari Nayyara

    "Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status