Share

2. Elis

Kami pun menikmatinya bersama. Saat tengah lahap menyantap hidangan, tiba-tiba pikiranku kembali teringat kondisi keuanganku yang kosong. Aku benar-benar tak punya uang saat ini. Sepeser pun tak ada. Mau pinjam pada Fajrin, malu rasanya. Ya Allah, berilah aku jalan, doaku dalam hati.

“Assalaamualaikum!"

Lagi, aku mendengar suara Elis di luar rumah. Hampir bersamaan, aku dan Fajrin bangkit dan menunda makan untuk membukakan pintu depan. Benar saja, gadis Cianjur itu berdiri di depan pintu.

“Waalaikum salam, Elis,” jawab kami, nyaris berbarengan pula.

“Makan, Lis,” Fajrin menawari sambil menunjuk piring yang setengah kosong di tangannya.

“Makasih, Mas Fajrin. Alhamdulillah, Elis sudah makan.” Sahut gadis manis itu. Lalu, katanya sambil tersenyum, “Maaf, A Bram. Elis mau nyampein pesen Umi. Kata Umi, malam ini kalau bisa Aa ajarin Asep matematika. Besok Asep ulangan.”

Entah kenapa aku seperti terhipnotis dengan wajah ayunya. Heran, padahal ini bukan kali pertama Elis menyampaikan pesan ibunya agar aku menemani Asep belajar.

Fajrin mendorong sikunya ke bahuku—postur tubuhnya memang di atas rata-rata—sebagai isyarat agar aku segera menerima undangan orang tua Elis.

“Nggg, iya, Lis. Insya Allah, bisa,” jawabku sedikit gugup.

“Ya sudah, kalau begitu Elis pulang, ya. Makasih, Aa. Maaf ganggu, sok dilanjutkan makan siangnya,”

“Eh, ntar dulu pulangnya atuh, Elis,” Fajrin dengan sengaja mencegah kepergian gadis itu. Tanpa peduli padaku yang membalas menyikutnya, dia pun menyambung, “Kebetulan tadi Mas Fajrin bawa buah. Elis mau?”

“Nggak, makasih, Mas. Buahnya biar untuk Mas Fajrin sama Aa Bram saja. Elis masih kenyang.”

“Oh, ya sudah kalau begitu," Fajrin tersenyum.

Setelah itu, barulah kami membiarkan Elis pergi. Kami pun kembali ke kamar: aku menghabiskan nasi dan lauk-pauk kiriman Elis, sementara Fajrin menandaskan makanan di piringnya yang masih tersisa sedikit. Kembali, aku terpikirkan lagi persediaan uangku yang nyaris ludes dan kebingunganku memutar otak untuk mencari pekerjaan.

“Eh, Bram, lucu banget deh lihat ente sama Elis tadi,” celetuk Fajrin, setelah mengakhiri makan siangnya dengan mereguk segelas air. “Kalian berdua sama-sama malu-malu. Kalau Elis mah emang aslinya pemalu, tapi kalo ente ... malu-maluin! Hahaha!”

 “Udah, udah, jangan mulai lagi. Mending habisin tuh minuman ente. Ntar kalau ente keselek, ane yang repot!"

Begitulah, karena kami lebih sering tidak seriusnya, kadang-kadang aku merasa masalah seberat apa pun seakan tidak berarti jika sedang bersamanya. Fajrin  adalah sahabatku yang selalu riang. Kupikir, tak pernah aku melihatnya murung dan sedih. Dia seperti selalu bahagia.

Malam harinya, aku benar-benar menepati janji pada Elis untuk datang ke rumahnya dan menemani Asep belajar. Kedua orang tua Elis memang sering memintaku mengajarkan matematika untuk anak bungsunya sejak aku masih menjadi mahasiswa semester pertama.

Abi dan umi Elis sangat baik padaku. Sikap Elis padaku pun—saking baiknya—kadang-kadang menurutku sedikit berlebihan. Walaupun begitu, aku tak ingin berprasangka buruk padanya. Aku menganggap kebaikannya sama seperti kebaikan abi dan uminya. Mana mungkin Elis—seperti sering dibilang Fajrin—suka padaku? Elis berjilbab. Kulitnya putih bersih, wajahnya cantik. Dia lulusan pondok pesantren Gontor dan sekarang kuliah di Universitas Indonesia. Dia tak mungkin tertarik pada pemuda sepertiku yang mungkin tidak selevel dengan dirinya. 

“Diminum, A, teh manisnya."

Suara Elis membuyarkan lamunanku. Sejak pertama bertemu, Elis memang sudah memanggilku Aa, yang berarti kakak dalam bahasa Sunda. Begitu juga Asep, adiknya, yang memanggilku demikian. Awalnya terdengar agak aneh, tentu karena aku sendiri orang Sumatera, tetapi lama-lama aku terbiasa dengan panggilan itu.

“Eh, iya, makasih." Jawabku.

Karena kemunculan ayahnya, Elis meninggalkanku masuk ke ruang dalam.

“Bram, bagaimana kuliahmu? Lancar?” tegur laki-laki paruh baya itu.

“Lancar, Abi. Alhamdulillaah.”

“Syukurlah. Kejarlah apa yang bisa kamu kejar untuk masa depanmu. Abi senang melihat anak muda sepertimu, jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu. Yang terpenting mah kamu bisa membuktikan pada keluargamu di kampung, bahwa kamu bisa jadi sarjana.”

Mendengar kata-kata abi Elis, tiba-tiba aku ragu bisa terus kuliah sampai selesai. Apalagi, jika teringat kondisi Ibu di kampung yang tengah mengalami paceklik. Aku kembali tersandung masalah yang sedang kualami saat ini, bahwa untuk melanjutkan kuliah aku harus bekerja.

“Bram, kamu lagi mikirin apa? Dari tadi Abi cerita, kayaknya kamu nggak nyimak?" Abi tiba-tiba mengeraskan suaranya.

Aku terkejut dan malu seketika.

“Ehm, iya, Abi. Maaf," kukira wajahku merah padam saat ini. Kudengar Elis seperti menertawakanku dari balik tirai. Saat dia menyadari bahwa aku melihatnya, Elis langsung menghilang di balik tirai itu.

“Ya sudah, nanti saja ngobrolnya. Ngobrol terus nanti malah Asep nggak jadi belajar. Eh, kemana anak itu?” Abi beranjak ke ruang dalam, mencari-cari anak bungsunya. “Sep! Asep! Sini, ieu A Bram sudah nungguin!"

Asep pun muncul dari kamarnya sambil menenteng tas sekolah.

“Abi tinggal dulu, ya. Tolong ajari Asep, biar ulangannya dapat nilai bagus.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
Alhamdulillah akhirnya dapat kerjaan dari calon Abi ...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status