Pertama kalinya… Lucas, Lila dan Leonard dilukis oleh pelukis profesional. Pelukis itu butuh waktu yang begitu lama untuk memaksimalkan hasil lukisannya. Bahkan Leonard dari yang semangat sampai tertidur. Lucas sendiri sudah lelah dengan punggungnya yang terasa begitu lelah. “selesai.” pelukis itu menunjukkan hasilnya pada Lucas. Persis. Sama persis seperti sebuah foto. Tidak heran, ia mengeluarkan uang yang begitu banyak untuk mendatangkan pelukis ini ke rumahnya. Hasilnya menang luar biasa. Mereka bertiga menggunakan pakaian formal. Dengan yang menggunakan setelah jas hitam dan putih. Lila dengan dress putih. Leonard yang menggunakan kemeja putih dan celana hitam. Lila tersenyum cerah dengan mata birunya yang indah. “Luar biasa. Aku akan menambah bayaranmu!” Lucas memberikan jempolnya dengan puas pada pelukis itu. Setelah mendapatkan bayaran yang diluar ekspektasi, pelukis itu pergi dengan hati yang gembira. Lucas menarik Lila agar duduk. “Mau melihatnya se
Beberapa bulan berlalu. Leonard sudah lumayan lancar berbicara. Bocah itu juga sangat aktif berjalan. Menginjak usia satu tahun setengah. Leonard tumbuh menjadi bocah yang sehat. Saat ini mereka sudah berada di paris dan menuju sebuah tempat untuk menghadiri upacara pernikahan Paolo dan Chelsea. Meski belum sepenuhnya percaya pada wanita itu, tapi Lucas tidak menghalangi hubungan mereka. Toh—ia tidak mengincar harta orang tuanya lagi. Hartanya semakin banyak dan menandingi milik Paolo. Semenjak kehadiran Lila di hidupnya, usahanya menjadi begitu lancar. Semuanya berjalan dengan sesuai rencananya. “Waaah…” Lila membuka matanya. “Semuanya nampak sangat indah.” Lucas mengangguk. “Bukankah si tua itu terlalu berlebihan? Ini pernikahan kedua tapi dirayakan begitu meriah?” “Mungkin saja, Dad sedang mengalami masa puber yang kedua.” Lila memeluk lengan Lucas dari samping. Sedangkan anak mereka yang berada di dalam gendongan Lucas malah diam saja. Mengamati orang sek
5 tahun berlalu. “Leonard Byron Francesco.” Lila berkacak pinggang. Tidak tahu apa yang dilakukan anaknya sekarang. Tapi ia yakin yang dilakukan Leonard adalah menjahili adiknya. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Lila sembari menyipitkan mata. “Kakak….” Panggil seorang anak perempuan yang kini tengah berlari ke arah ibunya. “Mama…” Laluna Aurora Francesco. Anak perempuan yang mempunyai status sebagai anak bungsu dari pasangan Lucas dan Lila. “Mama, kakak…” Luna menoleh ke belakang. Menunjuk kakaknya yang tersenyum. “Kakak mencoret Luna dengan bolpoin.” Menunjuk kakaknya dengan sengit. “Luna yang mulai lebih awal.” Leonard mendekat—mencubit pipi adiknya. “Tidak usah mengadu. Kita sama.” “Astaga…” Lila memejamkan mata. “Mama pusing kalian setiap hari bertengkar.” Lila meraba bahu anaknya sebelum mengambil tangan anak-anaknya. “Ayo ke kamar mandi. Wajah kalian pasti kotor.” Jarak usia mereka hanya dua tahun. Tapi mereka sering kali bertengkar. Leonard sebagai kak
“Leonard..” panggil Lila. “Dengarkan mama ya..” Lila mendudukkan anaknya di tepi ranjang. “Mama tahu, pasti sulit untuk berpura-pura tidak tahu dengan apa yang kamu lihat.” “Tapi—” Lila tersenyum. “Setiap orang pasti mengalami kejadian dan peristiwa sendiri. tidak semua orang bisa membaginya pada orang lain.” Leonard memandang ibunya. “Jadi mama ingin aku tidak usah mengatakan apa yang aku lihat?” “Hm seperti itu.” Lila mengangguk. Anaknya memang pintar dan cepat mengerti. “Apalagi yang kamu lihat itu hanya potongan-potongan kejadian. Kamu tidak tahu apakah kejadian itu buruk atau baik. karena hanya sebuah potongan yang tidak lengkap.” Lila mengambil tangan Leonard. “Kamu masih mengingat apa yang mama katakan?” “Misalnya kamu bertemu dengan orang asing, lalu kamu seperti akan melihat kejadian. Kamu segera alihkan pandangan kamu.” “Atau kamu pejamkan mata kamu. Kalau masih menganggu. Kamu segera pergi. jauhkan diri kamu dahulu. Tenangkan diri kamu.” “T
Lucas mengerjap—ia menoleh Lila untuk meminta bantuan. Tapi Lila malah bersindekap. Mendongak ke atas—seolah menjelaskan kalau dirinya sendiri bingung. Jangan meminta bantuan padanya. “Tempat itu…” Lucas menyipitkan mata. “Tempat itu tempat yang didatangi orang-orang dewasa. Hal-hal yang disana hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa. Dad tidak bisa menjelaskan secara rinci, tapi yang jelas kegiatan yang dilakukan orang di sana adalah merokok dan minum alkohol…” “Dua hal itu hanya bisa dilakukan saat sudah dewasa. Untuk rincinya, nanti kamu akan tahu sendiri saat kamu sudah dewasa.” Lucas mencubit pelan pipi Leonard dengan gemas. Leonard mengangguk. kemudian menguap pelan. “Tidurlah.” Lucas tertawa pelan. Leonard mengangguk. “Aku tidak mau diantar. Aku bukan Luna!” “Iya.” Lucas membiarkan Leonard pergi dari kamar mereka sendirian menuju kamarnya sendiri. Lila membaringkan dirinya di atas ranjang. menghela napas pelan. “Mengurus anak ternyata sangat sulit.” “Tidak suli
Musuh Lila dan Lucas itu bukan orang ketiga. Melainkan pikiran-pikiran buruk Lila. Perdebatan mereka yang selalu dimulai oleh pikiran buruk Lila tentang bisnis yang dijalankan oleh Lucas. Sejujurnya, Lila tidak bisa membayangkan jika anak-anak mereka akan terlibat dalam perusahaan ilegal milik ayah mereka sendiri. Sejujurnya, ia juga tidak suka jika Lucas terus bergelut dalam dunia ilegal itu. Ketidaksukaannya itu bukan tanpa alasan. Takut keluarga mereka dalam bahaya. Negeri ini lama-kelamaan sepergi negeri dengan hukum rimba. Siapa yang lebih kuat akan jadi penguasa. Namun serangan demi serangan akan terjadi. Sehingga Lila begitu takut—takut kelurganya terluka. Takut kalau anak-anaknya menjadi salah satu monster yang mengusai negeri dengan cara yang kotor. Lila berdiam diri di kamar. Lucas keluar dari kamar dengan kemarahan yang memuncak. Karena Lucas tidak bisa melampiaskan kemarahannya pada istrinya, ia lebih baik keluar. Lila meremas jarinya beberapa ka
“Di balik bisnis itu, ada orang-orang yang menggantungkan nasibnya di sana. apalagi negara ini tidak terlalu ramah dengan masyarakatnya sendiri. lapangan pekerjaan sangat sulit. Mencari uang saja sangat sulit…” bi Rosa menjelaskan sudut pandangan yang berbeda pada Lila. “Bisnis ilegal Lucas hanyalah senjata bukan?” tanya Bi Rosa. “Dia sudah tidak terjun di obat-obatan terlarang. Kamu tahu alasannya apa?” Lila menggeleng. “bibi dengar alasannya adalah karena takut anaknya mengonsumsi obat-obatan terlarang dari pabriknya sendiri,” lanjut bibi. “Bukannya membela Lucas. Tapi Lila..” Bi Rosa mengusap pelan puncak kepala Lila seperti anaknya sendiri. “Selama ini Bibi Lihat, Lucas sangat antusias pada anak-anaknya. Dia juga melakukan berbagai hal untuk anaknya. Mengubah ruangan kosong ini menjadi perpustakaan agar anaknya bisa belajar.” “Bibi yakin, Lucas tidak akan mendorong anaknya untuk terjun di dunia seperti dirinya. Buktinya dia ingin anaknya belajar.” Lila terdiam. seper
10 tahun berlalu. Seorang anak laki-laki baru saja keluar dari rumahnya. Seragam yang rapi dengan tas ransel yang berada di punggungnya.Leonard Byron Francesco itu dengan santainya mendekati satu motor berwarna hitam. Motor hadiah ualng tahunnya. Leonard yang saat ini menginjak kelas 2 SMA memang lebih suka menggunakan motor daripada menggunakan mobil. Apalagi di antar sopir. “Motormu hari ini…” seorang pria mendekat. Omar mengusap sedikit belakang motor Leonard. Tepatnya pada bangku belakang motor. “Motormu akan lebih bagus jika ada penumpangnya di belakang.” “Paman mau menjadi penumpangku?” tanya kembali Leonard. Omar berdecak. “Bukan itu maksud paman. Kamu bocah pintar. Pasti tahu maksud paman kan?” dengan senyum penuh arti. Leonard berdecak. “Aku tahu dan aku tidak mau menuruti ajaran sesat paman.” Leonard mengibaskan tangannya. “Paman bau alkohol.” Leonard menggeleng pelan. “Sial. Aku tidak sengaja melihatnya…” “Hei bocah ini…” Omar mengerjap. “Kamu tidak boleh berkat
8 bulan berlalu dengan cepatnya….. Ruby berada di ruang persalinan. mempertaruhkan seluruh nyawanya untuk anaknya. Leonard sampai tidak tega melihat Ruby yang kesakitan saat melahirkan. “Uweeek!” suara tangisan bayi. Leonard menitikkan air mata ketika seorang bayi laki-laki yang dibawa oleh dokter. “Kamu berhasil.” Leonard mengusap pipi Ruby. Ruby mengangguk, jemari mereka bertaut. Dokter mendekat—memberikan bayi mungil itu ke pelukan Leonard. Leonard menatap anaknya. sekali lagi anaknya! ia tersenyum—dengan jantung yang berdebar. “Apa dia mirip dengan kamu?” tanya Ruby. Leonard menunduk—menunjukkan bayi mereka pada Ruby. “Bilang terima kasih pada Mom yang sudah berjuang melahirkan kamu.” Ruby tersenyum lebar. “Jadi namanya…” “Sebastian Charles Francesco.” “Hati-hati, Leonard.” tangan Ruby terulur mengusap lengan anaknya. “Jangan sampai terkena pukulannya. dia pasti menuruni kekuatanku. “ “Dia masih kecil..” balas Leonard. “Kekuatannya akan bertumbuh sa
Ruby membuka pintu dengan cepat. “Surprise!” kepalanya muncul di balik pintu ruangan Leonard. Leonard yang awalnya begitu serius pada dokumen kini mengangkat kepalanya dan menatap istrinya dengan senyum lebar. Leonard bangkit dan mendekati istrinya. Ruby masuk perlahan dan memeluk suaminya. “Apakah sibuk?” tanya Ruby. Leonard menggeleng. “Tidak. sebentar lagi juga waktu pulang.” “Kenapa ke sini?” tanya Leonard. “Bukankah tadi kamu bilang kamu akan ke toko roti ibu?” “Aku sudah. Jadi aku membawakanmu roti buatan ibu.” Ruby menunjukkan paper bagnya. “Aku tadi juga membawanya untuk sekretaris kamu.” “Eddy?” Leonard mengambil paper bag itu. “Dia pasti sangat senang.” Ruby mengangguk. “Benar, dia sangat senang. Sepertinya dia sedang lapar.” Leonard menarik Ruby untuk duduk di sofa. “Tidak. Dia memang sangat senang dengan makanan. Dia seperti mendapatkan emas saat mendapatkan makanan.” Ruby tertawa pelan. ia mengambil roti dari paper bag itu. Kemudian membawanya ke
“Pemandangan yang menakjubkan.” Ruby masih berada di dalam mobil. Hari ini ia datang sendiri. Leonard bekerja, sudah berapa hari pria itu tidak bekerja. Ruby menatap Michael yang membantu ibu bekerja di toko. Untungnya Michael memiliki paras yang tampan. Banyak perempuan yang datang ke toko. Tidak hanya sekedar membeli roti tapi juga sekedar mencari perhatian dari Michael. “kalau begini kan dia terlihat lebih waras.” Ruby akhirnya turun dari mobil. Ia berjalan ke toko dan membuka pintu. “Kamu datang…” Ibu mendekatinya. Ibu memeluk Ruby. “Bagaimana kabar kamu? bagaimana cucu ibu?” tanya ibu sembari menyentuh perut Ruby. “Ruby baik-baik saja, Bu.” Ruby tersenyum. Ruby mengamati toko ibu yang lebih bagus. dengan tatatan yang lebih indah. Mirip kafe hanya lebih kecil saja. Ibu juga punya beberapa pegawai. Sudah lama sekali ia tidak ke toko. Semuanya telah berubah. Rasanya sudah lama sekali… “Kau datang…” Michael yang melewati Ruby. Pria itu membawa nampan yang
“Hueek!” Akhirnya Ruby muntah lagi. Tapi kali ini tidak terlalu parah dibandingkan kemarin. Obat yang ia minum bekerja dengan baik. Setiap kali Ruby muntah—Leonard selalu menemani. Leonard tidak pernah meninggalkan Ruby ke kamar mandi sendirian. Leonard terus memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Leonard mengusap bibir Ruby dengan tisu. Bibir wanita itu basah karena bilasan air. Ruby mendekati Leonard. memeluk tubuh suaminya itu. “Mama sudah menyiapkan sup. Kamu makan pelan-pelan saja. kalau muntah nanti berhenti.” Leonard mengusap punggung Ruby. Ruby mengangguk pasrah. “Apa mama memasaknya sendiri?” “Tidak. ada Maid yang membantunya. Mama mengarahkan Maid itu agar rasanya sama persis dengan Sup yang ia makan waktu dulu hamil aku dan Luna.” Leonard menggendong Ruby yang lemas. Ia mendudukkan Ruby di sofa depan ranjang. di atas meja sudah ada sup yang disiapkan oleh Lila. Juga susu hamil. “Makan pelan-pelan.” Leonard menyuapi Ruby dengan telaten. P
Guys hari ini Chapter terakhir. semoga suka ya, selamat membaca :))))--“Nanti mau beli baju buat anak kita warna apa?” Pertanyaan itu bukan dari Ruby. Melainkan dari Leonard! Leonard terlihat sangat antusias. Bahkan sudah membahas baju. Lalu katanya, ingin mendekorasi kamar anaknya sendiri. Padahal belum tahu perempuan atau laki-laki. Ruby tertawa pelan. “Pikirkan nanti saja, sayang.” “Kamu terlalu bersemangat,” lanjut Ruby lagi. Leonard terkekeh pelan. ia masih fokus menyetir. Mereka akan ke rumah orang tua Leonard. Untuk memberitahu kehamilan Ruby. Tadi Ruby sudah menelepon ibunya. ia akan ke rumah ibunya besok saja. Mobil sudah memasuki area mansion orang tua Leonard. Ruby dan Leonard keluar dari mobil. “Setelah pergi ke rumah Diego. ternyata rumah orang tuaku tidak begitu buruk.” Leonard memandang Mansion orang tuanya. Ada beberapa penjaga di sana. mereka selau berjaga setiap hari. Jumlahnya tidak terlalu banyak. “Benar. Di sini tidak banyak penjaga.
Leonard menutup bibirnya tidak percaya. Ia mendongak. kenapa rasanya panas sekali matanya. Ruby mendekat dan tertawa. “Kita akan jadi orang tua.” Leonard memeluk tubuh Ruby. Sedikit mengangkat tubuh Ruby dan memutarnya. “Aku sangat bahagia.” Leonard mengecup dahi Ruby beberapa detik. “Terima kasih.” “Akhirnya!!!” suara Stormi yang begitu bahagia. Ia melompat dengan bahagia sembari memeluk lengan Diego. Diego tersenyum melihat tingkah Stormi. Ia juga ikut bahagia dengan kehamilan Ruby. “Kamu harus ke rumah sakit lagi untuk melakukan pengecekan lebih lanjut.” Ibu Stormi memeluk Ruby. “Mulai sekarang hati-hati. Awal kehamilan adalah masa yang paling rentan.” “Selamat ya,” ucap ibu Stormi. Ruby mengangguk dengan bahagia. “Terima kasih, aunty.” Tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Yang pasti ia sangat senang. Ia menyentuh perutnya. Tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Leonard menoleh mendapatkan tepukan dari samping. “Kau jago juga,” ucap Die
“Terima kasih, aunty…” Stormi tersenyum. Bibi yang merawat rumahnya membawakan makanan. Sehingga ia tidak perlu pergi keluar mencari makan dengan Leonard. “Kemarin saya melihat rumah aunty ada helikopter dan beberapa orang…” ucap Ruby. “Sepertinya saya mengenal anak aunty.” Ibu Stormi mengangguk. ia mengambil duduk di samping Ruby di depan meja makan. “Aunty juga bilang pada anak bibi. Kalian memang saling mengenal.” “Sebenarnya, Aunty sedikit menghawatirkan Stormi. Dia pulang-pulang membawa pria bersamanya. Memang pria itu tampan, tapi aunty takut kalau Stormi terlibat hal yang berbahaya bersama pria itu.” Ruby mengerti… Wajar saja ibu Stormi menghawatirkan anaknya. Awalnya Ruby juga memang sedikit kawatir jika Stormi berhubungan dengan Deigo. Ruby menoleh ketika Leonard turun dari tangga. Ruby menatap Leonard sebentar. “Saya dan Suami saya juga mengenal Diego. meskipun belum lama. Tapi yang saya lihat…” “Diego memperlakukan Stormi dengan baik. Jadi aunty jangan te
21++ Makan malam yang kurang diharapkan oleh Diego sebenarnya. Karena ia harus menunda hukuman untuk Stormi. Sedangkan Stormi cengengesan seolah sedang mengejeknya. Tangan Diego tidak berhenti mengusap pinggang Stormi dari samping. Benar-benar tidak bisa jauh dari Stormi. “Aku tidak mau masak besok,” ucap Steven. “Biar dia saja yang masak.” Menunjuk Stormi. Stormi mengerjap. “Jangan mempermalukanku. Aku tidak bisa memasak.” “Besok ibu saja yang masak.” Ibu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mengunyahnya santai. “Bukankah besok itu jadwal itu membersihkan rumah lama itu?” tanya Steven. “Rumahnya sudah ditempati cucunya. Dia baru saja kembali bersama suaminya. Jadi ibu bisa bersantai,” jelas ibu. Stormi mengernyit. “Siapa?” “Anak yang dulu kamu takuti. Dia juga sudah dewasa dan ternyata dia sudah menikah,” jawab ibu. “Siapa namanya? Dari dulu aku sudah takut duluan melihatnya. Jadi tidak pernah tahu nama dan wajahnya lagi.” “Ruby…” balas ibu. “UHUUUK!” St
21++ Di belahan bumi yang berbeda. “Sayangku kenapa lama sekali?” teriak Leonard tidak sabaran menanti Ruby yang berada di dalam kamar mandi. “Iya…” Ruby menggigit bibirnya pelan. Ia keluar—menggunakan ligerie yang berbentuk jaring-jaring itu. Tubuhnya tembus pandang. Jaring-jaring hitam itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang begitu berlekuk. Leonard sampai menahan nafasnya melihat istrinya. Ruby berjalan ke arahnya. “Kamu bilang aku yang memimpin malam ini? tapi kenapa wajah kamu terlihat ingin menerkamku secepatnya.” Leonard mendongak—tangannya merengkuh pinggul Ruby. “Sepertinya aku tidak bisa. Biarkan aku—” Bruk! Ruby mendorong tubuh Leonard sampai berbaring di ranjangnya yang kecil itu. Perlahan Ruby merangkah ke atas tubuh Leonard. Tangan Ruby yang lentik melepaskan pakaian atas Leonard. Ia mendekat—menangkup wajah Leonard—kemudian mencium bibir pria itu. Leonard membalas pangutan Ruby dengan liar. Tangannya sudah bergilya masuk ke dalam