Malam itu. Lucas meninggalkannya begitu saja. Tanpa sepatah katapun. Kosong. Meski Lila senang. Tapi setelah kejadian itu, Lucas tidak pernah menghubunginya. Sudah beberapa bulan berlalu. Masalahnya adalah Lila ingin tahu bagaimana rencana pria itu untuk membalaskan dendamnya pada orang yang telah menyakitinya. Lila meremas ponselnya—apakah ia harus menghubungi pria itu untuk bertanya? Ponsel Lila diatur hanya untuk menelepon dan mengirim pesan suara. Lila berdiri—berjalan mendekati jendela. Menguatkan tekadnya untuk menghubungi Lucas. Tapi panggilan pertama ditolak. Panggilan kedua… Panggilan seterusnya… “Dia sungguh marah denganku.” Lila akhirnya mendekatkan ponsel itu pada bibirnya. Mengirimkan pesan suara. “Lucas kalau aku ada salah aku sungguh minta maaf padamu. Jangan mengabaikanku.” Beberapa menit berlalu—Lucas tidak kunjung meneleponnya kembali. Tapi ada satu pesan suara yang masuk—pesan suara itu langsung berputar. “Aku sedang sibuk!” itu suar
Lucas berdecih pelan. Pria tua itu tidak juga menyerah mengusiknya. Thomas adalah polisi yang sering mengikutinya. Ia kira sudah berhenti dan menyerah. tapi ternyata mengumpulkan pasukan lebih banyak untuk memata-matainya. Lucas mengusap rambutnya…. Mengarahkan pistol pada jantung pria itu. “Haruskah aku bunuh dia sekarang juga?” tanya Lucas pada anak buahnya yang lain. Setidaknya ada anak buahnya yang ia percaya. Mereka nampak ragu untuk menjawab. “Kenapa kalian diam saja? kalian tidak rela melihatnya mati?” tanya Lucas. Dua anak buahnya menggeleng. “Tidak, Sir. Tapi kita belum terlalu dalam menggali informasi darinya,” balas Sam Lucas menurunkan pistolnya. “Siapa lagi temanmu di sini. katakan padaku siapa lagi temanmu yang juga membantu Thomas bajingan itu?” Pria itu menggeleng. “Tidak ada gunanya menanyainya.” Lucas berdecak pelan. “Siapapun yang berusaha kabur setelah tertangkapnya tikus ini. itulah temannya.” Lucas menoleh. “Tangkap yang berusaha kabur. M
Lila memejamkan mata—menghirup aroma dari pria yang baru datang ini. Amis—pasti darah. Lila membuka mata. “Kau habis membunuh orang?” Lucas tersenyum—menghisap rokoknya pelan sebelum menjawab. “Hm. Memang benar.” “Aku langsung ke sini setelah menembak kepala orang.” Lucas menatap kemeja putihnya yang terdapat bercak darah. “Pakaianku kotor. ada banyak darah yang menempel di kemejaku.” Lila terdiam kaku. Sungguh? padahal ia hanya bertanya asal-asalan. Tapi memang benar pria itu habis membunuh seseorang. Lila tersenyum canggung. “Siapa yang kau bunuh?” tanyanya. Lucas menarik Lila hingga duduk di sampingnya. Saat ini mereka berada di taman belakang rumah. Di taman yang terang dengan banyak lampu. Mereka bisa melihat langit yang jernih dengan bulan dan bintang. Bukan mereka, tapi Lucas yang bisa melihat cerahnya langit malam. “Orang yang berhianat,” balas Lucas mendongak—menatap langit. “Ucapanmu benar. Ada penghianat yang menyusup menjadi anak buahku. Aku menang
“Baiklah aku mengerti.” Lucas menatap Lila lebih dalam. Bagaimana wanita yang menggunakan pakaian tertutup tapi tetap menggoda di matanya. Itu hanya berlaku pada Lila. Saat ini wanita itu menggunakan dress panjang berwarna hijau. Pakaiannya pun longgar. Sama sekali tidak menampilkan lekuk tubuh.Tapi bongkahan padat dada wanita itu masih terlihat jelas. Membuat Lucas sulit untuk berkonsentrasi saat berbicara. “Apa yang kau inginkan?” “Aku ingin…” Lila menjeda ucapannya. Seolah meyakinkan diri bahwa keputusannya melakukannya adalah benar. “…Dia kalah. Aku tidak ingin menjadi menjadi dewan.” “Hm. Oke. Aku terima.” Lucas menyelipkan helaian rambut Lila ke belakang. Sebagai wanita, jika yang melakukan semua hal ini bukanlah Lucas. Lila akan menganggapnya perhatian. Tapi ini Lucas Francesco. Seorang Mafia yang terkenal memiliki tidak punya hati dan sangat kejam. Salah bersikap saja—nyawanya bisa menjadi taruhan. “Ibu tiriku.. aku juga ingin melihatnya hancur.” “Oke,” balas Lu
21++ “Bagaimana jika ada orang?” tanya Lila. Ia justru takut kalau ada orang yang melihat mereka berciuman. Lucas mengambil HT dari dari dalam sakunya. HT singkatan dari Handy talky. Alat komunikasi yang digunakan dalam jarak dekat. Bentuknya seperti telepon genggam namun memiliki sebuah antena di atas samping kanan. “Siap Sir Kami di sini!” suara anak buahnya. Lila juga bisa mendengarkannya. “Tetap di tempat kalian dan jangan biarkan siapapun masuk ke taman belakang!” “Siap, Sir. Kami akan melaksanakan perintah.” Lucas menarik HT ke samping—menyingkirkannya begitu saja. Setelah itu kembali menarik tengkuk Lila dan mencium bibir wanita itu. Tidak salah ia langsung ke sini setelah lelah mengurus tikus-tikus sialan itu. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan! Lila membalas ciuman yang diberikan Lucas. Tangannya tidak menahan tangan Lucas yang menurunkan dressnya. Bahu putih nan mulus itu terpampang. Ciuman Lucas turun—mengecup leher Lila. Mencium bahu wanita itu d
“Berapa persen tingkat keberhasilan Bennedict?” tanya Lucas pada orang kepercayaan. Di dalam ruangan yang gelap. Bisa disebut sebagai markasnya. Tempat ini berada di dalam sebuah pabriknya yang berada di kawasan jauh dari penduduk. Pabrik yang memproduksi senjata ilegal. Markas itulah yang biasanya ia gunakan untuk rapat dengan anak buahnya. Membahas berbagai rencana dan berbagai hal. Lucas menatap dokumen yang berada di atas meja. Ia melipat kakinya—menyesap rokoknya pelan. Lucas bersandar pada kursinya. “Jelaskan padaku. Aku sedang malas membaca.” “Tingkat keberhasilan Bennedict 70 %, Sir.” Lucas mengernyit. “Sebanyak itu?” “Iya. karena citra Bennedict benar-benar baik di antara masyarakat. Meskipun gagal pada pemilihan pemimpin daerah. Dia tetap menjaga citranya dengan baik. Tidak ada skandal yang berarti. Dia dikenal sebagai orang yang baik.” “hanya saja—ada masalah mengenai partai politiknya.” “Dia sudah tidak terlalu dipercaya. Sehingga dalam proses kampan
Lila baru saja selesai menidurkan anaknya. Anaknya yang tumbuh dengan baik. perkembangannya pun kata dokter sangat baik. Di usianya sudah bisa tengkurap. Lila begitu senang bisa berada di dalam proses pertumbuhan anaknya. Lila pergi ke kamarnya sendiri—membasuh tubuhnya sehingga tubuhnya terasa begitu segar. Meraba lemari sebelum membukanya. Mengambil satu pakaian yang berada di deretan paling kanan. Itulah kebiasaannya. Ia juga menyuruh untuk Maid mengatur pakaian yang digunaknnya di dalam lemari. Sehingga semua hal itu memudahkannya melakukan aktivitas. Lila berjalan dengan bathrobe yang berada di tubuhnya. membawa pakaiannya ke ruang kamarnya. “Putar musik kesukaanku!” ucapnya pada ponselnya. Lagu dari Frank Sinatra I love you baby berputar. Bersenandung kecil. Lila memutar tubuhnya. Kepalanya yang masih tertutup handuk karena basah. Lila menggerakkan tubuhnya mengikuti irama. Menggerakkan tangannya…. “I love you baby..” menggerakkan kepalanya ke sana k
“Sama sepertimu. Sejak aku kecil.” Lucas menatap Lila—wanita ini menyedihkan. Tapi sorot matanya hangat dan tidak mengundang kasihan dari orang lain. “Siapa yang melakukannya?” “Ibu tiriku dan adikku. Terkadang ayahku juga.” Lucas mengernyit… “Kau dipukul tiga orang di rumahmu. Sedangkan aku mendapatkannya dari banyak orang. Jelas kalau aku yang menang.” “Sulit aku akui. Tapi kau memang menang,” balas Lila. Lucas tersenyum tipis. bahkan membicarakan tentang luka sangat mudah. Seperti tidak ada beban. Apakah wanita ini bisa berdamai dengan masa lalunya? “Itu sebabnya kau ingin membalas dendam pada mereka?” “Iya. karena aku ingin mereka juga merasakan penderitaan.” Lucas menyentuh bahu Lila. “Dengarkan aku baik-baik. Jangan pernah merasa bersalah pada mereka. Yang kau lakukan sudah benar.” “Sekalipun nanti kau punya niatan untuk membunuh mereka. kau tetap tidak salah.” Lila tertawa kecil kemudian mengangguk. “Baiklah aku akan mengingatnya.” “Tadi kau bilang kau
8 bulan berlalu dengan cepatnya….. Ruby berada di ruang persalinan. mempertaruhkan seluruh nyawanya untuk anaknya. Leonard sampai tidak tega melihat Ruby yang kesakitan saat melahirkan. “Uweeek!” suara tangisan bayi. Leonard menitikkan air mata ketika seorang bayi laki-laki yang dibawa oleh dokter. “Kamu berhasil.” Leonard mengusap pipi Ruby. Ruby mengangguk, jemari mereka bertaut. Dokter mendekat—memberikan bayi mungil itu ke pelukan Leonard. Leonard menatap anaknya. sekali lagi anaknya! ia tersenyum—dengan jantung yang berdebar. “Apa dia mirip dengan kamu?” tanya Ruby. Leonard menunduk—menunjukkan bayi mereka pada Ruby. “Bilang terima kasih pada Mom yang sudah berjuang melahirkan kamu.” Ruby tersenyum lebar. “Jadi namanya…” “Sebastian Charles Francesco.” “Hati-hati, Leonard.” tangan Ruby terulur mengusap lengan anaknya. “Jangan sampai terkena pukulannya. dia pasti menuruni kekuatanku. “ “Dia masih kecil..” balas Leonard. “Kekuatannya akan bertumbuh sa
Ruby membuka pintu dengan cepat. “Surprise!” kepalanya muncul di balik pintu ruangan Leonard. Leonard yang awalnya begitu serius pada dokumen kini mengangkat kepalanya dan menatap istrinya dengan senyum lebar. Leonard bangkit dan mendekati istrinya. Ruby masuk perlahan dan memeluk suaminya. “Apakah sibuk?” tanya Ruby. Leonard menggeleng. “Tidak. sebentar lagi juga waktu pulang.” “Kenapa ke sini?” tanya Leonard. “Bukankah tadi kamu bilang kamu akan ke toko roti ibu?” “Aku sudah. Jadi aku membawakanmu roti buatan ibu.” Ruby menunjukkan paper bagnya. “Aku tadi juga membawanya untuk sekretaris kamu.” “Eddy?” Leonard mengambil paper bag itu. “Dia pasti sangat senang.” Ruby mengangguk. “Benar, dia sangat senang. Sepertinya dia sedang lapar.” Leonard menarik Ruby untuk duduk di sofa. “Tidak. Dia memang sangat senang dengan makanan. Dia seperti mendapatkan emas saat mendapatkan makanan.” Ruby tertawa pelan. ia mengambil roti dari paper bag itu. Kemudian membawanya ke
“Pemandangan yang menakjubkan.” Ruby masih berada di dalam mobil. Hari ini ia datang sendiri. Leonard bekerja, sudah berapa hari pria itu tidak bekerja. Ruby menatap Michael yang membantu ibu bekerja di toko. Untungnya Michael memiliki paras yang tampan. Banyak perempuan yang datang ke toko. Tidak hanya sekedar membeli roti tapi juga sekedar mencari perhatian dari Michael. “kalau begini kan dia terlihat lebih waras.” Ruby akhirnya turun dari mobil. Ia berjalan ke toko dan membuka pintu. “Kamu datang…” Ibu mendekatinya. Ibu memeluk Ruby. “Bagaimana kabar kamu? bagaimana cucu ibu?” tanya ibu sembari menyentuh perut Ruby. “Ruby baik-baik saja, Bu.” Ruby tersenyum. Ruby mengamati toko ibu yang lebih bagus. dengan tatatan yang lebih indah. Mirip kafe hanya lebih kecil saja. Ibu juga punya beberapa pegawai. Sudah lama sekali ia tidak ke toko. Semuanya telah berubah. Rasanya sudah lama sekali… “Kau datang…” Michael yang melewati Ruby. Pria itu membawa nampan yang
“Hueek!” Akhirnya Ruby muntah lagi. Tapi kali ini tidak terlalu parah dibandingkan kemarin. Obat yang ia minum bekerja dengan baik. Setiap kali Ruby muntah—Leonard selalu menemani. Leonard tidak pernah meninggalkan Ruby ke kamar mandi sendirian. Leonard terus memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Leonard mengusap bibir Ruby dengan tisu. Bibir wanita itu basah karena bilasan air. Ruby mendekati Leonard. memeluk tubuh suaminya itu. “Mama sudah menyiapkan sup. Kamu makan pelan-pelan saja. kalau muntah nanti berhenti.” Leonard mengusap punggung Ruby. Ruby mengangguk pasrah. “Apa mama memasaknya sendiri?” “Tidak. ada Maid yang membantunya. Mama mengarahkan Maid itu agar rasanya sama persis dengan Sup yang ia makan waktu dulu hamil aku dan Luna.” Leonard menggendong Ruby yang lemas. Ia mendudukkan Ruby di sofa depan ranjang. di atas meja sudah ada sup yang disiapkan oleh Lila. Juga susu hamil. “Makan pelan-pelan.” Leonard menyuapi Ruby dengan telaten. P
Guys hari ini Chapter terakhir. semoga suka ya, selamat membaca :))))--“Nanti mau beli baju buat anak kita warna apa?” Pertanyaan itu bukan dari Ruby. Melainkan dari Leonard! Leonard terlihat sangat antusias. Bahkan sudah membahas baju. Lalu katanya, ingin mendekorasi kamar anaknya sendiri. Padahal belum tahu perempuan atau laki-laki. Ruby tertawa pelan. “Pikirkan nanti saja, sayang.” “Kamu terlalu bersemangat,” lanjut Ruby lagi. Leonard terkekeh pelan. ia masih fokus menyetir. Mereka akan ke rumah orang tua Leonard. Untuk memberitahu kehamilan Ruby. Tadi Ruby sudah menelepon ibunya. ia akan ke rumah ibunya besok saja. Mobil sudah memasuki area mansion orang tua Leonard. Ruby dan Leonard keluar dari mobil. “Setelah pergi ke rumah Diego. ternyata rumah orang tuaku tidak begitu buruk.” Leonard memandang Mansion orang tuanya. Ada beberapa penjaga di sana. mereka selau berjaga setiap hari. Jumlahnya tidak terlalu banyak. “Benar. Di sini tidak banyak penjaga.
Leonard menutup bibirnya tidak percaya. Ia mendongak. kenapa rasanya panas sekali matanya. Ruby mendekat dan tertawa. “Kita akan jadi orang tua.” Leonard memeluk tubuh Ruby. Sedikit mengangkat tubuh Ruby dan memutarnya. “Aku sangat bahagia.” Leonard mengecup dahi Ruby beberapa detik. “Terima kasih.” “Akhirnya!!!” suara Stormi yang begitu bahagia. Ia melompat dengan bahagia sembari memeluk lengan Diego. Diego tersenyum melihat tingkah Stormi. Ia juga ikut bahagia dengan kehamilan Ruby. “Kamu harus ke rumah sakit lagi untuk melakukan pengecekan lebih lanjut.” Ibu Stormi memeluk Ruby. “Mulai sekarang hati-hati. Awal kehamilan adalah masa yang paling rentan.” “Selamat ya,” ucap ibu Stormi. Ruby mengangguk dengan bahagia. “Terima kasih, aunty.” Tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Yang pasti ia sangat senang. Ia menyentuh perutnya. Tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Leonard menoleh mendapatkan tepukan dari samping. “Kau jago juga,” ucap Die
“Terima kasih, aunty…” Stormi tersenyum. Bibi yang merawat rumahnya membawakan makanan. Sehingga ia tidak perlu pergi keluar mencari makan dengan Leonard. “Kemarin saya melihat rumah aunty ada helikopter dan beberapa orang…” ucap Ruby. “Sepertinya saya mengenal anak aunty.” Ibu Stormi mengangguk. ia mengambil duduk di samping Ruby di depan meja makan. “Aunty juga bilang pada anak bibi. Kalian memang saling mengenal.” “Sebenarnya, Aunty sedikit menghawatirkan Stormi. Dia pulang-pulang membawa pria bersamanya. Memang pria itu tampan, tapi aunty takut kalau Stormi terlibat hal yang berbahaya bersama pria itu.” Ruby mengerti… Wajar saja ibu Stormi menghawatirkan anaknya. Awalnya Ruby juga memang sedikit kawatir jika Stormi berhubungan dengan Deigo. Ruby menoleh ketika Leonard turun dari tangga. Ruby menatap Leonard sebentar. “Saya dan Suami saya juga mengenal Diego. meskipun belum lama. Tapi yang saya lihat…” “Diego memperlakukan Stormi dengan baik. Jadi aunty jangan te
21++ Makan malam yang kurang diharapkan oleh Diego sebenarnya. Karena ia harus menunda hukuman untuk Stormi. Sedangkan Stormi cengengesan seolah sedang mengejeknya. Tangan Diego tidak berhenti mengusap pinggang Stormi dari samping. Benar-benar tidak bisa jauh dari Stormi. “Aku tidak mau masak besok,” ucap Steven. “Biar dia saja yang masak.” Menunjuk Stormi. Stormi mengerjap. “Jangan mempermalukanku. Aku tidak bisa memasak.” “Besok ibu saja yang masak.” Ibu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mengunyahnya santai. “Bukankah besok itu jadwal itu membersihkan rumah lama itu?” tanya Steven. “Rumahnya sudah ditempati cucunya. Dia baru saja kembali bersama suaminya. Jadi ibu bisa bersantai,” jelas ibu. Stormi mengernyit. “Siapa?” “Anak yang dulu kamu takuti. Dia juga sudah dewasa dan ternyata dia sudah menikah,” jawab ibu. “Siapa namanya? Dari dulu aku sudah takut duluan melihatnya. Jadi tidak pernah tahu nama dan wajahnya lagi.” “Ruby…” balas ibu. “UHUUUK!” St
21++ Di belahan bumi yang berbeda. “Sayangku kenapa lama sekali?” teriak Leonard tidak sabaran menanti Ruby yang berada di dalam kamar mandi. “Iya…” Ruby menggigit bibirnya pelan. Ia keluar—menggunakan ligerie yang berbentuk jaring-jaring itu. Tubuhnya tembus pandang. Jaring-jaring hitam itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang begitu berlekuk. Leonard sampai menahan nafasnya melihat istrinya. Ruby berjalan ke arahnya. “Kamu bilang aku yang memimpin malam ini? tapi kenapa wajah kamu terlihat ingin menerkamku secepatnya.” Leonard mendongak—tangannya merengkuh pinggul Ruby. “Sepertinya aku tidak bisa. Biarkan aku—” Bruk! Ruby mendorong tubuh Leonard sampai berbaring di ranjangnya yang kecil itu. Perlahan Ruby merangkah ke atas tubuh Leonard. Tangan Ruby yang lentik melepaskan pakaian atas Leonard. Ia mendekat—menangkup wajah Leonard—kemudian mencium bibir pria itu. Leonard membalas pangutan Ruby dengan liar. Tangannya sudah bergilya masuk ke dalam