Share

Perasaan Rendi

"Kayaknya mending cari bahan di buku juga. Soalnya kalau di internet cuma itu-itu aja." Ayana menggeser laptopnya ke hadapan Putri dan mulai mengambil tumpukan buku di depannya.

"Itu udah gue baca, dan masih kurang. Besok beli ke toko buku buat nambahin."

"Ribet banget, ya," ucap Deon menyandarkan tubuhnya.

Metta memutar bola matanya. "Kita masih mending udah dapet setengah. Kelompok lain masih pada bingung mau nulis apa."

"Jadi ini gimana?"

"Lanjut nanti lagi. Sekarang tulis dulu yang ada."

"Emang buat kapan tugasnya?" tanya Kenneth yang tiba-tiba ikut bergabung. Duduk di sofa dengan membawa beberapa buku tebal di tangannya.

"Lusa."

"Ambil, nih. Itu buku terjemahan, tapi banyak materinya." Kebetulan Jevran memang memiliki rak buku khusus yang dimiliki saat menjadi mahasiswa. semuanya masih tertata rapih. Dia juga berkuliah di jurursan bisnis.

"Makasih ya, kak."

"Sama-sama."

Ayana melirik Kenneth sekilas. Saat pria itu balik menatapnya, ia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Diam-diam Rendi menyadari jika kakaknya Metta terus memperhatikan Ayana. Tentu saja karena mereka memiliki hubungan. Tapi, Aya pernah bilang kalau dia terpaksa.

"Ay, bacain dong. Gue yang ngetik," kata

Rendi memberikan buku pada Ayana.

"Dari mana?"

"Yang ini."

"Ekhem!" Ken memberi kode agar Ayana tidak dekat-dekat dengan lelaki itu. Sayangnya gadis itu tidak paham. Justru, Putri yang menyadarinya.

"Ada yang cemburu, tuh," bisiknya.

"Siapa?" Aya menoleh dan melihat Ken yang menatapnya kesal.

Loh, apa salahnya?

"Mas, tadi ada orang yang nganterin makanan." Tiba-tiba satpam rumahnya masuk ke dalam rumah dengan satu kantung kresek.

"Iya. Tadi saya pesan makanan. Makasih, pak."

"Kalau begitu saya permisi."

Kenneth mengangguk. Dia mengeluarkan makanan tersebut yang disambut tatapan berbinar oleh Deon.

"Makan dulu. Bibi di sini belum masak soalnya."

"Waduh, makasih. Tau aja gue belum makan," ucap Deon yang mendapat keplakan dari Rendi di sampingnya.

"Malu-maluin lo!"

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Bukannya pesanan sudah sampai?

"Kayaknya ada tamu, kak," ucap Metta.

"Biar kakak yang bukain pintu."

Kenneth segera berdiri, sedangkan Metta tersenyum puas. Tidak memikirkan hal itu, yang lain hanya mengabaikannya. Mereka memakan makanan yang Kenneth beli. Begitu juga dengan Ayana yang terlihat santai menikmatinya. Lumayan, dia juga hanya makan pagi tadi.

Tak lama kemudian Ken kembali datang dengan seorang perempuan di belakangnya. Melihat itu Ayana menghentikan mulutnya yang sedang mengunyah.

"Ngapain dia ke sini?" tanya Putri pada Ayana.

"Mana aku tau."

"Metta!" perempuan itu menghampiri Metta dan memeluknya singkat.

"Eh, kirain siapa. Kak, kenalin ini kakak tingkat aku di kampus. Namanya Yura."

Ken tersenyum kecil. "Kenneth."

"Jadi ngapain lo ke sini?" tanya Metta seketika pada Yura.

"Gue mau ngajak lo pergi ke luar, tapi kayaknya lagi sibuk. Belajar kelompok, ya?"

"Iya, nih. Gimana kalau ngobrol sama kak Ken dulu? Gak apa-apa, kan, Kak?"

"Boleh. Duduk sini."

Yura mengangguk saat Kenneth mempersilahkannya duduk di sofa. Metta pun sudah kembali duduk di samping Ayana yang masih terdiam. Kesempatan ini digunakan Yura untuk mengetahui lelaki seperti apa Kenneth ini. Mereka mulai mengobrol santai.

Ayana yang melihat itu menyimpan kembali ayam di tangannya. Nafsu makannya hilang. Kenapa? Aya, kamu itu tidak menyukainya, bukan? Kenapa harus kesal melihat Ken dekat dengan perempuan lain? Biarkan saja.

"Panas, ya?" bisik Metta. "Mereka keliatan cocok."

Aya Memicingkan matanya."Ulah kamu?"

"Siapa lagi?"

******

"Udah sore. Pulang, yuk."

"Iya, nih. Gue juga takut dicariin nyokap."

Mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kembali tugas yang belum selesai besok. Membereskan barang-barang di atas meja dan membuang sampah bekas makanan. Ngomong-ngomong, Yeri masih ada di sana dan mengobrol dengan Kenneth.

Ayana mengambil tas miliknya. "Put, nanti besok kamu ke rumah aku, ya."

"Iya. Nanti sekalian aku bawa bukunya."

"Loh, udah mau pulang?" tanya Kenneth yang ikut berdiri.

"Udah, bang. Makasih buat makanannya tadi," jawab Deon tanpa rasa canggung. Kalau menurut Deon, kakaknya Metta ini asik-asik saja, kok.

Ken mengangguk. "Metta, kakak nganterin Aya dulu, ya."

"Ngapain? Dia udah dianterin sama Rendi tuh."

"Iya, Aya biar sama gue aja," balas Rendi.

"Gak perlu."

Ayana mengangguk kecil. "Aku ke sini bareng sama rendi. Gak perlu repot-repot."

"Saya calon suami kamu jadi kamu tanggung jawab saya."

"Ay, udahlah daripada ribut," bisik putri. Jika terus seperti ini akan ada perdebatan panjang antara Ayana dan Kenneth. Sedangkan ia tau Aya ini seperti apa.

"Udah beres, kan? Ayo pulang." Kenneth mengambil kunci mobilnya dan menarik lembut lengan Ayana.

"Gak usah, Ken."

Pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ayana, sebelum kembali membawanya pergi. "Kenapa? Mau deket-deket sama temen kamu itu?"

Rendi menghela nafas kasar melihat Ayana yang sudah lebih dulu pergi dengan pria bernama Ken itu. Dia juga mengajak agar Deon dan Putri segera pulang sekarang. Mood-nya sekarang sedang tidak baik.

Yeri bersedekap dada setelah orang-orang itu ke luar dari rumah. Kini hanya ada Yura dan Metta di sana.

"Kak Ken kayaknya beneran suka sama Aya," gumam Metta yang di dengar oleh Yera.

"Tapi gue liat kalau cewek itu biasa aja. Gak keliatan suka sama Kenneth. Terus siapa cowok yang pake jaket tadi?"

"Rendi?"

"Nah, dia justru keliatan suka sama Ayana. Keliatan dari matanya."

"Masa, sih?" Metta mengerutkan keningnya. Bisa jadi juga apa yang dikatakan Yura ini benar. Ayana itu dekat dengan Rendi seperti Deon dan Putri.

"Lo gak akan berubah pikiran buat deketin gue sama kakak lo, kan?" tanya Yura lagi.

"Selama lo nepatin janji."

Di lain tempat, tepatnya di dalam mobil milik Rendi. Lelaki itu masih mencoba menormalkan perasaannya. Apa dia harus menyembunyikan rasa sukanya pada Ayana seperti ini terus? Tidak bisa.

Melihat temannya yang tidak fokus menyetir, Deon meminta agar Rendi menghentikan mobilnya. Sesuatu bisa terjadi jika dia melamun. Lebih baik untuk mengutamakan keselamatan.

"Lo kenapa sih, Ren? Biar gue yang nyetir aja, sini."

"Menurut kalian, gimana kalau gue suka sama Aya?" ucap Rendi tiba-tiba membuat kedua temannya tersentak.

Putri yang duduk di belakang kini memajukan badannya. "Maksudnya?"

"Gue suka sama Aya dari awal kita ketemu. Cuma gue belum berani buat jujur sama dia, dan sekarang Aya malah dijodohin sama laki-laki lain."

"Jangan aneh-aneh. Lo gak nekat buat rebut dia, kan? Bukan maksud gue gak ngertiin perasaan lo, tapi pertemanan kita bisa berantakan."

"Gue tau. Tapi perasaan gue gak bisa bohong," lirihnya sambil memegang erat stir mobil.

"Terus mau lo apa?"

"Seenggaknya gue pernah berjuang. Sebelum janur kuning melengkung."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status