"Kenapa dari tadi diem terus, hm?" tanya Ken yang melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya.
"Terus harus gimana?""Kamu cemburu kalau saya deket sama temennya Metta?" Hanya memastikan saja. Ken tidak merasa jika Aya cemburu. Apa memang dia tidak memiliki perasaan untuknya?"Engga. Aku bukan kamu. Sama Rendi, temen aku aja kamu cemburu. Aku itu gak suka sama kamu! Cuma karena aku gak bisa nolak semua ini bukan berarti aku suka sama kamu."Ayana menatap jalanan sambil memegang sabuk pengaman erat. Sebenarnya untuk mengatakan itu saja dia punya ketakutan. Dia takut Ken akan marah atas perkataannya. Karena bagaimanapun Ayana belum terbiasa dengan pria ini.Kenneth sendiri tidak menghiraukan ucapan Ayana. Dia hanya mencoba agar gadis ini tidak semakin membencinya. Biar saja Naura berpikir seperti itu sekarang yang jelas Ken akan memastikan Ayana akan tetap menjadi miliknya.Tak lama dari itu mobil berhenti tepat di depan rumah Aya. Gadis itu hendak turun, namun Ken lebih dulu menahannya."Sebentar.""Kenapa lagi?"Pria itu mengeluarkan paper bag yang sudah disiapkan untuk Aya. "Buat kamu.""Apaan?" Ayana menerimanya tanpa ragu."Buka, dong."Di dalam Paper bag tersebut ternyata ada sebuah kotak lagi. Ayana membukanya dengan rasa penasaran. Ternyata sebuah kalung dengan ukiran nama 'Kenneth'. Tunggu! Kenapa bukan namanya? Kalungnya memang cantik namun seharusnya nama yang terukir di sana adalah namanya."Kenapa jadi nama kamu?" tanya Aya menekuk bibirnya."Supaya kamu inget terus sama saya. Sini, saya yang bantu pasang."Gadis itu hanya diam saja saat Ken mencoba mengambil kalung tersebut dan ingin memasangkannya."Gak usah," kata Ayana yang membuat ken terhenti."Kenapa?""Ken, kita itu cuma dijodohin. Aku juga terpaksa nerima perjodohan ini. Tolong jangan berlebihan sampai harus ngeluarin uang banyak buat aku.""Kok bahas ini lagi? Yang terpaksa itu cuma kamu, Ay. Saya emang suka sama kamu. Kalau perlu saya juga akan bikin kamu suka sama saya."Ayana menggeleng. "Kita baru ketemu setelah beberapa tahun. Metta juga gak suka sama aku. Aku sama Metta, itu gak akan pernah akur.""Ay..."Ken mencoba menahan gadis itu, namun Aya lebih dulu ke luar. Apa masalahnya? Atau karena teman Metta yang bernama Yura itu? Tidak mungkin. Dia bilang tidak cemburu tadi. Apa karena Aya memang membencinya?Ayana berjalan begitu saja menuju halaman rumah. Saat dia membuka pintu, tepat sekali Mamanya keluar dengan Ibunya Ken."Loh, kamu baru pulang?""Iya, ma. Tadi habis kerja kelompok di rumah Metta.""Terus kamu pulang sama siapa?""Ken," jawabnya menunduk."Mah, Tante." Kenneth berlari kecil ke arah mereka dengan kotak di tangannya. Kalung itu tidak jadi diambil oleh Aya."Kenneth? Syukur kalau Aya pulang sama kamu."Aya tersenyum kecil dan menatap dua wanita paruh baya di hadapannya. "Mah, Aya masuk ke kamar duluan, ya. Tante, Aya permisi dulu.""Loh?""Ken, kenapa sama Aya?""Gak tau, mah. Mungkin lagi ada masalah di kampusnya," jawabnya singkat."Kalian gak berantem? Tante minta maaf kalau sikap dia seperti tadi. Aya itu masih labil. Kadang bertindak seperti anak kecil. Kita yang ngadepin jadi harus banyak sabar."Wanita di depannya mengangguk paham. "Aku paham. Metta juga kadang kayak gitu. Namanya juga masih remaja.""Iya. Nanti aku juga coba bicara sama Aya di dalam.""Kalau gitu kita pulang dulu.""Tante, ini punya Aya ketinggalan di mobil," ucap Ken dengan memberikan kotak kecil yang dibawanya."Makasih. Nanti tante sampaikan."Sepasang Ibu dan anak itu berpamitan untuk pulang. Mereka masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pekarangan rumah. Ibunya Ayana juga masuk ke dalam rumah untuk menyusul anaknya.***"Sayang, mama masuk boleh?""Masuk aja. Gak dikunci."Pintu kamar tersebut terbuka. Nampak Ayana yang sedang duduk di meja belajar dengan sebuah novel di tangannya."Lagi ada masalah?"Gadis itu menggeleng. "Gak ada.""Ini ada titipan dari Ken. Katanya punya kamu ketinggalan di mobil.""Itu bukan punya Aya.""Mama buka boleh?""Terserah."Ayana menutup bukunya dan melihat kalung itu dikeluarkan."Pasti dari Ken. Kalungnya bagus.""Kalau Mama suka ambil aja," jawab Aya dengan santainya."Loh? Kalau mama yang pakai, nanti papa cemburu.".Gadis itu tertawa pelan. Ia memasukan kembali kalung tersebut ke dalam kotaknya. Harusnya Ken ambil lagi kalung ini. Sekarang Aya terlihat seperti orang yang tidak menghargai suatu pemberian. Bukan itu masalahnya. Ayana tau jika kalung itu tentu bukan barang murah. Dia tidak pantas mendapatkan barang mahal dari orang yang tidak memiliki hubungan dengannya begitu saja."Dia keliatannya serius sama kamu.""Jangan bahas Ken, mah.""Kamu kenapa? Cerita dong sama mama."Wanita itu meminta agar sang putri menatap wajahnya. "Ada apa?""Aya benci sama Metta," ucapnya lirih."Sayang, mama pikir kalian udah baikan. Kamu lupain masalah itu. Seharusnya kalian akur, dan jadi sahabat lagi.""Harusnya Metta yang minta maaf!""Aya.."Tiba-tiba air mata ke luar begitu saja. Saat itu juga Aya langsung memeluk mamanya. "Liat mukanya aja bikin kesel. Aku benci kalau inget pernah main sama dia. Kenapa dulu kita kemana-mana bareng, terus nangis bareng, pulang sekolah juga- hiks."Dia tak bisa melanjutkan ucapannya. Hatinya sakit mengingat semua itu. Dulu mereka memang begitu sekat. Sekarang Aya menyesal pernah sedekat itu."Sttt... jangan nangis dong.""Pokoknya aku sama Metta itu gak akan bisa baikan.""Kalau menurut mama itu namanya bukan benci, tapi kangen."Aya mengusap air mata dan ingus dengan bajunya. "Siapa juga yang kangen? Gak ada!""Percaya, deh. Kalian itu sama-sama pengen main bareng lagi. Cuma gensinya tinggi. Jadi gak ada yang mau ngalah.""Engga!""Itu apa? Kamu masih nyimpen foto kalian," tunjuknya pada sebuah foto. Di situ ada Ayana dan Metta yang masih kecil, bersama orang tua Ayana."Karena ada mama sama papanya," bantah Aya cepat."Kalau itu? Kalau gak salah kado dari Metta waktu kamu ulang tahun ke-17."Sebuah kotak musik dengan ukiran tangga nada di luarnya. Terlihat klasik dengan kayu kecoklatan yang masih terlihat seperti baru. Saat SMA mereka mengikuti klub musik, dan Metta menghadiahkannya kotak musik tersebut. Namun tak lama dari itu ada kejadian di mana pertemanan mereka hancur karena satu orang laki-laki."I-itu..""Keliatan masih bagus. Kamu rawat?""Lupa aku mau buang." Aya meraihnya dan melempar ke tong sampah di kamar. Sesaat ia meneguk ludahnya kasar."Kamu gak bisa bohongin mama." Wanita itu tersenyum lembut dan mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Sebentar lagi papa pulang. Mama mau masak dulu buat papa."Ayana menatap mamanya yang berjalan ke luar kamar. Gadis itu memasukan kalung pemberian Ken ke laci meja. Setelah pintu tertutup, Aya bergegas ke tong sampah dan mengambil kotak musik yang dilemparnya.Tidak ada yang rusak dibagian luarnya. Mungkin karena kayu itu cukup bagus. Tapi saat Aya memutar untuk memainkan musiknya, benda itu tidak berbunyi. Atau justru mesinnya bermasalah?"Jangan rusak dong, plis..." Aya sampai memukulnya pelan, berharap kotak musik itu kembali menyala.Rendi! Aya menelpon temannya itu dengan segera. "Halo, Ren?""Ayana! Ya ampun, ini anak gadis masih tidur. Udah siang ini."Wanita paruh baya itu menarik selimut yang menggulung tubuh putrinya. Tertidur nyenyak tanpa merasa terganggu sedikitpun. Ini pasti karena habis bergadang nonton film. Kebiasaan!"Bangun!""Sebentar lagi, ya. Sekarang Aya gak ke kampus," jawab Ayana melenguh."Itu temen kamu udah nunggu di bawah. Kasian kalau harus nunggu lama.""Siapa?""Putri."Ayana sontak mengubah posisinya menjadi duduk. Dia lupa sudah janjian untuk bertemu. Gadis itu melihat Mamanya berjalan ke arah jendela untuk membuka gorden. Saat cahaya matahari itu menerpa wajahnya, ia menyeringit silau."Tadi juga Kenneth ke sini. Mama mau bangunin kamu, tapi dia bilang jangan. Terus pulang lagi, deh.""Ken? Ngapain dia ke sini?""Gak tau. Mungkin ngajak kamu jalan," jawab Mamanya yang kembali menghampiri Ayana. Ia menarik selmut untuk dilipat. "Biar Aya aja yang beresin nanti," cegatnya."Yaudah. Mandi dulu sana. Putri disuruh masuk ke kamar aja apa gimana?"
"Makasih udah nganterin sampe rumah," ucap Ayana membuka sabuk pengamannya."Sama-sama. Lo gak apa-apa, kan?""Kenapa?"Rendi mengusap tengkuknya sesaat. "Gak cemburu liat yang tadi?"Ayana terkekeh pelan dan menggeleng. Tidak, dia tidak cemburu. Hanya saja Aya ingin membuat Ken merasa panas. Entah kenapa menyenangkan saja jika membuat kesal. Aya seperti membalaskan dendamnya."Kenapa harus cemburu juga? Udah, ya, aku mau masuk. Kamu hati-hati pulangnya. Kalau barangnya udah selesai jangan lupa kasih tau aku, ya," jawabnya."iya, nanti gue yang anterin."Ayana turun dari dalam mobil dan melihat Rendi yang berlalu pergi dengan mobilnya. Setelah memastikan Rendi benar-benar pergi, Ayana masuk ke rumahnya. Dia merasa lapar dan ingin makan sesuatu sekarang. Mungkin makan mie terasa nikmat saat tubuhnya merasa dingin seperti sekarang.Saat masuk ke dalam rumah Ayana melihat Ibunya tengah berada di dapur, menyiapkan sesuatu. Dengan cepat ia menghampirinya dan melihat apa yang dilakukan Ibun
"Gak ada, Pah. Ayana cuma bercanda mungkin.""Jangan bohong Ken! Kalian ada masalah?"Metta yang merasa ini adalah kesempatan langsung memanfaatkannya. "Pah, Mah, jadi Aya itu liat Kak Ken sama temen kampus aku yang mamanya Yura jalan berdua. Nah, mungkin karena itu.""Kamu jangan mulai, Ta. Jangan bikin Kakak tambah marah," ucap Ken kesal dengan sang adik. "Ini cuma salah paham. Papa sama Mama jangan khawatir karena aku jamin ini bukan masalah besar.""Kamu yakin? Mama gak mau kalau Ayana berakhir membatalkan perjodohan kalian sedangkan acara pertunangan sudah di depan mata. Mama mau Ayana yang jadi menantu Mama, Ken."Diam-diam Metta pergi dari sana menuju kamar. Orang-orang di rumahnya menyukai Ayana bahkan Ibunya sampai mengatakan hanya ingin Aya yang menjadi menantunya. Sehebat apa, sih? Banyak wanita lain di luar sana yang lebih baik dari Ayana.***Seorang gadis keluar dari kamarnya dengan tampilan acak-acakan. Ia terbangun di malam hari dengan keadaan yang kurang baik. Tubuhny
"sayang, ayo bangun dulu. Ini waktunya kamu minum obat, loh." Ayana mengeluh dan perlahan membuka matanya. "Gak mau, Mah. Nanti aja.""Kamu harus cepet sembuh. Gak inget tadi dokter bilang kamu harus makan? Ini suhu tubuh kamu masih panas. Kamu juga belum makan apa-apa dari pagi.""Gak mau."Gadis itu memelas. Perutnya sakit setiap diisi makanan. Tadi pagi dia sudah mencoba memakan bubur namun baru satu suapan sudah terasa mual. Lagipula selama belum merasa lapar ia masih bisa menahannya. Ayana bahkan tak memiliki tenaga untuk bangkit jika memang harus memuntahkan isi perutnya ke kamar mandi."Tadi pagi siapa yang datang?" tanya Ayana teringat sesuatu. Ia menyingkirkan kompresan di keningnya."Siapa? Kayaknya gak ada.""Terus itu dari siapa?"Dilihatnya benda yang ditunjuk Ayana. Sebuah kotak kecil di atas nakas yang diletakan di samping lampu tidur. Intan baru sadar ada benda ini. Ia membukanya untuk melihat apa yang ada di dalam kotak tersebut.Wanita itu mencoba mengingat dan seg
Hari ini Kenneth kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dia berangkat pagi-pagi ke kantor untuk melakukan pekerjaan yang ditinggalkan kemarin. Namun sebelumnya Ken tentu sudah menghubungi Ayana untuk menanyakan kabar. Hatinya sedikit lega saat mengetahui keadaan gadis itu yang membaik. Ehm! Bagaimanapun acara pertunangan mereka itu besok malam.Ken duduk di kursi miliknya dan menatap layar monitor. Sebenarnya sekarang dia memiliki banyak meeting dengan klien, namun untuk sekarang Ken membiarkan pertemuan itu diwakili asistennya. Pria itu memilih untuk mengerjakan pekerjaannya di kantor. Dia sedang malas bertemu dengan orang-orang.Sebagai seorang pengusaha muda, apalagi baru saja datang setelah bertahun-tahun di luar negeri, Kenneth memiliki kebiasaan yang terbawa hingga sekarang. Bahkan di perusahaan keluarganya di luar negeri, dia tidak terlalu menampakan diri dari dunia luar. Bisa dikatakan lebih suka bekerja dibalik layar. "Permisi, Pak. Ini saya bawa laporan keuangan."Seorang karya
Setelah dinantikan banyak orang, akhirnya hari yang mereka tunggu tiba juga. Malam ini adalah acara pertunangan Ayana dan Kenneth. Dua keluarga besar itu dipertemukan dalam satu tempat yang sama. Sebenarnya Ayana juga belum siap, tapi tidak ada pilihan selain mengikuti acara ini. "Mah, kenapa tamunya banyak banget? Perasaan cuma keluarga kita sama keluarga Ken aja, kan?" tanya Ayana yang duduk si samping Mamanya."Biasalah. Papa ngundang rekan bisnisnya. Terus Mama undang teman-teman Mama. Gak banyak, kok.""Padahal Aya aja gak ngundang temen. Lagian baru juga tunangan, seharusnya gak sebanyak ini tamunya.""Supaya meriah."Ayana mendengus pelan dan menatap Papanya. "Papa juga gak bilang mau ngundang temen kerja. Ini bukan acara tempat pertemuan kolega."Ayana bahkan tidak diberi tau Ibunya jika dia boleh mengundang. Atau bisa dikatakan Intan yang lupa memberitahu putrinya."Papa minta maaf ya, sayang. Papa cuma mau semua orang tau hari bahagia ini.""Udah, dong, jangan cemberut gitu
Hari ini Metta menemui Yura di fakultasnya. Dia sudah janji pada Ken untuk tidak berurusan lagi dengan Yura. Metta tidak ingin kakaknya itu semakin marah padanya. Karena itu Metta berniat untuk berhenti mendekatkan Ken dengan Yura. Dia akan mencari cara lain agar Ayana menjauh dari kakaknya."Gue mau ngomong sama lo," kata Metta saat melihat Yura yang baru saja keluar bersama beberapa temannya.Teman-temannya Yura seolah bertanya siapa gadis ini. Namun Yura hanya tersenyum kecil dan meminta mereka untuk lebih dulu pergi. Tidak ada yang tau kalau Yura berniat mendekati kakaknya Metta."Kalian duluan aja, gue ada perlu sama dia.""Oke. Nanti nyusul aja, ya."Gadis itu kini menatap Metta. "Ada Apa?""Gue mau berubah pikiran," kata Metta tiba-tiba."Maksud lo?""Kak Ken udah tau rencana kita. Jadi gue gak mau lagi berurusan sama Lo.""Itu karena lo ceroboh! Harusnya lo jangan matiin HP. Jadi Ken gak akan curiga hari itu."Metta mendelik. Kenapa dia yang harus disalahkan? Jelas ini bukan ha
"Maksudnya apa, Ren?" tanya Ayana. Saat ini mereka berada di luar kampus. Atau lebih tepatnya di salah satu kafe terdekat. Aya belum paham maksud dari ucapan Yura saat di kantin. Mungkin karena tidak ingin ada salah paham akhirnya lelaki itu membawa Ayana untuk berbicara berdua."Gue mau jujur aja sama lo," jawab Rendi sambil menatap Ayana lekat."Tentang?""Perasaan gue. Gue udah suka sama lo sejak-""Sebentar!" Ayana menatap Rendi seolah tak percaya. "Kamu suka sama aku? Ren, Kamu bercanda, kan?"Rendi menggeleng beberapa kali. Dia tau jika Ayana mungkin tidak akan percaya. Tapi siapa yang sangka jika dirinya memiliki perasaan untuk gadis itu? Terserahlah dengan hubungan pertemanan mereka. Yang namanya cinta itu datang tanpa diminta."Dengerin gue dulu ya, Ay. Gue emang beneran suka sama lo. Dari lama, saat kita awal ketemu."Ayana membuang wajah ke arah lain. "Kamu tau aku udah tunangan.""Terpaksa, kan?""Terpaksa atau bukan, aku juga gak bisa balas perasaan kamu."Gadis itu menata