“Siapkan air hangat.”Titah Damian ketika pintu kamar dibuka.Dia baru pulang larut setelah sehari kemarin tidak pulang. Pria dengan luka kecil di pipinya melempar jas hitam ke sofa panjang. Dasi dilonggarkan, kemeja dibuka kancingnya satu-satu.Karena tak ada jawaban dari pelayan yang baru masuk, Damian pun menoleh ke belakang. Begitu mengetahui siapa yang sedang menutup pintu, dia berdecak kemudian kembali melihat ke depan untuk menyelesaikan melepas jam tangan.“Aku memanggil pelayan, bukan kamu.”Emma mengambil jam yang baru Damian lepas, sambil menyentuh manja.“Aku yang akan melayani Tuan Damian malam ini,” bisiknya.Kakinya telanjang, langkahnya ringan mengintari Damian lalu berdiri di depan pria itu. Emma hanya dibalut jubah satin yang kini ia lepas perlahan. Dibiarkan jatuh ke lantai begitu saja. Hingga kini hanya ada lingerie tipis berwarna hitam transparan yang melekat sempurna pada lekuk tubuhnya.Damian tak bereaksi. Matanya hanya melirik sebentar sebelum kembali melipat
“Kau benar akan pergi?”Karissa nampak tidak rela melihat Luciano yang sudah memakai coat hitam. Pria yang baru saja mengirimkan foto untuk ibunya pun berbalik ke belakang.“Kamu ingin aku bertengkar dengan Vincent di sini?” jawab Luciano seraya memasukkan ponsel ke sakunya.Karissa mendesah ringan. Dia menunduk memandang Baby Seraphina yang sedang dia gendong. Seolah, berharap anak ini bisa membuat Luciano tetap tinggal.Meski apa yang dikatakan benar adanya. Kalau Vincent tau Luciano di sini, pasti akan marah. Dia takut ada yang terluka di antara mereka berdua.“Ingat, usahakan Vincent tidak ikut ke rumah sakit saat jadwal periksa Baby Seraphina.”“Aku usahakan,” jawab Karissa sedikit ragu.Bukan meragukan rencana Luciano, tapi dia ragu apa Vincent bisa melepas dia keluar rumah sendirian.Pria yang sudah segar, wangi dan rapi itu membungkuk untuk mengecup pipi dan dahi bayinya. Kemudian mengangkat sedikit tubuhnya untuk mencium kening Karissa sampai keduanya terpejam sejenak.“Permi
“Apa kamu ingin bicara soal sabotase kebakaran di rumah sakit?” tebak Karissa hati-hati memperhatikan pria di depannya.Luciano tidak langsung menjawab. Dia menatap Karissa lama, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.“Kau yakin siap dengar semua ini?”Karissa mengangguk kaku tanpa menggeser pandangannya dari pria yang akhir-akhir ini nampak lebih tenang dari biasanya.“Cium aku dulu.” Siapa yang mengira di saat tegang begini Luciano tiba-tiba mengetuk bibir seksinya.Sontak Karissa memukul lengan kekar berotot itu. “Luciano!”Tapi lelaki dengan rambut masih berantakan malah tertawa pelan. Tanpa aba-aba dia lalu mendekat, menarik dagu Karissa dan satu kecupan di bibir istrinya. Ya, masih istri. Karena berkas perceraian yang saat itu Luciano ajukan ke pengadilan belum sempat ditandatangani oleh keduanya.Karissa tak memberontak, dia justru menggigit bibirnya usai Luciano melepas ciuman singkat itu. Pipinya juga memerah, malu.“Seperti janjiku.” Luciano memiringkan tubuhnya ke meja di
“Nona Karissa, selagi anak-anak tidak rewel, boleh aku menawarkan sesuatu?”Pandangan Karissa yang semula tertuju pada Luciano di balik kaca ruang tamu. Pria itu sedang menelfon seseorang. Lalu atensi Karissa beralih pada Bibi Wendy.“Apa itu?”“Saya pernah belajar sedikit tentang perawatan pasca melahirkan dari seorang tabib tua saat saya masih muda. Campuran ramuan untuk mengendurkan otot, memulihkan tenaga, dan menghangatkan tubuh. Kalau Anda berkenan, saya bisa melakukan untuk Anda.”Tawaran yang menggiurkan, tapi Karissa tidak enak pada wanita yang belum pernah dia kenal sebelumnya ini.“Nyonya Wendy, jangan begini. Saya –““Anda tampak lelah, Nona. Dan saya tahu, pasca melahirkan adalah fase terlelah seorang ibu. Ijinkan saya membantu?”Karissa menggaruk belakang telinganya lalu tersenyum kaku.“Saya sudah menyiapkan ramuannya,” ujar Nyonya Wendy segera.Ada semburat merah di pipi Karissa lalu dia tersenyum sambil mengangguk tipis. “Baiklah, itu kalau tidak merepotkan.”“Ini tid
“Siapa yang memasak? Aromanya sedikit aneh,” tanya Karissa saat pintu kamar dibuka karena Shiena masuk.Gadis itu tersenyum sembari meletakkan pakaian bayi di lemari yang baru dia setrika.“Nyonya Karissa bisa melihatnya sendiri.” Shiena menghampiri untuk mengambil Baby Seraphina yang ada di pelukan Karissa.Dia lalu melihat ke arah ranjang. “Baby Deim – Emh, Baby Allerick juga tidur? Nampaknya mereka sangat kenyang.”“Mereka lucu sekali, Shiena ....” Karissa tidak bisa menggeser pandangannya dari dua bayi itu yang lucu dan menggemaskan. Dua-duanya sangat penurut, tidak rewel saat menunggu giliran menyusui.Shiena tersenyum. Dia mendekati ranjang untuk melakukan perawatan kesehatan untuk Baby Seraphina.“Kamu keluar saja. Saatnya makan siang. Biar aku yang jaga mereka. Ibu menyusui harus banyak makan dan minum,” ujar Shiena.Karissa reflek mengusap perutnya. “Ya, perutku sudah berbunyi,” ucapnya sambil sama-sama tertawa kecil dengan sahabatnya.“Karissa,” panggil Shiena lirih, takut me
“Anda?”Mata Karissa membulat saking tak percayanya siapa yang bertamu tiba-tiba di rumah sepi ini.Untuk memastikan Vincent benar sudah pergi, Karissa melewati tempat berdiri tamunya untuk melihat ke gerbang kecil. Ya, tak ada jejak Vincent lagi di sana.Dia pun berbalik melihat ke wanita paruh baya berdiri di samping pintu, mengenakan mantel panjang dan selendang tebal yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Tak tertinggal ada Baby Stroller berwarna brown yang lengkap dengan mainan tergantung manis di atas“Nyonya Wendy, aku sungguh tak percaya.” Mata itu berkaca-kaca saking bahagianya.Dia sudah tiga hari tidak bertemu Allerick dan rasanya rindu itu nyaris meledak.Sebelum Nyonya Wendy sempat menjawab, Karissa langsung menariknya masuk dengan cepat. Tak lupa ditutup lagi pintu dan dikunci dari dalam.“Bagaimana bisa Anda sampai di sini?” tanya Karissa yang langsung memeluk wanita paruh baya itu singkat.“Anda tidak tau, saya sangat merindukan pangeran kecil ini.” Karissa segera