Eliza duduk di ujung sofa di kamarnya, tubuhnya kaku, kedua tangannya menggenggam ujung bantal kecil yang disediakan di pangkuannya. Cahaya sore menyelinap masuk dari sela tirai jendela, membentuk bayangan lembut di lantai. Di seberangnya, Dr. Meira duduk dengan sikap santai namun penuh perhatian, mengenakan kemeja putih dan celana kain abu. Wajahnya ramah, tidak menghakimi.“Terima kasih sudah mau bicara, Eliza,” sapa Dr. Meira lembut.Eliza mengangguk pelan. “Saya... nggak tahu harus mulai dari mana.”“Tidak apa-apa. Di sini, tidak ada yang memaksa. Kamu boleh diam. Atau menangis. Atau marah. Kita mulai dari apa pun yang kamu mau.”Eliza menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca bahkan sebelum satu kalimat keluar.“Saya... takut,” bisiknya. “Saya nggak tahu kenapa saya bisa begini. Semalam... saya merasa tubuh saya dicuri lagi. Sama seperti waktu itu.”Air matanya menetes. “Saya pikir, pernikahan bisa jadi tempat aman saya. Tapi ternyata...”Dr. Meira mengambil selembar tisu d
Benz Group, pukul 10.34 pagiSuasana kantor yang biasanya mendukung produktivitas, pagi itu terasa sesak bagi Nicholas. Monitor di depannya hanya memantulkan bayangannya sendiri. Ia memandangi layar kosong, pikirannya jauh lebih kacau daripada spreadsheet yang tak sempat ia buka."Geri," panggilnya pelan tapi tegas.Geri yang tengah mengetik di ruang depan, langsung masuk. "Ya, Pak?"Nick mengatupkan rahangnya sejenak, lalu bersandar di kursinya. "Tolong kamu blokir semua akses yang berhubungan dengan Lidya. Email, ID visitor, bahkan nomor yang bisa dipakai buat janjian sama dia."Geri sempat ragu. "Ada sesuatu yang terjadi, Pak?"Nick mendengus, suaranya rendah, dalam. "Aku tidak mau istriku melihat wajah perempuan itu lagi. Lidya… sudah bagian dari masa lalu. Aku nggak mau dia menyentuh masa depanku."Geri mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan langsung urus."Nick mengangguk tipis. "Dan satu lagi. Kalau dia datang ke sini, suruh security antarkan pulang. Jangan sampai aku lihat dia lagi
Pagi itu, mentari belum tinggi ketika Nicholas terbangun. Pandangannya buram, napasnya berat, dan tubuhnya terasa lelah luar biasa. Selimut tersibak sebagian dari tubuhnya yang tak berbalut pakaian. Sekelilingnya berantakan—baju-baju Eliza tergeletak di lantai, lampu meja miring, bahkan cangkir teh dari malam sebelumnya terguling di sisi meja. Kamar itu menyimpan sisa-sisa badai yang bukan hanya fisik, tapi juga emosi. Nicholas menoleh ke sisi tempat tidur. Kosong. “Eliza?” Tak ada jawaban. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat, bukan karena terkejut—tapi karena ketakutan. Potongan-potongan semalam menyeruak di benaknya—kemarahannya, luapan emosinya yang terlalu keras, dan betapa ia kehilangan kendali. Ia membenci dirinya sendiri saat itu. Ia bahkan tak yakin apakah yang terjadi semalam adalah bentuk dari cinta… atau luka yang belum selesai. Dengan cepat, Nicholas melompat dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Ia mengguyur wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menenangkan dir
"Kamu yakin ini dari CCTV tadi?” Nicholas bertanya dingin, menatap layar di tangan Geri yang menampilkan cuplikan: Eliza berjalan cepat ke arah Ricky, mereka mengobrol lalu keduanya masuk ke mobil sport berwarna hitam metalik dan pergi meninggalkan area basement kantor. Geri mengangguk ragu. “Saya sudah cek semua rekaman parkir, Pak. Hanya... itu.” Nicholas mengepal. Rahangnya menegang. “Hubungi Ricky.” Geri mendongak ragu. “Sekarang, Pak?” “Sekarang, Geri.” Geri mengangguk patuh dan mulai menelepon. Suara dering berputar sebentar sebelum akhirnya tersambung. “Halo?” suara Ricky di seberang, agak berisik seperti ditiup angin. “Ricky, ini Geri,” sapa Geri seakan santai. “Lagi di mana?” “Di sirkuit. Aku lagi latihan.” “Oke. Thanks.” Sambungan diputus. Geri menoleh perlahan ke Nicholas, yang kini berdiri dengan wajah kelam. “Sirkuit,” gumam Nick. Ia tak bicara apa-apa lagi. Hanya meraih kunci mobil dan melangkah keluar ruangan tanpa suara. --- Dua puluh menit kemudian, der
Langkah kaki Eliza menggema pelan di parkiran basement Benz Group sore itu. Angin dari kipas sirkulasi besar menggoyang sedikit helaian rambutnya yang baru dipotong kemarin. Ia sudah membuka pintu mobil saat sebuah suara familiar menghentikan langkahnya.“Eliza?”Ia menoleh cepat. Ricky berdiri beberapa meter dari mobilnya, menyandarkan diri di kap mobil sport hitam yang mengilat.“Ricky?” Eliza memicingkan mata. “Ngapain lo di sini?”Ricky tersenyum, lalu berjalan menghampiri. “Nungguin kamu. Nggak sengaja lihat mobilmu tadi. Baru balik dari kantor kak Nick?”Eliza mengangguk pelan. “Iya.”“Kalian berantem, ya?” Ricky menebak, memperhatikan ekspresi Eliza yang dingin.Eliza hanya mengangkat bahu.“Yuk ikut ke sirkuit,” ajak Ricky tiba-tiba. “Kayak dulu. Buat ngilangin sumpek.”Eliza mengerutkan dahi. “Nggak ah. Gue lagi capek.”Ricky tertawa kecil. “Aku udah tahu kamu bakal jawab gitu. Tapi… siapa tahu kamu pengin hiburan. Bebasin pikiran dengan liat mobil balapan.”Eliza hendak meno
Pagi itu, mansion masih sepi ketika Eliza membuka matanya. Ia melirik jam dinding—sudah hampir pukul sembilan. Dahi Eliza berkerut. Kenapa Nick nggak bangunin dia? Padahal biasanya cowok itu cerewet soal jam sarapan.Perutnya keroncongan. Ia bangkit dengan rambut berantakan dan langkah malas menuju dapur. Di sana, aroma harum telur orak-arik dan roti panggang menyambutnya. Di atas meja, sepiring sarapan tersaji rapi dengan secangkir teh hangat yang sudah agak dingin. Ada catatan kecil ditulis tangan Nicholas:[Spesial untuk kamu. Sarapan yang sederhana tapi sehat. Jangan lupa minum vitamin.]Eliza menatap kertas kecil itu. Jantungnya mencelos sedikit. Di satu sisi, dia masih kesal dan curiga. Tapi di sisi lain, perhatian Nick yang tidak berubah membuat hatinya terasa lebih lunak dari yang seharusnya.Sambil duduk dan mulai menyendok telur, Eliza terdiam.Kejadian malam tadi masih berbekas. Nick pulang larut dan mencoba menghindar. Mereka makan tanpa obrolan berarti, lalu cowok itu bah