LOGIN"Perjodohan yang ingin ia hindari, ternyata mengikatnya dengan pria yang paling ia benci." Eliza, gadis ceria yang baru menginjak usia remaja akhir, tak pernah menyangka keputusannya datang ke sebuah pesta akan menghancurkan hidupnya sekaligus mengguncang masa depannya. Berniat menolak perjodohan dengan pria misterius pilihan orang tuanya, Eliza justru terbangun keesokan harinya bersama pria asing dan satu kenyataan mengejutkan beberapa minggu kemudian —ia hamil, dan tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Nicholas, calon CEO muda yang ambisius, hanya ingin membuktikan bahwa ia pantas memimpin perusahaan otomotif terbesar milik keluarganya. Namun, satu syarat dari sang ayah menghalangi langkahnya: menikahi gadis SMA yang bahkan belum dikenalnya. Nick menolak mentah-mentah, apalagi setelah malam itu—malam yang tak pernah bisa ia lupakan—ia terjerat oleh sosok gadis misterius yang mencuri hatinya dalam satu ciuman gelap dan samar. Namun, takdir sedang bermain. Gadis yang ingin ia tolak dan gadis yang ingin ia cari... bisa jadi adalah orang yang sama.
View MoreDelapan belas jam sebelum tragedi besar itu terjadi, di kantin yang ramai oleh siswa-siswi SMA, Eliz tengah duduk bersama seorang sahabat baiknya. Selembar undangan tergeletak di meja dan dua remaja itu memandanginya dengan lekat.
"Lu yakin?" Anne, sahabat Eliza, bertanya untuk kesekian kali. "Yakin lah, Ne! Ini kesempatan gue buat ketemu pria itu!" Eliza ngotot dengan keputusannya. "Kapan lagi gue bisa nemuin pria itu kalo bukan malam ini! Gue harus nemuin dia sebelum pertemuan keluarga bulan depan. Dan, lu harus bantuin gue!" "Tapi, 'kan masih banyak waktu, El." "Nggak ada! Mulai minggu depan kita udah sibuk ujian, Ne. Please, temenin gue, ya!?" Eliza memohon dengan tatapan memelas yang selalu jadi andalannya untuk membujuk Anne. "Lu 'kan tahu, gue nggak sejago lu dalam merayu orang! Cuma lu yang bisa gue andelin buat nemuin pria itu." Sembari menghembuskan napasnya berat, akhirnya Anne menganggukkan kepala. "Oke, gue temenin lu! Tapi sebagai gantinya, lu harus beliin gue--" "Gue akan beliin apapun yang lu minta. Gue janji!" Jari telunjuk dan jari tengah Eliza terangkat membentuk huruf 'V' sebagai bentuk kesungguhan ucapannya. "Jam 7 nanti gue jemput lu. Pokoknya lu harus udah siap!" "Oke." Dan malamnya, Eliza benar-benar menjemput Anne tepat waktu. Gadis yang jarang keluar rumah itu, tiba-tiba saja menjadi sangat antusias untuk datang ke pesta topeng yang diadakan oleh salah satu perusahaan otomotif, di hotel milik keluarga Eliza. "Lu yakin, Liz?" Anne kembali menegaskan keraguannya. Ia merasa Eliza yang sekarang duduk di belakang kemudi itu bukanlah Eliza yang ia kenal. Tak biasanya Eliz sangat ngotot untuk menemui pria itu, pria yang akan dinikahkan dengannya tahun depan. "Nggak pernah seyakin ini, Ne. Lu nggak lihat gue udah dandan semenor ini biar nggak kelihatan kaya bocil?" Tatapan Anne menyelidiki setiap jengkal wajah sahabatnya yang memang tampak berbeda malam ini. "Ya udah, pokoknya lu jangan sampai bikin gaduh ya di pesta itu. Sesuai rencana tadi siang, kita cuma datang buat nemuin cowo itu dan setelahnya kita pulang!" "Oke!" Nyatanya, rencana yang sudah tersusun rapi mendadak buyar ketika Anne bertemu DJ favoritnya di pesta itu. Anne yang memang gadis pesta, sontak lupa pada tujuannya datang ke sana. Ia meninggalkan Eliza yang kebingungan sendiri di antara ratusan tamu yang hadir dengan topeng beraneka ragam. "Minum, Miss?" "Oh!" Eliza menoleh dengan terkejut ketika seseorang telah berdiri di depannya sembari membawa nampan berisi beberapa gelas minuman berwarna-warni. Merasa haus, Eliz memilih salah satu gelas berisi cairan berwarna pink dan meneguknya dengan kalap. Eliza tak tahu, jika yang baru saja ia telan adalah minuman alkohol dengan kadar tinggi yang sontak membuatnya pening beberapa menit kemudian. "Kenapa semua orang jadi berputar-putar?" gumam Eliz bingung sembari bangkit dari kursinya. Dengan langkah sempoyongan, Eliz berusaha menuju toilet karena mendadak ia ingin muntah. "Di mana Anne?!" dengusnya kesal, ketika teringat pada temannya yang justru menghilang tanpa jejak diantara ratusan tamu. Tepat di sebuah lorong menuju toilet, Eliza merasakan kepalanya semakin berat dan tubuhnya seakan ringan. "Jangan pingsan di sini, Liz! Jangan!" Masih dengan langkahnya yang semakin terseok-seok, Eliza memberi sugesti pada dirinya sendiri. Eliz tak menyadari, seseorang juga sedang berjalan di belakangnya dengan tubuh panas membara. Ia baru saja meneguk minuman yang diberi oleh rekan kerjanya beberapa menit yang lalu. Melihat seorang perempuan bergaun backless berjalan dengan sangat lambat dan sedikit oleng di depannya, membuat pria itu mengawasinya dengan waspada. Punggung mulus wanita itu nampak sangat menggiurkan, tubuhnya yang sintal dan mungil juga mulai mengusik gelora nafsunya. Saat tiba-tiba tubuh Eliza berhenti dan ambruk, pria itu sontak mendekat dengan panik. "Nona, are you oke?" Pria itu mengangkat kepala Eliz dengan cemas. "Geri!! Geri, di mana kamu!" teriaknya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak ada siapapun di lorong itu. Semua orang sedang menikmati musik yang menghentak riuh dan menggema. Entah mendapat dorongan dari mana, pria itu mengangkat tubuh Eliza dan membopongnya. Masih dengan topeng yang menutupi wajah keduanya, pria itu membawa Eliza keluar dari gedung pesta. Sesuatu di dalam tubuhnya semakin memanas ketika melihat belahan dada Eliz yang tersingkap kala pria itu menggendongnya. Tidak, jauh sebelumnya pun pria ini merasa tubuhnya tak baik-baik saja usai meneguk minuman sialan itu. Karena tak tahu harus membawa wanita ini ke mana, akhirnya ia menggotongnya ke dalam kamar yang sudah ia tempati sejak tadi sore. Ia membaringkan tubuh mungil Eliza di atas ranjang kingsize itu dengan napas tertahan. "Minuman brengsek!" maki pria itu sembari beringsut ke kamar mandi untuk membasahi badannya yang terasa panas terbakar. Namun, rupanya dinginnya air shower tak mampu melenyapkan sensasi aneh yang semakin menyiksa di sekujur tubuhnya. Merasa semakin pening dan ingin meledak, pria itu akhirnya keluar dari kamar mandi sambil terus menggerutu, tatapannya lantas tersita pada seseorang yang sedang duduk di atas ranjang. Untuk beberapa detik, pria itu terpana menatap wajah cantik yang kini sudah melepas topeng yang ia kenakan. "Lu ganteng banget." Eliz masih belum sadar dari pengaruh alkohol. Melihat seorang pria tiba-tiba muncul di depannya hanya dengan mengenakan bath robe dan rambut basah, respon otaknya seketika menganggap pria itu adalah idolanya. "Maaf, kamu bilang apa?" "Lu ganteng banget, sih! Boleh peluk dan minta tandatangan, nggak?" **************Satu tahun setelah kecelakaan itu. Udara pagi di Benz Group terasa segar dengan semilir angin dari taman vertikal di sisi gedung. Di antara lalu-lalang karyawan yang sibuk, langkah seseorang menarik perhatian, Nicholas Benedict, CEO muda yang dulu sempat dikabarkan lumpuh total, kini berjalan pelan dengan bantuan tongkat logam hitam di tangan kanan. Ia mengenakan setelan abu muda, dasinya rapi, wajahnya lebih cerah dari biasanya. Setiap langkahnya masih hati-hati, tapi tegap. Senyum kecilnya muncul setiap kali menyapa karyawan yang menunduk hormat padanya. “Pagi, Pak Nicholas,” sapa Geri, yang kini kembali menjadi asisten pribadinya setelah sempat “dipecat pura-pura” oleh Ettan. “Pagi, Geri,” jawab Nicholas tenang sambil menepuk bahunya. “Laporan minggu ini sudah kamu kirim ke email Daddy?” “Sudah, Pak. Beliau nitip salam, katanya bangga karena Bapak akhirnya balik ke kantor, bukan cuma memantau dari rumah.” Nicholas terkekeh pelan. “Kalau di rumah terus, nanti aku malah ke
Langit sore itu tampak bersahabat, meski ada selapis awan kelabu di ujung barat. Angin lembut berembus dari arah danau, membawa aroma rerumputan basah dan wangi tanah yang baru tersiram hujan semalam. Di tepi taman kota, di bawah pohon besar yang rindang, selembar tikar bermotif bunga sudah tergelar. Di atasnya, tersusun rapi bekal piknik yang disiapkan Eliza sejak pagi. “Lihat, Sus, sandwich-nya sampai tiga lapis,” gumam Eliza sambil terkekeh kecil. “Ah, biar puas, Nyonya. Nanti Tuan Nicholas pasti suka,” jawab Sus Tini sambil menata gelas plastik di sebelah keranjang buah. Nicholas mengangguk kecil, lalu mengelus kepala Nicola yang sedang berusaha memegang sendok. Bocah itu mengoceh riang, suaranya belum jelas tapi penuh semangat. “Papah…papah… cucu!” katanya sambil menunjuk jus mangga di depannya. Nicholas tertawa kecil. “Iya, itu jus buat Papa, bukan cucu,” godanya lembut. Tawa kecil itu menular. Eliza ikut tertawa sambil menuangkan jus ke gelas plastik kecil, sementara Sus
Hari sudah menjelang sore ketika Ettan akhirnya mengajak Nicholas pulang dari kantor.“Daddy yakin nggak ada yang perlu aku tanda tangani lagi?” tanya Nicholas curiga. “Kayaknya semua laporan tadi cuma revisi lama.”Ettan terkekeh kecil. “Kamu sekarang terlalu mudah curiga. Sudahlah, kita pulang aja. Eliza pasti udah nunggu di rumah.”Nicholas hanya mengangguk lemas. Ia tak ingin berdebat. Badannya pegal setelah terapi, pikirannya pun lelah karena sepanjang hari terasa aneh. Geri menghilang, Eliza sibuk dengan Nicola, dan bahkan di hari ulang tahunnya ini, tak ada yang terasa spesial.Ia tak tahu kalau sepanjang hari itu, seluruh keluarga sibuk berlarian di mansion utama. Eliza memimpin semuanya dengan cermat—mengatur dekorasi, memastikan katering datang tepat waktu, dan menyembunyikan balon-balon raksasa bertuliskan“Happy Birthday, Nicholas!” di balik tirai ruang keluarga yang megah.Nicola, meski baru 15 bulan, tampak bersemangat ikut membantu. Ia terus menunjuk balon-balon dan ter
Sejak pagi, suasana rumah Nicholas sudah terasa “aneh.” Ia terbangun lebih awal dari biasanya, berharap menemukan Eliza dan Nicola di kamar. Tapi yang ia temukan hanya secarik catatan kecil di atas meja nakas.[Sayang, aku ke rumah sakit sama Nicola ya. Hari ini jadwal dia vaksin dan sus Tini mendadak cuti. Sarapan udah aku siapin di dapur.]Nicholas mendesah panjang. Ia menatap jam di dinding — baru pukul tujuh pagi.“Kenapa harus sekarang sih vaksinnya?” gumamnya kesal. Ia tahu, hari ini jadwal terapinya di RS pusat dengan dokter Doni, dan biasanya Eliza selalu menemaninya. Tapi kali ini? Ia harus pergi sendiri.Nicholas mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif. Tapi begitu turun ke dapur, suasana makin menguji kesabarannya.Sarapan yang “sudah disiapkan” ternyata hanya roti panggang dingin dan segelas susu dingin yang sudah tak terlalu segar.“Luar biasa,” keluhnya dengan nada sarkas. “Ulang tahun paling spesial dengan sarapan susu basi.”Pak Johan, sopir setianya, muncul
Tiga bulan sudah berlalu sejak Nicholas mulai menjalani terapi intensif bersama dr. Doni. Pagi-pagi buta, suara kursi rodanya bergulir di lantai marmer ruang latihan menjadi pemandangan yang biasa. Peluh menetes di pelipisnya, namun setiap gerakan—sekecil apa pun—selalu diikuti dengan tekad kuat di matanya.“Pelan-pelan, Pak Nicholas. Fokus di lututnya dulu,” ujar dr. Doni sambil menahan kaki kanan Nicholas agar tetap stabil.Nick mengerang pelan menahan sakit, tapi ia tidak berhenti. “Saya bisa, Dok,” katanya dengan nada menahan perih.Eliza yang berdiri di sudut ruangan menggenggam tangan di dadanya, menatap Nick dengan perasaan campur aduk—antara kagum dan khawatir.Sejak terapi bulan kedua, Nicholas tak pernah lagi mengeluh. Jika dulu ia mudah frustrasi, kini ia justru menjadi orang paling disiplin di ruangan itu. Setiap instruksi dijalaninya tanpa protes. Ia bahkan sering datang lima belas menit lebih awal hanya untuk melakukan pemanasan sendiri.Dr. Doni sempat berkelakar, “Pasi
Ruang makan di mansion utama malam itu terasa berbeda dari biasanya. Lampu gantung kristal yang menjuntai di atas meja panjang memantulkan cahaya lembut, memberi suasana hangat yang seolah berusaha mencairkan segala kekakuan di udara. Ettan duduk di ujung meja, mengenakan kemeja abu-abu rapi seperti biasa, sementara Athena di sisi kanan, dengan senyum yang sedikit gugup tapi tulus. Ricky duduk di sebelah ibunya, dan di hadapan mereka, Eliza mendorong kursi roda Nicholas perlahan. Begitu memasuki ruangan, suara sendok dan piring berhenti sejenak. Semua mata tertuju pada Nicholas. Lelaki itu tampak tenang, tapi Eliza tahu betul, di balik wajah datarnya, ada badai kecil yang berusaha dikendalikannya. “Selamat malam, Nick. Eliza,” sapa Ettan hangat, berdiri untuk menyambut mereka. “Selamat malam, Dad,” jawab Eliza lembut, membungkuk sedikit. Nicholas hanya mengangguk sopan. “Selamat malam.” Sus Tini menggendong Nicola yang tampak antusias melihat banyak orang di ruangan itu. Rick






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments