“Tapi… ini kan meeting besar, Pak Felix. Kenapa tiba-tiba saya?” Neina merasa gugup. Jujur, ia sendiri belum pernah melakukan meeting langsung sejak bekerja di DS Company.“Kamu harus yakin, Neina. Saya yakin kamu mampu menanganinya. Terlebih proposal kemarin, kamu yang menyelesaikan dengan baik semalam. Jadi, saya yakin kamu sudah paham betul detail isi dari proposal untuk kamu presentasikan nanti. Kamu punya kemampuan bernegosiasi yang bagus,” Felix tersenyum meyakinkan. “Kamu pasti bisa, Neina. Jangan khawatir.”Meski Felix terus meyakinkan Neina. Tak lantas membuat dirinya yakin. Gugup sudah pasti. Tapi tak ada pilihan, dan ia harus melakukan apa pun yang Keandra perintah. Sebab itu janji yang ia tekankan pada diri, setelah apa yang Keandra lakukan untuknya tak bisa dibayar dengan materi. Mereka tiba di depan pintu ruang meeting. Suara samar percakapan berbahasa Jepang terdengar dari dalam. Neina menarik napas sekali lagi, mencoba menenangkan dirinya.“Oke, aku coba yang terba
Neina membelalakkan kembali matanya. Berpikir jika ia masih mengantuk sebab tidur menjelang pagi. Di balik kaca film mobil dinas yang membawanya menuju kantor, sesosok tinggi bersweater hitam berdiri tegak, memancarkan aura misterius. Dan terus menatap ke arah mobil yang telah membawanya pergi.Helm full-face bertengger santai di tangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam ponsel. Tatapan tajamnya menembus lapisan kaca film mobil, seolah mata itu memiliki kemampuan sinar-X.“Mas Raka?” bisik Neina, suaranya nyaris tak terdengar, bahkan oleh telinganya sendiri. Ia menggosok matanya, mencoba memastikan ini bukan bagian dari sisa mimpi yang menghampirinya hingga kesiangan bangun tidur. “Kenapa dia di sini? Bukankah seharusnya dia sudah di rumah sakit?”Mobil melambat, berbelok di persimpangan dekat rumah mewah Pak Keandra. Dari sudut matanya, Neina melihat Raka masih di sana, berdiri gagah di samping motor besar miliknya yang perkasa. Motor itu sendiri terlihat seolah ikut m
Cahaya matahari yang menelusup dari celah jendela sempit kamar pelayan menyentuh pipi Neina seperti sentuhan es, membangunkan tidurnya yang tidak nyenyak. Ia mengerjapkan mata, menatap dinding kayu usang yang masih asing baginya meski sudah berbulan-bulan ditinggali. Nafasnya tercekat ketika ia melihat jam dinding bundar berhias bunga plastik murahan.“Jam tujuh lewat?!” Suara paniknya menggema di ruang mungil itu, menggoncang kesunyian subuh yang sudah lewat terlalu banyak sebab waktu yang sudah menunjukkan pukul 07.15 menit. Dengan refleks ia menendang selimut tipis, hampir tersandung sandal lusuh yang teronggok di lantai. “Bisa-bisanya aku bangun kesiangan. Padahal alarm sudah aku nyalakan. Kenapa masih nggak dengar…,” gerutunya, tangannya dengan cekatan meraih handuk.Ia merapat ke kamar mandi kecil yang ada di kamarnya dengan dinding keramik yang bergambar lumba-lumba. Gemericik air dingin memagut kulitnya, namun kantuk masih menempel di kelopak mata—seolah enggan disiram p
Udara pendingin ruangan di lantai 8 DS Company menampar kulit seperti kristal beku. Dinginnya menusuk, seolah alam pun ikut merasakan ketegangan yang menyelimuti dini hari itu. Waktu di jam digital menunjukkan pukul 01.20 WIB, namun lampu di ruang kerja presiden direktur masih menyala terang—terlalu terang untuk dini hari yang sunyi, terlalu suram untuk sebuah kemenangan yang seharusnya gemilang.Di meja kayu walnut sepanjang dua meter, Keandra Dipta Sakti berdiri memunggungi pintu kaca, siluetnya memancarkan aura dominasi. Jasnya sudah tidak rapi, dasi sedikit miring, dan lengan kemejanya sudah digulung naik ke bagian atas lengannya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Rahangnya tegang, mengeras, seolah setiap detik menahan dentuman bom yang hendak meledak, ledakan emosi yang siap menghancurkan apa pun di depannya.Di dekat rak trofi perusahaan yang memancarkan kilau keemasan, Felix Aryawinata, asisten pribadi sekaligus bendungan emosi bosnya, baru saja masuk setelah
Raka menatap mata Neina lebih lama daripada biasanya. Ada perasaan tak tuntas, seolah ada sesuatu yang mengganjal. Namun, ia memilih percaya. Ia adalah pria yang memegang janji dan kepercayaan.“Kalau begitu, besok kabari setelah bangun. Jangan lupa aktifkan ponsel barunya,” pesan Raka, suaranya penuh perhatian.“Siap, Mas.” Neina meremas jemari Raka sebentar, sebuah sentuhan singkat yang penuh makna, lalu berbalik menuju pintu kaca lobi apartemen.Raka menunggu sampai siluet Neina lenyap di balik lift sebelum ia berbalik. Ia menghela napas, sebuah kelegaan bercampur rasa lelah. Ia kembali menuju mobilnya. Tujuan ia sekarang adalah kembali ke rumah orang tuanya. Saat taksi melaju, meninggalkan gedung DS Company yang kini tampak sepi dan gelap. Raka tak menyadari sebuah sedan hitam tanpa lampu kabin mengikuti pelan sejak lobi DS Company. Di balik kemudi, seorang pria berjas abu memantul di kaca spion, matanya mengawasi mobil yang ditumpangi Raka dengan tajam. Ada sesuatu yang tak
Jam di ponsel Neina menunjukkan pukul 22.16 WIB. Sebuah pesan masuk dari Mas Raka, kekasihnya. “Aku pesan makanan. Masih butuh apa?”Hati Neina ngilu. Ia ingin sekali membalas, “Pulanglah, Mas. Aku baik-baik saja.” Namun, ia takut menyinggung. Raka adalah sosok yang sabar dan pengertian, tapi ia juga tahu, menunggu di lobi kantor hingga larut malam bukanlah hal yang menyenangkan. Dengan jemari ragu, ia mengetik: “Mungkin sampai jam 00.30, Mas. Maaf.”Balasan hanya berupa emoji jempol ia terima. Neina tahu Raka menahan kecewa. Emoji itu adalah simbol kesabaran Raka, namun juga kekecewaan yang tak terucap. Sebuah janji makan malam yang telah direncanakan pagi tadi, kini harus pupus karena pekerjaan yang tak ada habisnya. Ia merasa bersalah, namun tak punya pilihan.Proposal BetaX akhirnya selesai. Setelah berjam-jam berkutat dengan angka, grafik, dan narasi, Neina menghela nafas lega. File pun telah terkirim, dan Felix sudah men-CC Pak Keandra ulang untuk memastikan. Mereka salin