Share

Berbicara Bersama

Penulis: AiMila
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 23:37:12

"Ethan, buka pintunya!"

Seruan keras disertai gedoran pintu di kamar utama milik Ethan terdengar nyaring. Sepasang pengantin baru itu sama-sama terlonjak kaget, saat suara penuh kekesalan itu terdengar. Karena belum ada dari mereka yang membuka atau merespon, suara itu terdengar lagi.

Tubuh Maudy kembali bergetar ketakutan, sudah terbayang wajah kemarahan di balik pintu itu. Dirinya yang baru saja sedikit tenang, harus kembali menghadapi kemarahan dua istri Ethan. Sekarang yang bisa dia lakukan, duduk sambil menekuk lututnya di sudut ranjang dengan selimut yang menutupi sampai batas lehernya.

Pergerakan demi pergerakan Maudy, sedari tadi diperhatikan oleh Ethan. Pria tiga istri itu menatap lekat Maudy yang menunduk sambil menutup mata tak lupa tangannya mencengkram erat ujung selimut. Sedangkan Ethan, duduk dengan tenang di sisi kasur yang lainnya.

"Maudy, kemarilah!" pinta Ethan dengan suara rendah.

"Tidak, aku mohon. Keluarlah sendiri, setelah itu langsung tutup pintunya," mohon Maudy tidak beranjak sedikit pun, juga tetap menunduk.

"Kita harus bicara bersama," balas Ethan menekan sisi egoisnya saat mendapatkan penolakan dari Maudy.

"Ethan, buka pintunya!" Teriakan itu kembali terdengar, membuat Ethan mendesis kesal. Sangat hafal suara siapa dibalik teriakan tersebut, sang istri pertamanya, Sophia, karena sejauh ini dirinya belum pernah mendapati Emily berteriak seperti itu.

Tidak ingin terus mendengar teriakan yang menganggunya, Ethan beranjak lalu berjalan menuju pintu. Setiap pergerakan Ethan, dada Maudy terus berdetak semakin keras. Pikirannya langsung ingin memiliki kekuatan untuk menghilang dalam sekejap, dia tidak mampu kalau harus menghadapi dua wanita yang tersakiti.

Pintu terbuka, wajah kacau Sophia terlihat dan di sampingnya ada Emily dengan wajah yang tetap tenang. Keduanya menatap Ethan yang berdiri dengan tatapan dingin, berganti menatap ke dalam tapi tidak dapat menjangkau di mana istri baru Ethan. "Ada apa?" tanya Ethan datar.

Sophia mendelik, pertanyaan sederhana Ethan seolah tidak terjadi hal besar dan menyakitkan. Membuat hatinya kembali merasa sesak, seolah dirinya benar-benar tidak dianggap sebagai seorang istri meski hanya seujung kuku saja. "Ada apa? Kamu bertanya ada apa, Ethan?" tekan Sophia.

"Mana perempuan miskin itu?" hardik Sophia sebelum Ethan bersuara.

Suara nyaring Sophia terdengar sampai kamar, di mana Maudy berada dengan air mata yang kembali mengalir. Dirinya terus merutuki takdirnya yang malah membawa ke dalam hubungan orang dewasa yang begitu rumit. Dia masih terlalu muda untuk dijadikan istri ketiga, harusnya dia masih menikmati bagaimana kehidupan remaja.

Namun, sedari awal hidupnya memang tidak pernah bisa dia nikmati. Bekerja di tempat yang dianggap dosa, lalu uang gajinya dirampok oleh sang ayah. Belum lagi cacian, pukulan sering dia dapatkan. Meski begitu, sekarang dia berpikir hal itu lebih baik daripada terjebak di tengah kerumitan rumah tangga orang dewasa.

"Dia punya nama, jaga ucapanmu!" Suara Ethan terdengar rendah dan dingin, entah mengapa dirinya terusik saat Sophia terus menyebut Maudy gadis miskin, meski yang dikatakan istri pertamanya benar adanya.

Bukan hanya Sophia yang tersentak, Emily pun demikian mendengar bagaimana seorang Ethan membela seorang perempuan. Mereka merasa perlakuan Ethan kepada perempuan muda itu sangat berbeda dengan mereka. Lebih lagi, Ethan menikahinya bukan karena bisnis.

"Kamu sekarang membelanya? Oh, sejak kapan seorang Ethan peduli dengan orang lain?" sarkas Sophia semakin tidak terima.

Ethan sesaat juga tersentak, membenarkan ucapan Sophia. Padahal, biasanya pria itu tak acuh apalagi pada hal yang tidak dianggap penting. "Itu bukan urusanmu," balasnya tidak ingin pusing.

"Kalian tunggu di ruang makan, kami akan menyusul. Kita perlu berbicara bersama!" putus Ethan dengan mengusir kedua istrinya.

"Ethan, kamu tidak bisa seenaknya begitu saja!" desis Sophia. Namun, Emily langsung menggandengnya sedikit paksa untuk meninggalkan Ethan.

"Emily, kamu lihat bagaimana Ethan membela perempuan miskin itu?"

Mereka duduk di kursi makan, menatap hidangan makan malam tanpa minat yang telah disiapkan pelayan rumah. Emily menatap kakak madunya, dia tahu kalau yang paling tersakiti adalah Sophia, orang pertama yang mendampingi Ethan. Lalu harus terluka saat kehadirannya. Sekarang kembali terluka saat ada kursi lagi yang datang, terlebih itu dari gadis miskin yang berbeda kelas dengan mereka.

Emily tentu saja marah, kecewa kepada Ethan juga perempuan itu. Dia melihat jelas bagaimana perempuan itu ikut terkejut saat mengetahui dirinya menjadi istri ketiga hingga tidak sadarkan diri. Namun, bagi Emily yang baru melihat sekilas tetap menyeret Maudy ikut bersalah karena mengira telah menggoda Ethan lebih dulu.

"Tenangkan dirimu, Kak. Kita tidak bisa menghadapi ini dengan kemarahan, yang ada Ethan malah semakin marah dengan kita!" balas Emily setelah mengembalikan akal sehatnya. Dia perempuan, tentu saja cemburu saat miliknya bersama orang lain, makanya dia tetap harus tenang agar tidak ikutan marah seperti Sophia dan berakhir dengan pertengkaran bersama Ethan.

Belum sempat membalas, suara langkah kaki terdengar mendekat dan tak lama pasangan pengantin baru itu muncul. Ethan berjalan lebih dulu dengan wajah datar, beberapa langkah di belakangnya ada Maudy dengan penampilan acak-acakan. Mata perempuan itu sembab, wajahnya memerah juga beberapa anak rambut jatuh menutupi sebagian wajahnya.

Butuh ancaman dari Ethan agar Maunya beranjak, karena perempuan itu benar-benar kukuh tidak ingin keluar apalagi bertatap muka dengan dua wanita istri Ethan. Namun, mendengar ancaman demi ancaman keluar dari bibir Ethan, Maudy tidak punya pilihan lain dan dengan berat hati mengikuti Ethan. Sampai sana, Maudy juga tetap setia menunduk tanpa berani mengintip bagaimana wajah dua kakak madunya.

"Maudy, duduklah!" titah Ethan.

Kaki Maudy berjalan perlahan, memilih tempat duduk sedikit jauh dari Ethan bersama dua istrinya karena kebetulan meja kursi makan itu begitu panjang. Dua pasang mata wanita itu terus menyoroti setiap pergerakan Madunya. Sophia dengan tatapan membunuh, lalu Emily dengan tatapan menelisik tanpa bisa dibaca.

"Kalian sudah tahu, kan, dia istri saya. Istri ketiga saya, adik madu kalian. Namanya Maudy!" Ethan mulai membuka suara, nadanya datar tapi terdengar tegas tidak ingin dibantah.

"Dia juga akan tinggal di sini, kamar utama itu akan dia tempati sekarang," sambungnya semakin membuat amarah dua istrinya naik.

"Tidak bisa seperti itu, Ethan! Kami berdua saja tidak pernah kamu izinkan masuk begitu saja, lalu dia datang akan menempati kamar itu?" teriak Sophia. Rasa marah cemburu, semakin membuat tangan Sophia gatal untuk menjambak rambut Maudy.

Maudy juga terkejut, ternyata kamar yang dia tempati adalah milik Ethan. Lebih terkejut lagi saat mendengar kalimat Sophia. Bukannya bangga, Maudy malah semakin tertekan seolah bisa diterkam kapan saja oleh wanita yang bernama Sophia dengan tatapan dan mulutnya yang tajam.

"Kenapa tidak bisa? Ini rumah saya, saya berhak menentukan apapun di sini. Bagaimana menurut kamu, Emily?" Ethan melempar kata kepada istri keduanya, sejauh yang Ethan tahu, sikap Emily lebih baik daripada Sophia yang sering berteriak.

Emily menghela napas yang terasa sesak, dia diam bukan mengalah apalagi terima begitu saja. "Lantas, kamu akan tidur di mana?" Alih-alih menjawab, Emily justru melempar pertanyaan. Bukan tidak mungkin, Ethan akan menetap bersama Maudy, mengingat kamar itu memang milik Ethan.

"Aku ingin pulang, tolong," lirih Maudy yang sudah tidak bisa lagi mendengar kata demi kata yang keluar dari tiga orang dewasa di sampingnya. Dia ingin segera pergi dan mengakhiri semuanya. Maudy sudah tidak peduli lagi pada masa depan karena dirinya bukan gadis suci lagi, yang terpenting sekarang dia bisa bebas dari Ethan dan dua istrinya.

"Apa itu penting? Seperti biasa, saya akan datang kalau berminat kepada kalian!" jawab Ethan kejam seperti biasa. Pria itu benar-benar tidak memiliki simpati pada dua istrinya, padahal mereka cukup baik dan perhatian kepada Ethan selama ini.

Maudy terkejut mendengarnya, kalimat kejam yang membuatnya tanpa sadar menatap tak percaya ke arah Ethan. "Kamu benar-benar laki-laki kurang ajar," umpatnya membuat semua perhatian tertuju kepadanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Ketiga Tuan CEO Muda    Berbohong

    Tidak pernah ada bayangan dari seseorang menjadi istri kesekian, semua perempuan pasti menginginkan menjadi satu-satunya untuk seorang suami. Begitu pula Maudy, memikirkan menikah muda saja belum pernah dan tidak berani, apalagi sampai kepikiran menjadi istri kesekian. Tidak ada seorang perempuan pun yang memiliki pikiran demikian.Kehidupannya lucu sekali, untuk berhadapan dengan mertuanya saja, dia ketakutan. Malah sekarang, dirinya harus berhadapan dengan dua orangtua lainnya, tak lain adalah orangtua kakak madunya. Para orangtua, para pengusaha yang bersatu untuk meluaskan usahanya.Jangan ditanya apa yang Maudy rasakan sekarang, tentu semua rasa bercampur dalam perasaan dan pikirannya. Matanya bergerak gelisah selama mobil melaju menuju rumah utama Ethan. Di sampingnya, ada sang suami yang terlihat tenang sekali, berbanding terbalik dengan dirinya.Sedangkan, di depan ada Rafly yang mengemudi dengan wajah santai seperti biasa. Lagian, apa yang harus mereka takutkan, mereka pria k

  • Istri Ketiga Tuan CEO Muda    Kedatangan Para Orangtua

    Hening menyapa ketiga orang yang duduk di sofa ruang tamu apartemen, belum ada yang membuka suara sejak mereka memutuskan untuk pindah duduk. Di sofa single ada Ethan yang menatap tajam dua sosok di hadapannya. Mereka adalah Maudy dan Rafly yang duduk di sofa panjang.Tangan Maudy meremas tangan Rafly yang masih setia di sampingnya. Dia sadar yang dilakukan ini tidak benar, apalagi di depan suaminya sendiri. Namun, Maudy butuh seseorang di sampingnya untuk berbagi perasaan campur aduk yang sekarang dirasakan.Maudy tidak mungkin melakukan demikian dengan Ethan, dia ragu pria itu peduli dengannya. Sedangkan, Rafly telah memberikan kenyamanan layaknya kakak kepada adiknya. Yang dirasakan Maudy juga demikian, dia nyaman dengan Rafly sebagai seorang adik yang butuh perlindungan."Tenanglah, saya nanti akan mengurus masalah ini. Saya akan meminta tuan Jenkins untuk membuat pernyataan kalau apa yang dikatakan tadi tidak benar."Rafly membuka suara karena merasakan tangan Maudy yang masih be

  • Istri Ketiga Tuan CEO Muda    Beban Suami

    Zaman yang canggih di mana manusia tidak perlu saling bertemu dan berbicara langsung, tapi mereka sudah bisa mengetahui banyak hal. Termasuk hal-hal yang jauh dari jangkauannya. Hanya bermodalkan ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan, semuanya bisa diakses dengan mudah. Tidak perlu menunggu untuk bertemu dan saling bertukar kabar, hanya duduk manis di tempat, semuanya bisa diketahui. Sebenarnya, ini bagus untuk memudahkan komunikasi antar sesama terlebih yang memiliki hubungan jarak jauh dengan orang-orang yang terdekatnya. Namun, ini juga berdampak negatif saat berita yang disebar tidak sesuai, hanya ingin menarik atensi publik. Seorang gadis muda dengan air mata yang masih mengalir, tubuhnya bersandar di pintu apartemen. Matanya menatap nanar pada video yang ditampilkan lewat ponselnya. Setelah menerima telepon dari Rafly, gadis itu gegas berselancar di dunia maya dan video yang baru beberapa saat terjadi sudah meluas dengan cepat. Satu akun yang mempublish, dan banyak aku

  • Istri Ketiga Tuan CEO Muda    Rasa Bersalah

    Takdir memang lucu, sering mempermainkan hidup seseorang, seolah menguji tapi terlalu sering yang terkadang membuat beberapa orang menjadi putus asa. Banyak orang-orang dengan pikiran pendek, menghadapi takdir yang tidak diinginkan dengan kabur dari dunia dengan memaksakan diri. Rasa lelah karena tak kunjung mendapatkan hal indah.Untung saja, Maudy bukan tipe orang dengan pikiran pendek, meski takdir terus mengujinya. Ayahnya adalah sebuah ujian terbesar baginya, mungkin Maudy hanya berpikir kalau saja dia bukan menjadi anak seorang Jenkins. Hanya pikiran berandai-andai dengan kehidupannya sebagai bentuk protes dan rasa lelah dari takdir yang dijalaninya.Beberapa orang yang mendengar seruan kasar dan tidak bermoral dari Jenkins menjadikan tontonan menarik. Beberapa bibir bahkan sudah membuat ruang terbuka untuk mendiskusikan berita yang sedang berlangsung di depannya. Menunggu momen selanjutnya dari tontonan gratis yang tersaji di parkiran supermarket itu."Dasar anak tidak tahu dir

  • Istri Ketiga Tuan CEO Muda    Kekacauan

    Istilah manusia bisa merencanakan tapi takdir yang menentukan adalah hal yang sudah jelas dalam kehidupan. Manusia selalu berencana yang terbaik untuknya, dan terkadang melupakan alam juga ikut bekerja. Berharap pada rencananya sendiri, lalu kekecewaan akan dirasakan saat tidak sesuai karena terlalu bergantung pada apa yang diinginkan saja.Pagi menyapa, kebiasaan Maudy yang bangun lebih awal membuat perempuan itu segera bergegas untuk membersihkan diri. Hanya sepuluh menit, dia keluar dengan tubuh yang kedinginan. Saat melihat jam, dia meringis karena waktu masih pukul setengah lima.Kakinya melangkah kembali ke kasur, bermaksud kembali menghangatkan diri di bawah selimut sebentar. Tadinya dia ingin melihat keluar, tapi tubuhnya masih menyesuaikan rasa dingin dan dirinya lupa kalau tidak membawa jaket.Dia bahkan dari kemarin memakai kaos milik Ethan yang kebesaran di tubuhnya. Kalau tahu, Ethan akan mengajaknya ke apartemen, mungkin dia bisa bersiap membawa beberapa helai pakaian. E

  • Istri Ketiga Tuan CEO Muda    Melupakan Sang Ayah

    Gemerlap bintang, sinar rembulan dan lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan malam ini. Seorang gadis muda, berdiri di pembatas balkon kamar apartemen memandang dengan binar senang. Untuk pertama kalinya, seharian ini dirinya merasakan bagaimana kehidupan manis yang sesungguhnya.Sehari tidak mendengar kalimat negatif, patut dia catat sebagai sejarah. Perasaan tenang dan nyaman membuatnya terlihat lebih cerah dari biasanya. Serta senyuman tipis yang sering dia perlihatkan saat melihat sesuatu yang membuatnya tertarik."Inikah yang dinamakan hidup sesungguhnya?" bisiknya pelan dengan sapuan angin lembut di pipinya."Andai, ketenangan ini bisa terus berlanjut," sambungnya sambil bergumam. Wajahnya mendongak, melihat pemandangan langit yang lebih tenang ketimbang pemandangan di depannya yang tidak kenal lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi pengguna jalan belum juga surut.Berbeda dengan langit yang terlihat terang, hamparan bintang yang berkelap-kelip dan rembulan ya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status