"Ethan, buka pintunya!"
Seruan keras disertai gedoran pintu di kamar utama milik Ethan terdengar nyaring. Sepasang pengantin baru itu sama-sama terlonjak kaget, saat suara penuh kekesalan itu terdengar. Karena belum ada dari mereka yang membuka atau merespon, suara itu terdengar lagi. Tubuh Maudy kembali bergetar ketakutan, sudah terbayang wajah kemarahan di balik pintu itu. Dirinya yang baru saja sedikit tenang, harus kembali menghadapi kemarahan dua istri Ethan. Sekarang yang bisa dia lakukan, duduk sambil menekuk lututnya di sudut ranjang dengan selimut yang menutupi sampai batas lehernya. Pergerakan demi pergerakan Maudy, sedari tadi diperhatikan oleh Ethan. Pria tiga istri itu menatap lekat Maudy yang menunduk sambil menutup mata tak lupa tangannya mencengkram erat ujung selimut. Sedangkan Ethan, duduk dengan tenang di sisi kasur yang lainnya. "Maudy, kemarilah!" pinta Ethan dengan suara rendah. "Tidak, aku mohon. Keluarlah sendiri, setelah itu langsung tutup pintunya," mohon Maudy tidak beranjak sedikit pun, juga tetap menunduk. "Kita harus bicara bersama," balas Ethan menekan sisi egoisnya saat mendapatkan penolakan dari Maudy. "Ethan, buka pintunya!" Teriakan itu kembali terdengar, membuat Ethan mendesis kesal. Sangat hafal suara siapa dibalik teriakan tersebut, sang istri pertamanya, Sophia, karena sejauh ini dirinya belum pernah mendapati Emily berteriak seperti itu. Tidak ingin terus mendengar teriakan yang menganggunya, Ethan beranjak lalu berjalan menuju pintu. Setiap pergerakan Ethan, dada Maudy terus berdetak semakin keras. Pikirannya langsung ingin memiliki kekuatan untuk menghilang dalam sekejap, dia tidak mampu kalau harus menghadapi dua wanita yang tersakiti. Pintu terbuka, wajah kacau Sophia terlihat dan di sampingnya ada Emily dengan wajah yang tetap tenang. Keduanya menatap Ethan yang berdiri dengan tatapan dingin, berganti menatap ke dalam tapi tidak dapat menjangkau di mana istri baru Ethan. "Ada apa?" tanya Ethan datar. Sophia mendelik, pertanyaan sederhana Ethan seolah tidak terjadi hal besar dan menyakitkan. Membuat hatinya kembali merasa sesak, seolah dirinya benar-benar tidak dianggap sebagai seorang istri meski hanya seujung kuku saja. "Ada apa? Kamu bertanya ada apa, Ethan?" tekan Sophia. "Mana perempuan miskin itu?" hardik Sophia sebelum Ethan bersuara. Suara nyaring Sophia terdengar sampai kamar, di mana Maudy berada dengan air mata yang kembali mengalir. Dirinya terus merutuki takdirnya yang malah membawa ke dalam hubungan orang dewasa yang begitu rumit. Dia masih terlalu muda untuk dijadikan istri ketiga, harusnya dia masih menikmati bagaimana kehidupan remaja. Namun, sedari awal hidupnya memang tidak pernah bisa dia nikmati. Bekerja di tempat yang dianggap dosa, lalu uang gajinya dirampok oleh sang ayah. Belum lagi cacian, pukulan sering dia dapatkan. Meski begitu, sekarang dia berpikir hal itu lebih baik daripada terjebak di tengah kerumitan rumah tangga orang dewasa. "Dia punya nama, jaga ucapanmu!" Suara Ethan terdengar rendah dan dingin, entah mengapa dirinya terusik saat Sophia terus menyebut Maudy gadis miskin, meski yang dikatakan istri pertamanya benar adanya. Bukan hanya Sophia yang tersentak, Emily pun demikian mendengar bagaimana seorang Ethan membela seorang perempuan. Mereka merasa perlakuan Ethan kepada perempuan muda itu sangat berbeda dengan mereka. Lebih lagi, Ethan menikahinya bukan karena bisnis. "Kamu sekarang membelanya? Oh, sejak kapan seorang Ethan peduli dengan orang lain?" sarkas Sophia semakin tidak terima. Ethan sesaat juga tersentak, membenarkan ucapan Sophia. Padahal, biasanya pria itu tak acuh apalagi pada hal yang tidak dianggap penting. "Itu bukan urusanmu," balasnya tidak ingin pusing. "Kalian tunggu di ruang makan, kami akan menyusul. Kita perlu berbicara bersama!" putus Ethan dengan mengusir kedua istrinya. "Ethan, kamu tidak bisa seenaknya begitu saja!" desis Sophia. Namun, Emily langsung menggandengnya sedikit paksa untuk meninggalkan Ethan. "Emily, kamu lihat bagaimana Ethan membela perempuan miskin itu?" Mereka duduk di kursi makan, menatap hidangan makan malam tanpa minat yang telah disiapkan pelayan rumah. Emily menatap kakak madunya, dia tahu kalau yang paling tersakiti adalah Sophia, orang pertama yang mendampingi Ethan. Lalu harus terluka saat kehadirannya. Sekarang kembali terluka saat ada kursi lagi yang datang, terlebih itu dari gadis miskin yang berbeda kelas dengan mereka. Emily tentu saja marah, kecewa kepada Ethan juga perempuan itu. Dia melihat jelas bagaimana perempuan itu ikut terkejut saat mengetahui dirinya menjadi istri ketiga hingga tidak sadarkan diri. Namun, bagi Emily yang baru melihat sekilas tetap menyeret Maudy ikut bersalah karena mengira telah menggoda Ethan lebih dulu. "Tenangkan dirimu, Kak. Kita tidak bisa menghadapi ini dengan kemarahan, yang ada Ethan malah semakin marah dengan kita!" balas Emily setelah mengembalikan akal sehatnya. Dia perempuan, tentu saja cemburu saat miliknya bersama orang lain, makanya dia tetap harus tenang agar tidak ikutan marah seperti Sophia dan berakhir dengan pertengkaran bersama Ethan. Belum sempat membalas, suara langkah kaki terdengar mendekat dan tak lama pasangan pengantin baru itu muncul. Ethan berjalan lebih dulu dengan wajah datar, beberapa langkah di belakangnya ada Maudy dengan penampilan acak-acakan. Mata perempuan itu sembab, wajahnya memerah juga beberapa anak rambut jatuh menutupi sebagian wajahnya. Butuh ancaman dari Ethan agar Maunya beranjak, karena perempuan itu benar-benar kukuh tidak ingin keluar apalagi bertatap muka dengan dua wanita istri Ethan. Namun, mendengar ancaman demi ancaman keluar dari bibir Ethan, Maudy tidak punya pilihan lain dan dengan berat hati mengikuti Ethan. Sampai sana, Maudy juga tetap setia menunduk tanpa berani mengintip bagaimana wajah dua kakak madunya. "Maudy, duduklah!" titah Ethan. Kaki Maudy berjalan perlahan, memilih tempat duduk sedikit jauh dari Ethan bersama dua istrinya karena kebetulan meja kursi makan itu begitu panjang. Dua pasang mata wanita itu terus menyoroti setiap pergerakan Madunya. Sophia dengan tatapan membunuh, lalu Emily dengan tatapan menelisik tanpa bisa dibaca. "Kalian sudah tahu, kan, dia istri saya. Istri ketiga saya, adik madu kalian. Namanya Maudy!" Ethan mulai membuka suara, nadanya datar tapi terdengar tegas tidak ingin dibantah. "Dia juga akan tinggal di sini, kamar utama itu akan dia tempati sekarang," sambungnya semakin membuat amarah dua istrinya naik. "Tidak bisa seperti itu, Ethan! Kami berdua saja tidak pernah kamu izinkan masuk begitu saja, lalu dia datang akan menempati kamar itu?" teriak Sophia. Rasa marah cemburu, semakin membuat tangan Sophia gatal untuk menjambak rambut Maudy. Maudy juga terkejut, ternyata kamar yang dia tempati adalah milik Ethan. Lebih terkejut lagi saat mendengar kalimat Sophia. Bukannya bangga, Maudy malah semakin tertekan seolah bisa diterkam kapan saja oleh wanita yang bernama Sophia dengan tatapan dan mulutnya yang tajam. "Kenapa tidak bisa? Ini rumah saya, saya berhak menentukan apapun di sini. Bagaimana menurut kamu, Emily?" Ethan melempar kata kepada istri keduanya, sejauh yang Ethan tahu, sikap Emily lebih baik daripada Sophia yang sering berteriak. Emily menghela napas yang terasa sesak, dia diam bukan mengalah apalagi terima begitu saja. "Lantas, kamu akan tidur di mana?" Alih-alih menjawab, Emily justru melempar pertanyaan. Bukan tidak mungkin, Ethan akan menetap bersama Maudy, mengingat kamar itu memang milik Ethan. "Aku ingin pulang, tolong," lirih Maudy yang sudah tidak bisa lagi mendengar kata demi kata yang keluar dari tiga orang dewasa di sampingnya. Dia ingin segera pergi dan mengakhiri semuanya. Maudy sudah tidak peduli lagi pada masa depan karena dirinya bukan gadis suci lagi, yang terpenting sekarang dia bisa bebas dari Ethan dan dua istrinya. "Apa itu penting? Seperti biasa, saya akan datang kalau berminat kepada kalian!" jawab Ethan kejam seperti biasa. Pria itu benar-benar tidak memiliki simpati pada dua istrinya, padahal mereka cukup baik dan perhatian kepada Ethan selama ini. Maudy terkejut mendengarnya, kalimat kejam yang membuatnya tanpa sadar menatap tak percaya ke arah Ethan. "Kamu benar-benar laki-laki kurang ajar," umpatnya membuat semua perhatian tertuju kepadanya."Ethan, buka pintunya!" Seruan keras disertai gedoran pintu di kamar utama milik Ethan terdengar nyaring. Sepasang pengantin baru itu sama-sama terlonjak kaget, saat suara penuh kekesalan itu terdengar. Karena belum ada dari mereka yang membuka atau merespon, suara itu terdengar lagi. Tubuh Maudy kembali bergetar ketakutan, sudah terbayang wajah kemarahan di balik pintu itu. Dirinya yang baru saja sedikit tenang, harus kembali menghadapi kemarahan dua istri Ethan. Sekarang yang bisa dia lakukan, duduk sambil menekuk lututnya di sudut ranjang dengan selimut yang menutupi sampai batas lehernya. Pergerakan demi pergerakan Maudy, sedari tadi diperhatikan oleh Ethan. Pria tiga istri itu menatap lekat Maudy yang menunduk sambil menutup mata tak lupa tangannya mencengkram erat ujung selimut. Sedangkan Ethan, duduk dengan tenang di sisi kasur yang lainnya. "Maudy, kemarilah!" pinta Ethan dengan suara rendah. "Tidak, aku mohon. Keluarlah sendiri, setelah itu langsung tutup pintunya," moh
"Apa-apaan kamu, Ethan? Bisa-bisanya kamu menikah lagi tanpa sepengetahuan kita!" bentak seorang wanita dengan terengah-engah. "Kita istri-istri kamu, Ethan. Sudah sepatutnya kamu membicarakan dulu dengan kita. Bukan asal mengambil keputusan, kamu benar-benar menyakiti perasaan kita!""Sophia, dari awal saya sudah pernah bilang kalau saya akan melakukan apapun yang saya mau. Kalian tidak berhak mengatur, meski kalian adalah istri-istri saya!" Ethan membalas dengan dingin, pria itu menatap keduanya seakan menegaskan kembali kalimatnya agar terus diingat.Maudy mendengarnya jelas, dia baru saja tersadar tapi tidak berniat membuka mata. Dirinya pun tidak tahu berada di mana, sekarang yang dia rasakan kalau dirinya tengah berbaring di atas sesuatu yang empuk. Mendengar dirinya menjadi istri ketiga, membuat kesadarannya terenggut hingga jatuh pingsan. Entah berapa lama dirinya tidak sadar, setelah kesadarannya pulih langsung mendengar sesuatu yang kembali membuatnya sesak.Air matanya tida
BAB 5: Istri ke 3"Kamu siap?" tanya Ethan menatap Maudy yang terlihat gelisah.Maudy menggeleng, tentu dirinya belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap. Perjalanan hidupnya saat ini terasa terlalu lucu dan konyol. Menikah dengan pria asing karena insiden satu malam, tidak ada lamaran romantis dan perkenalan dua keluarga. Yang ada malah transaksi jual beli dirinya dari sang ayah yang langsung mematok uang dengan jumlah besar."Kenapa?" tanya Ethan lagi melihat sang istri mudanya menggelengkan kepala. Dalam hati Maudy mengutuk, bisa-bisanya pria yang sekarang berstatus menjadi suami malah bertanya kenapa. Harusnya pria itu tahu kalau dirinya tidak akan siap karena memang semuanya terlalu mendadak dan terpaksa. Parahnya, keluarga dari Ethan belum ada yang tahu. Lalu dirinya tiba-tiba datang berstatus istri dari seorang pria keluarga kaya.Perempuan itu menghela napas besar, membuat kerutan langsung muncul di dahi Ethan. "Aku gak siap dengan semuanya. Bisakah kita tidak usah member
Gaun putih dengan desain mewah tapi elegan melekat sempurna di tubuh Maudy. Wajah gadis itu juga sudah dipoles sempurna dan terlihat semakin cantik. Rambut yang biasanya dikuncir asal, sekarang disanggul indah dengan menyisakan beberapa helai di sisi kiri."Nona, kamu sangat cantik sekali!" puji sang penata rias setelah menyelesaikan semuanya.Mata Maudy menatap dirinya dalam pantulan cermin. Dirinya juga mengagumi sosoknya sekarang juga mengacungi jempol untuk sang perias karena keuletannya. Namun, wajahnya sama sekali tidak mengisyaratkan kebahagiaan, malah air mata kesedihan mulai menetes.Maudy masih tidak percaya kalau dia akan menikah di usianya yang terbilang masih muda. Menikah dengan pria asing, bahkan dirinya pun belum tahu nama pria tersebut apalagi sampai karakter dan kehidupannya. Paksaan dari sang ayah benar-benar tidak mampu membuatnya memiliki pilihan lain. Dia juga masih terus menyalahkan keteledorannya hingga berakhir bersama pria asing itu."Nona, aku tahu kalau per
BAB 3: Paksaan Di dalam ruang tamu yang sempit itu hanya terdengar isakan Maudy. Setelah ucapan asal Ethan, Rafly dengan cepat memperbaiki kalimat sang atasan dan meminta sang tuan rumah mempersilahkan mereka masuk untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka. Sekarang, mereka tengah duduk di kursi kayu dengan bibir yang masih terkunci."Katakan cepat apa tujuan kalian ke sini, kenapa tiba-tiba ingin menikahi anak saya!" sentak Jenkins merasa kesal karena keduanya tidak ada yang bersuara sedari tadi. "Kamu bisa diam gak! Kenapa malah menangis? Cengeng banget jadi perempuan!" Sekarang pria paruh baya itu berganti menyermrot sang anak dengan wajah kesalnya.Ethan memperhatikannya, dalam hatinya mengatakan kalau Jenkins lebih seram aslinya ketimbang foto yang dia dapatkan dari Rafly. Lalu matanya mengarah kepada Maudy yang langsung diam ketakutan. Gadis itu terus menunduk sejak mereka duduk di ruang tamu, matanya seakan enggan untuk menatap Ethan kembali."Saya akan menikahi anak tuan Jen
Rafly merasa bosnya semakin gila, mengatakan akan melamar seorang gadis tapi tidak tahu tentang gadis tersebut. Parahnya, bosnya bukan seorang pria lajang, di rumahnya sudah ada dua wanita yang menemani hidupnya. Sekarang, pria itu kembali mengatakan ingin melamar seseorang lagi.Ethan yang tengah berbicara di rapatnya, matanya sesekali melirik Rafly yang terlihat penuh pikiran. Dia tahu kalau asistennya masih terpikirkan apa yang baru saja dia katakan sebelum pergi ke ruang rapat. Sedangkan, Rafly sama sekali tidak mendengarkan penjelasan rapat karena sibuk dengan pikirannya sendiri."Rafly, jangan lupa catatan rapat hari ini segera kasihkan ke saya dan manajer divisi masing-masing!" titah Ethan seketika membuat Rafly gelagapan.Semua pasang mata mengarah padanya, pria itu hanya meringis menampilkan giginya sembari mengangguk asal. Dia mengumpat karena keteledorannya, lebih memilih memikirkan ucapan atasan anehnya ketimbang fokus rapat di depannya. Seharusnya, dirinya tidak menggubri