MasukMaudy Jenkins, gadis berumur sembilan belas tahun yang bekerja di sebuah club besar ibukota sebagai pelayan harus terlibat insiden salah paham dengan seorang CEO muda. Berawal dari rasa frustasinya, Maudy mencoba ingin merasakan minuman haram itu, tapi sayangnya baru seteguk kesadarannya mulai terenggut sementara dia harus tetap melakukan pekerjaannya. Berjalan sempoyongan sambil membawa pesanan seseorang, tapi sampai di depannya dia menumpahkan gelas berisi minuman mahal memabukkan kepada sang pemesan karena otaknya semakin melemah. Entah bagaimana selanjutnya, tapi saat terbangun Maudy sudah berada di samping pria tampan yang masih terlelap. Dengan perasaan panik dan takut, Maudy menjerit karena jelas dirinya masih gadis dan takut sesuatu yang sudah dijaga rusak begitu saja dalam ketidaksadarannya. Pria di sampingnya terbangun karena teriakan tersebut, matanya menatap tajam Maudy yang sudah sesenggukan karena ketakutan "Kenapa kamu menangis? Harusnya saya yang marah karena kamu terus menggoda saya?" ujar pria tersebut membuat Maudy tersentak. "Apa aku yang menggodamu?" tanyanya sambil terbata. Gadis itu ingat dia mabuk, tapi dirinya tidak ingat selanjutnya apa yang terjadi hingga dia bangun dengan keadaan seperti ini. "Menurut kamu, saya yang menggoda begitu?" sarkas pria itu sambil beranjak. "Meski kamu yang menggoda, tapi saya siap bertanggungjawab. Minggu depan kita akan menikah!" Maudy semakin tercengang mendengarnya, kepalanya menggeleng keras berharap semuanya hanya mimpi belaka. "Aku akan menjadikanmu istri ketiga," sambung sang pria berbisik sendiri tanpa bisa didengar oleh Maudy.
Lihat lebih banyakSepanjang hari Maudy terus menangis, meratapi nasibnya di atas kasur usang tanpa ada ranjang. Kehidupan menyedihkannya semakin mengenaskan setelah pagi tadi dia mendapati tidur di samping seorang pria, meski pria itu bersedia bertanggung jawab. Maudy tidak tahu apa yang terjadi sampai dirinya bisa tidur bersama pria tidak dikenalnya.
Dia mengingat kembali kejadian sebelum akhirnya terjebak bersama seorang pria asing. Dia memaksakan diri untuk minum karena pikirannya begitu kacau setelah pertengkaran dengan ayahnya yang pengangguran. Selanjutnya, dia harus tetap melakukan pekerjaannya sebagai seorang pelayan di club. Matanya terbelalak saat ingat bagaimana dia menumpahkan minuman ke baju pria itu, lalu kesadarannya semakin berkurang. Sedikit demi sedikit bayangan dia menempelkan tubuhnya lekat ke pria itu membuat kepalanya kembali pusing. Meski bingung antara mimpi atau nyata, Maudy sudah ketakutan duluan. Ditambah ucapan pria tadi yang mengatakan kalau dirinyalah yang menggoda terlebih dahulu. "Maudy, bodoh. Harusnya aku tidak meminum minuman haram itu," rutuknya kembali menangis. "Harusnya aku bisa menahan diri. Bukan malah ikutan minum dan berakhir kehilangan ...." Dia berteriak tanpa menyelesaikan kalimatnya. Perasaannya sesak saat tahu sesuatu yang dijaga rusak begitu saja karena kebodohannya sendiri. Meski di zaman sekarang, banyak gadis seusianya yang sudah kehilangan kehormatan malah dijadikan kebutuhan. Namun, tidak bagi Maudy karena dia hanya mempunyai kehormatan itu di hidupnya yang penuh kekurangan. "Tuhan, aku sudah tidak suci lagi. Maafkan aku ...," isaknya merasa penuh dosa. Namun, ada yang aneh dengan dirinya yang tidak merasakan apapun selayaknya hubungan pertama baginya. Dia juga terbangun dengan baju yang lengkap, baju yang sama saat dipakai untuk bekerja. Pikirannya melayang, apakah pria dewasa itu memperlakukannya dengan lembut hingga dia tidak merasakan sakit. "Atau kami tidak melakukan apa pun," gumamnya sedikit secercah harapan. Namun, kepalanya langsung menggeleng kuat. Mustahil seorang pria dan wanita dalam satu ruangan tidak melakukan apapun. Maudy juga ingat jelas bagaimana wajah pria itu. Meski terlihat lebih dewasa, tapi dia tidak memungkiri kalau pria itu terlihat begitu tampan. Garis wajahnya tegas dengan sorot tajam, belum lagi tubuhnya yang berotot tentu saja akan digilai banyak wanita. "Maudy, jangan bodoh lagi. Bisa-bisanya malah membayangkan pria asing itu," rutuk Maudy memukul pelan kepalanya. *** Di tempat lain, sebuah ruangan besar dan elegan, seorang pria duduk di kursi kebesarannya dengan tatapan mengarah pada ponsel yang dipegangnya. Menampilkan wajah seorang gadis yang tengah terlelap, sekarang dirinya merasa gila karena terus-terusan memikirkan dan terbayang gadis muda yang semalam tidur dengannya. Hanya tidur, tidak ada kegiatan apapun yang ditangisi gadis tersebut. Bibirnya tiba-tiba tertarik membentuk senyuman miring saat teringat bagaimana gadis itu menjerit seolah dirinya telah menodai. Awalnya, dirinya memang berniat 'meniduri' gadis itu yang terus menggoda dengan menempelkan tubuhnya. Namun, racauan demi racauan yang keluar dari bibir gadis itu mengurungkan niatnya. Padahal, dia sudah berhasrat sebagai seorang laki-laki normal. Dia memilih mendengarkan dan sedikit terusik mengetahui bagaimana hidup gadis itu. Dia berpikir kalau semua perempuan yang bekerja di club tentu saja sudah bukan seorang gadis lagi. Namun, cerita gadis itu membuat dirinya menebak kalau dia memang benar-benar masih gadis dan terbukti dengan reaksinya saat bangun tadi. "Tuan Ethan, Anda harus segera ke ruang rapat. Semuanya sudah menunggu kedatangan Anda!" tegur sang sekretaris yang datang kembali ke ruangan Ethan. Pria yang usianya tidak jauh dari Ethan itu mendengus kesal karena ini sudah ketiga kalinya dirinya memanggil sang pemimpin untuk ke ruang rapat. Wajah Ethan menatap datar, dia berdiri dengan raut tidak suka. Seharusnya, dia tidak mengadakan rapat hari ini. Namun, jadwal yang sudah dia buat tidak bisa dibatalkan begitu saja. Apalagi dia pemimpin utama di perusahaan yang harus profesional setiap pekerjaan yang dia lakukan untuk perusahaannya. Lagian, Ethan juga merasa aneh dengan dirinya saat ini. Dia sekarang merasa seperti seorang remaja yang tengah kasmaran padahal umurnya tidak muda lagi dan di rumah sudah ada dua wanita yang mendampinginya. Seharusnya, dia tidak memikirkan gadis itu dan sudah berangkat ke ruangan rapat sedari tadi. "Awas, gaji kamu saya potong karena berani mendengus di depan saya!" ujarnya kepada sang asisten yang semakin menampilkan wajah masam. "Oh ya, tolong revisi lagi jadwal saya. Kosongkan buat lusa dan dua Minggu ke depan!" Ethan kembali berbalik dan memberikan perintah kepada sang asisten, Rafly. "Satu lagi, tolong kamu cari tahu tentang gadis bernama Maudy. Kamu juga bantu saya siapkan buat lamaran lusa!" "Lamaran?" tanya Rafly dengan wajah bingung. Kata demi kata yang dia dengar seolah tidak masuk di kepalanya. Terlebih lagi, Ethan mengucapkan dengan santai seolah hanya menyuruh mencari nasi padang. "Iya, lusa saya ingin melamar Maudy. Kamu cari alamat lengkapnya dan tentang gadis itu!" balas Ethan kelewat santai. Mata Rafly membola mendengarnya. "Lamaran? Anda mau menikah lagi?" sahutnya dengan sedikit menaikkan nada. "Lalu, bagaimana dengan...." "Shut!" potong Ethan cepat sambil memberikan isyarat jari telunjuk di bibirnya.Tidak pernah ada bayangan dari seseorang menjadi istri kesekian, semua perempuan pasti menginginkan menjadi satu-satunya untuk seorang suami. Begitu pula Maudy, memikirkan menikah muda saja belum pernah dan tidak berani, apalagi sampai kepikiran menjadi istri kesekian. Tidak ada seorang perempuan pun yang memiliki pikiran demikian.Kehidupannya lucu sekali, untuk berhadapan dengan mertuanya saja, dia ketakutan. Malah sekarang, dirinya harus berhadapan dengan dua orangtua lainnya, tak lain adalah orangtua kakak madunya. Para orangtua, para pengusaha yang bersatu untuk meluaskan usahanya.Jangan ditanya apa yang Maudy rasakan sekarang, tentu semua rasa bercampur dalam perasaan dan pikirannya. Matanya bergerak gelisah selama mobil melaju menuju rumah utama Ethan. Di sampingnya, ada sang suami yang terlihat tenang sekali, berbanding terbalik dengan dirinya.Sedangkan, di depan ada Rafly yang mengemudi dengan wajah santai seperti biasa. Lagian, apa yang harus mereka takutkan, mereka pria k
Hening menyapa ketiga orang yang duduk di sofa ruang tamu apartemen, belum ada yang membuka suara sejak mereka memutuskan untuk pindah duduk. Di sofa single ada Ethan yang menatap tajam dua sosok di hadapannya. Mereka adalah Maudy dan Rafly yang duduk di sofa panjang.Tangan Maudy meremas tangan Rafly yang masih setia di sampingnya. Dia sadar yang dilakukan ini tidak benar, apalagi di depan suaminya sendiri. Namun, Maudy butuh seseorang di sampingnya untuk berbagi perasaan campur aduk yang sekarang dirasakan.Maudy tidak mungkin melakukan demikian dengan Ethan, dia ragu pria itu peduli dengannya. Sedangkan, Rafly telah memberikan kenyamanan layaknya kakak kepada adiknya. Yang dirasakan Maudy juga demikian, dia nyaman dengan Rafly sebagai seorang adik yang butuh perlindungan."Tenanglah, saya nanti akan mengurus masalah ini. Saya akan meminta tuan Jenkins untuk membuat pernyataan kalau apa yang dikatakan tadi tidak benar."Rafly membuka suara karena merasakan tangan Maudy yang masih be
Zaman yang canggih di mana manusia tidak perlu saling bertemu dan berbicara langsung, tapi mereka sudah bisa mengetahui banyak hal. Termasuk hal-hal yang jauh dari jangkauannya. Hanya bermodalkan ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan, semuanya bisa diakses dengan mudah. Tidak perlu menunggu untuk bertemu dan saling bertukar kabar, hanya duduk manis di tempat, semuanya bisa diketahui. Sebenarnya, ini bagus untuk memudahkan komunikasi antar sesama terlebih yang memiliki hubungan jarak jauh dengan orang-orang yang terdekatnya. Namun, ini juga berdampak negatif saat berita yang disebar tidak sesuai, hanya ingin menarik atensi publik. Seorang gadis muda dengan air mata yang masih mengalir, tubuhnya bersandar di pintu apartemen. Matanya menatap nanar pada video yang ditampilkan lewat ponselnya. Setelah menerima telepon dari Rafly, gadis itu gegas berselancar di dunia maya dan video yang baru beberapa saat terjadi sudah meluas dengan cepat. Satu akun yang mempublish, dan banyak aku
Takdir memang lucu, sering mempermainkan hidup seseorang, seolah menguji tapi terlalu sering yang terkadang membuat beberapa orang menjadi putus asa. Banyak orang-orang dengan pikiran pendek, menghadapi takdir yang tidak diinginkan dengan kabur dari dunia dengan memaksakan diri. Rasa lelah karena tak kunjung mendapatkan hal indah.Untung saja, Maudy bukan tipe orang dengan pikiran pendek, meski takdir terus mengujinya. Ayahnya adalah sebuah ujian terbesar baginya, mungkin Maudy hanya berpikir kalau saja dia bukan menjadi anak seorang Jenkins. Hanya pikiran berandai-andai dengan kehidupannya sebagai bentuk protes dan rasa lelah dari takdir yang dijalaninya.Beberapa orang yang mendengar seruan kasar dan tidak bermoral dari Jenkins menjadikan tontonan menarik. Beberapa bibir bahkan sudah membuat ruang terbuka untuk mendiskusikan berita yang sedang berlangsung di depannya. Menunggu momen selanjutnya dari tontonan gratis yang tersaji di parkiran supermarket itu."Dasar anak tidak tahu dir
Istilah manusia bisa merencanakan tapi takdir yang menentukan adalah hal yang sudah jelas dalam kehidupan. Manusia selalu berencana yang terbaik untuknya, dan terkadang melupakan alam juga ikut bekerja. Berharap pada rencananya sendiri, lalu kekecewaan akan dirasakan saat tidak sesuai karena terlalu bergantung pada apa yang diinginkan saja.Pagi menyapa, kebiasaan Maudy yang bangun lebih awal membuat perempuan itu segera bergegas untuk membersihkan diri. Hanya sepuluh menit, dia keluar dengan tubuh yang kedinginan. Saat melihat jam, dia meringis karena waktu masih pukul setengah lima.Kakinya melangkah kembali ke kasur, bermaksud kembali menghangatkan diri di bawah selimut sebentar. Tadinya dia ingin melihat keluar, tapi tubuhnya masih menyesuaikan rasa dingin dan dirinya lupa kalau tidak membawa jaket.Dia bahkan dari kemarin memakai kaos milik Ethan yang kebesaran di tubuhnya. Kalau tahu, Ethan akan mengajaknya ke apartemen, mungkin dia bisa bersiap membawa beberapa helai pakaian. E
Gemerlap bintang, sinar rembulan dan lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan malam ini. Seorang gadis muda, berdiri di pembatas balkon kamar apartemen memandang dengan binar senang. Untuk pertama kalinya, seharian ini dirinya merasakan bagaimana kehidupan manis yang sesungguhnya.Sehari tidak mendengar kalimat negatif, patut dia catat sebagai sejarah. Perasaan tenang dan nyaman membuatnya terlihat lebih cerah dari biasanya. Serta senyuman tipis yang sering dia perlihatkan saat melihat sesuatu yang membuatnya tertarik."Inikah yang dinamakan hidup sesungguhnya?" bisiknya pelan dengan sapuan angin lembut di pipinya."Andai, ketenangan ini bisa terus berlanjut," sambungnya sambil bergumam. Wajahnya mendongak, melihat pemandangan langit yang lebih tenang ketimbang pemandangan di depannya yang tidak kenal lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi pengguna jalan belum juga surut.Berbeda dengan langit yang terlihat terang, hamparan bintang yang berkelap-kelip dan rembulan ya






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen