***Setelah pagi tiba, Kinan melangkah masuk ke dalam kamar pribadi Ludwig dengan langkah ringan, membawa nampan berisi bubur hangat dan segelas air jahe. Dia tersenyum melihat Ludwig yang sudah duduk di kursi, matanya tertuju pada pria itu dengan penuh kehangatan.Ludwig terkejut, tangannya refleks meraih topeng yang selalu menutupi separuh wajahnya. Namun, sebelum dia sempat menyembunyikan diri, Kinan berbicara dengan lembut, "Jangan tutup apa pun dariku, Ludwig. Aku adalah istrimu, ingat? Kita ini sudah menjadi satu sama lainnya, jadi jangan anggap aku ini orang asing bagimu."Ludwig terdiam, matanya menatap Kinan dengan penuh kebingungan. Apa yang membuatnya merasa begitu nyaman untuk menunjukkan wajahnya yang cacat di hadapan Kinan? Apakah mungkin ada seseorang yang tidak akan merasa jijik atau takut melihatnya? Selama ini, bahkan pada Bu Inah yang selalu setia menjaganya, ia tak pernah berani menunjukkan wajahnya yang cacat ini, ia hanya takut Bu Inah takut dan tak mau lagi bek
***Di salah satu sudut kedai kopi yang tenang, aroma kopi yang harum menguar, menciptakan suasana yang nyaman. Kinan duduk sendirian di meja bulat dengan dua kursi, menatap keluar jendela dengan pandangan yang kosong. Tangannya terulur, mengaduk-aduk cangkir kopi yang sudah mulai mendingin di depannya. Dia menunggu kedatangan Patricia, adik kandung Ludwig yang merupakan kunci untuk membuka tabir rahasia yang selama ini menggelayut di sekitar hidup suaminya itu. Ia memang sengaja mengiyakan permintaan Patricia yang ingin bertemu dengannya sore ini.Tiba-tiba, pintu kedai kopi terbuka, dan Patricia melangkah masuk. Senyum ramah terukir di wajahnya begitu dia melihat Kinan. Langkahnya ringan saat dia mendekati meja tempat Kinan duduk."Kinan, maaf aku terlambat," sapanya sambil menjabat tangan Kinan dengan hangat.Kinan tersenyum, "Tidak apa-apa, Patricia. Aku baru saja datang beberapa menit yang lalu."Keduanya duduk bersama, memesan hidangan favorit mereka, tart yang lezat, sambil ber
***Kinan sibuk mempersiapkan meja makan untuk makan malam bersama Ludwig. Dia sengaja menyuruh Bu Inah pulang cepat karena ingin sejenak berduaan dengan Ludwig, tanpa intervensi dari siapapun, juga agar Ludwig lebih leluasa melepaskan topengnya yang selalu ia kenakan. Ia tahu kalau Ludwig sebenarnya tidak nyaman setiap saat memakai topeng.Setelah semua persiapan selesai, Ludwig memasuki ruang makan dengan langkah hati-hati. Dia mengernyitkan keningnya melihat Bu Inah sudah pulang lebih awal dari biasanya."Kenapa Bu Inah pulang cepat?" tanya Ludwig, mencoba mencari alasan di balik keputusan itu.Kinan tersenyum, mencoba menenangkan hati Ludwig, "Aku sengaja menyuruhnya pulang agar kita bisa berduaan, Ludwig. Aku hanya ingin kita menikmati waktu dengan intim."Ludwig terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Kinan meresap ke dalam pikirannya. Dia merasa aneh, seperti ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Kinan seolah tak lagi berjarak dengannya, wanita itu terang-terangan menun
*** Enam bulan telah berlalu sejak Kinan memasuki kehidupan Ludwig. Saat itu, hati Ludwig masih terbungkam dalam kegelapan, tetapi kehadiran Kinan memberikan sedikit sinar ke dalam kehidupannya yang kesepian dan hancur. Kinan tetap setia di samping Ludwig, menjadi sumber kekuatan dan kehangatan bagi pria yang terluka itu. Kehadiran Kinan mengubah segalanya, seperti keajaiban yang tak pernah pria itu bayangkan sama sekali. Saat ini, Ludwig bisa merasakan hatinya sedikit melembut. Dia tidak lagi mengurung dirinya di dalam kamar gelapnya. Udara pagi dan senja yang indah mulai menarik perhatiannya. Kehadiran Kinan mengubah hitam menjadi pelangi. Wanita itu menjadi titik terang dalam kegelapan yang melingkupi Ludwig. Ludwig selalu merasa tenang saat bersama Kinan dan hatinya selalu menghangat saat melihat senyuman wanita itu, senyuman yang meneduhkan sekaligus membunuh kesepiannya yang terpenjara selama ini. Namun, tanpa sepengetahuan siapapun, dalam sebulan
***Kepala Kinan terasa sangat berat saat dia terbangun di tengah malam. Tubuhnya terasa lemas dan tidak karuan. Dengan langkah yang lemah, dia berusaha bangkit dari tempat tidurnya untuk mengambil air minum. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, dunia seakan berputar di sekelilingnya, dan dia merasa akan jatuh.Tiba-tiba, Ludwig muncul dengan cepat dan menangkapnya sebelum jatuh. Kinan menatap Ludwig dengan samar-samar, tersenyum lemah di bibirnya.Ludwig terkejut merasakan panas yang menyelimuti tubuh Kinan. Dia dengan cepat meletakkan tangannya di dahi Kinan, merasa demam yang membakar tubuh wanita itu."Kamu demam, Kinan. Kenapa kamu beranjak dari tempat tidurmu?" tanya Ludwig dengan nada khawatir.Kinan hanya tersenyum lemah. "Aku hanya ingin minum, tenggorakanku terasa terbakar," balasnya dengan suara yang hampir tak terdengar.Tanpa banyak bicara lagi, Ludwig langsung menggendong Kinan seperti pengantin dan membawanya ke kamar
***Kinan terbangun dengan perasaan hangat di dadanya, ia merasa tubuhnya lebih baik dan langsung terkejut menemukan dirinya berada di kamar Ludwig. Dia tersenyum melihat pria itu masih terpejam, hatinya terharu mengingat bagaimana perawatan dan perhatian Ludwig semalam. Tanpa sadar, air matanya mulai menetes, dadanya terasa sesak karena terharu oleh perhatian yang begitu tulus dari Ludwig. Ia lupa bagaimana rasanya ada seseorang yang menjaganya saat sedang sakit, ingatan tentang almarhumah bundanya samar-samar karena terakhir ia dirawat oleh bundanya saat ia masih berusia lima tahun, kali ini ia bisa merasakan kehangatan itu dari sosok yang tak pernah ia bayangkan sama sekali dan hatinya bahagia."Sudahkah kamu bangun, Kinan?" Ludwig membuka matanya dengan perlahan, suaranya terdengar lembut di pagi yang masih gelap.Kinan tersentak, tidak menyangka dia akan ketahuan sedang memperhatikan Ludwig yang masih terlelap. Dia mencoba turun dari tempat tidur dengan hat
***Setelah ia menyelesaikan pekerjaannya dan memerintahkan Rangga untuk mewakilinya rapat dengan para klien. Selama ini, ia memang selalu menyuruh sang asisten untuk mewakilkan karena ia masih benci dengan dunia luar yang selama belasan tahun ini menjadi momok yang menakutkan baginya.Di dalam kamar pribadinya yang sunyi, ia beranjak dari kursunya dan Ludwig berdiri di depan cermin besar, memandang wajahnya yang terpantul di permukaan kaca. Sebagian wajahnya terkena luka bakar yang meninggalkan bekas yang tak terlupakan. Tatapan matanya menerawang jauh, merenung tentang keputusannya untuk membiarkan wajahnya seperti itu."Hatimu memang sangat cantik, Kinan," gumam Ludwig, suaranya dipenuhi dengan keraguan dan keheranan. Bagaimana mungkin Kinan, dengan tatapan hangatnya dan senyum yang menyiratkan kehangatan yang tulus, mampu menenangkan ke dalam hatinya yang penuh dengan luka dan ketakutan? Kinan bahkan tak takut atau meninggalkannya saat melihat wajahnya yang seperti ini.Pikiran L
***Langit pagi mulai terang, menandakan awal dari sebuah hari yang baru. Setelah menunaikan sholat subuh bersama, Kinan dan Ludwig duduk bersila di halaman rumah, memandangi langit yang mulai bersinar.Kinan memperhatikan hamparan kebun kosong di depan mereka. Dengan hati-hati, dia menoleh ke arah Ludwig. "Ludwig, aku ingin mengatakan sesuatu.”Ludwig mengangguk, “Katakan saja.”“Apakah kamu membebaskanku untuk membuat kebun kosong ini menjadi taman bunga? Aku ingin rumah ini semakin hangat jika kita memiliki taman bunga yang indah, apakah kamu setuju dan mengizinkannya?" tanya Kinan dengan pelan.Ludwig terdiam sejenak, matanya berpaling ke arah Kinan. Apakah Kinan benar-benar akan merawat kebun itu dan tidak membuat bunga-bunga itu layu? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelut di benaknya, seolah mencari kepastian dari niat Kinan.Kinan melihat ekspresi ragu di wajah Ludwig, dan dengan mantap ia menjawab, "Aku sangat me