Diana tidak pernah diijinkan memasak oleh mertuanya dengan dalih boros. Gaji suaminya juga sebagian besar masuk ke dompet mertuanya. Namun, Diana dan anaknya tidak mendapatkan perlakuan baik dari mertua dan iparnya. Ketika siang ia dan anaknya hanya diberi sayur sisa atau sayur sop saja tanpa daging. Namun ketika malam, saat suami Diana datang semua makanan enak tersaji diatas meja.Diana dan anaknya tetap tak boleh makan daging dengan dalih siang tadi sudah makan enak, pdahal ia dan anaknya tidak tau menahu soal daging itu. Pada akhirnya Diana murka, ia menunjukkan dirinya yang asli untuk memberi pelajaran pada suami dan keluarganya.selama lima tahun ia sudah mengalah dan sekarang ia tak mau mengalah lagi.
Lihat lebih banyak"Masak apa, Bu?"
"Masak sayur sop, tuh ada di bawah tudung saji," jawab mertuaku cuek, lalu keluar dari dapur.
Sayur sop katanya? Padahal tadi aku mencium bau ayam yang sedang di goreng. Di rumah ini aku memang tak diijinkan memasak, seluruh kebutuhan dapur ibu mertuaku lah yang mengaturnya. Katanya kalau aku yang masak boros dan tak enak dimakan, jadi aku selalu memakan apa yang beliau masak.
Dengan cepat aku mengambil nasi beserta sayur sop yang beliau katakan lalu menghampiri Huda, anak lelakiku yang sudah menunggu di teras rumah. Di rumah ini aku hidup bersama Mas Lukas, ibunya, dan kakak kandung Mas Lukas yang ditinggal suaminya merantau keluar negeri.
"Diana, nanti bilang sama suamimu kalau minyak di rumah habis, ya. Sekalian beli telur dua kilo, habis juga." Ibu berteriak dari dalam rumah, seperti biasa ketika hari sabtu pasti ada saja yang titipan Ibu pada Mas Lukas.
Dan seperti biasa pula beliau selalu minta dibelikan telur ataupun daging, tapi tak sekalipun aku melihatnya memasak bahan makanan itu. Namun, ketika Mas Lukas sampai di rumah, tiba-tiba saja makanan itu sudah tersaji di atas meja makan. Aneh memang, tapi begitulah ibu mertuaku.
Aku hanya mengiyakan apa yang Ibu suruh tanpa banyak bicara lagi karena sejujurnya saja malas berdebat. Lima tahun berada di dekatnya rasanya sudah sangat hafal dengan sifat dan sikapnya. Makanan yang dimasak olehnya, selalu hilang.
..
Pukul lima sore, Mas Lukas sudah datang dengan membawa pesanan yang Ibu minta. Ia tergopoh-gopoh masuk dengan membawa barang belanjaan serta kantong plastik putih berisi makanan untuk Huda.
"Hallo, Sayang. Ini Ayah belikan makanan," kata suamiku dengan mengelus puncak kepala anak kami yang berusia empat tahun.,
Anakku berteriak kegirangan, lalu dengan senang membuka beberapa makanan ringan yang dibelikan oleh ayahnya. Aku yang sedang melipat baju di depan tv hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaanku.
"Bagi! Aku mau ini, ini, sama ini!" Kudengar Bara, anak kakak iparku sedikit keras.
Tak berselang lama Huda menangis, dia berlari ke arahku dengan membawa satu permen di tangannya. "Semua diminta sama Kak Bara, Bu," ucapnya mengadukan perbuatan Bara, kakak keponakannya.
Aku menatap tajam Bara yang sedang mengunyah makanan yang ia rebut dari Huda. Tanpa rasa bersalah, anak berusia tujuh tahun itu justru menjulurkan lidah kepada kami.
"Kakak, dibagi dong makanannya. Kan ayahnya Huda beli empat, kenapa diambil tiga?"
"Enggak! Aku mau ini semua!"
Huda semakin histeris ketika Bara mengatakan demikian. Aku berusaha menenangkan, tapi Huda tak kunjung diam. Memang bukan kali pertama seperti ini, tapi rasanya aku sangat jengkel dengan perilaku anak dari kakak iparku itu.
Biasanya jika seperti ini, Mbak Rita akan membela anaknya dan justru menyalahkan anakku yang terlalu pelit kayanya. Padahal Bara tak pernah mau berbagi dengan Huda jika dia yang punya terlebih dahulu.
"Ada apa, Huda? Kenapa menangis?" Mas Lukas keluar kamar, dia menghampiri anaknya yang masih menangis.
Dengan tersedu anak kecil itu menceritakan apa yang baru saja dialami, dan bukannya menenangkan anaknya dia justru menatapku. "Diana, seharusnya kamu mengajarkannya arti berbagi. Jangan seperti ini. Sudah, nanti kita beli lagi, Huda."
Aku? Tidak mengajarkan arti berbagi? Lalu apa yang baru saja kuucapkan baru saja? Mas Lukas memang begitu, dia tak mau keributan terjadi dan lebih memilih menyalahkanku.
..
Malam harinya ketika kami sedang makan malam, seperti biasa Ibu hanya akan mengeluarkan empat potong lauk di atas meja. Satu untuknya, satu untuk Mbak Rika, satu untuk Bara, dan satu untuk suamiku, Mas Lukas.
"Ibu, Huda mau ayam goreng."
"Ehh, bukannya dari pagi kamu udah makan? Sekarang giliran yang lain!" jawab Ibu spontan ketika anakku merengek minta ayam goreng yang ada di meja.
Anak kecil itu hanya menatapku, dia merasa tak makan ayam goreng tapi selalu saja begitu kata-kata yang Ibu lontarkan ketika di meja makan. Anak sekecil itu mana mungkin bisa berontak, sedangkan aku juga hanya bisa pasrah karena tak mampu melawan ibu mertuaku sendiri. Mas Lukas akan marah jika aku berkata kasar sedikit saja pada ibunya.
"Diana, kamu ajari anakmu itu ya, jangan serakah! Kamu juga," tutur Ibu ketus, seolah-olah kami lah yang menghabiskan ayam goreng itu, padahal sedikitpun kami tak mencicipi makanan itu.
Aku hanya diam, selama hampir lima tahun begitulah sikap dan perilaku Ibu kepadaku. Makanannya akan selalu hilang saat siang hari, dan ketika malam akan terhidang dengan jumlah yang sedikit. Katanya aku tidak boleh makan karena saat siang sudah makan, padahal ketika siang hanya ada sayur atau bahkan kadang tak ada lauk apapun.
"Ibu ... Aku mau ayam goreng!" rengek Huda lagi memecah konsentrasiku.
"Iya, besok masak lagi, ya," bujukku dengan mengambilkan sayur sop ke dalam piringnya.
"Tidak. Aku mau sekarang. Aku mau ayam goreng, Ibuuu ...." Huda kembali menangis, membuat suasana makan malam menjadi kacau.
"Makan punya Ayah saja, Huda. Ini untuk jagoan Ayah," kata Mas Lukas dengan memberikan jatah ayam gorengnya pada si kecil.
Namun, dengan secepat kilat Ibu mengambilnya lagi dan mengembangkannya pada piring Mas Lukas. "Jangan kebiasaan dimanja, Lukas. Biarkan dia menangis. Cepat makan bagianmu, sejak pagi dia sudah makan ayam," tandas Ibu dengan penuh penekanan, seperti kami benar-benar telah memakannya.
Aku menatap Ibu dan Mas Lukas secara bergantian. Di rumah ini aku merasa benar-benar dibedakan. Tak hanya aku, begitu juga dengan Huda. Padahal Huda adalah darah daging Mas Lukas sendiri.
Mbak Rita dengan lahapnya memakan jatah makananya, sedikitpun tak memperdulikan teriakan Huda. Dan hal itu membuatku semakin tersulut emosi, karena dia juga tak berbeda jauh dengan ibunya.
Dengan sigap aku mengambil ponsel, lalu memesan sekotak ayam goreng dari restoran cepat saji untuk Huda. Rasa-rasanya sudah cukup aku mengalah selama ini.
"Lho, memangnya kamu ada uang, Dek? Kan aku belum kasih ke kamu gajian minggu ini?" tanya Mas Lukas terheran ketika aku menekan tombol pesan di layar ponselku.
Judul : Masakan MertuaDadaku bergemuruh saat taksi online yang kutumpangi berputar arah sesuai alamat yang kuberikan. Pak Nias tak mungkin bohong kepadaku, terlebih soal seperti ini.Kuremas ujung bajuku, rasanya hatiku teramat sakit. Ada saja ujian dalam hidupku. Padahal aku baru saja hendak merasakan kebahagiaan. Semoga saja, ini bukan masalah yang berarti.Setelah beberapa saat akhirnya kendaraan yang kutumpangi sampai di kedai. Nampak beberapa orang lalu lalang, ada juga yang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya beberapa dari mereka mengambil gambar atau video.Aku melirik Huda. Bahkan aku lupa jika ada anak kecil bersamaku. Rasanya tak aman jika aku membiarkan anakku ini ikut turun bersamaku."Pak, tolong jaga anak saya. Berapa tagihannya nanti akan saya bayar. Sekarang biarkan saya menyelesaikan masalah di depan sana," tuturku sebelum turun dan meninggalkan Huda.Beruntung, aku mendapat seorang sopir yang sangat baik dan anakku pun bukan tipe anak yang suka membangkang. Huda sangat mengerti keadaan ibu
Pada akhirnya Mas Lukas berjalan mendekati kamar Mbak Rita dan mengetuknya. Sedangkan aku hanya duduk di ruang tamu sendirian, karena Huda sudah asik bermain dengan Bara. Lama tak jumpa membuat Huda dan Bara saling rindu.Rumah ini tak banyak berubah setelah aku keluar dari sini. Hanya saja jika mau mengakui memang sedikit berantakan daripada dulu ketika aku masih tinggal di sini. Mungkin Ibu ataupun Mbak Rita tak punya cukup waktu untuk membersihkan rumah, atau bagaimana aku juga tak tahu.Kuambil ponselku, memeriksa beberapa pesan Pak Nias yang masuk dan belum sempat kubalas. Usaha yang kudirikan atas bimbingan Pak Nias kini berjalan sangat pesat. Bahkan aku sudah hampir mengembalikan modal awal ketika membuka usaha itu.Sedikit banyaknya aku bisa bernafas lega karena kini satu persatu masalah dan hal-hal yang mempersulit hidupku selesai satu persatu. Semoga saja, ini merupakan akhir dari penderitaanku kemarin. Sekarang aku benar-benar hanya ingin fokus pada kebahagiaanku dan Huda.
Pov Rita II"Rita, makan dulu. Jangan siksa dirimu dengan mengurung diri di kamar. Kasian Bara," ucap Ibu dari luar kamar, tapi sedikitpun aku tak menanggapinya.Sejak kepulangan Mas Irwan kemarin, aku masih saja mengurung diri di dalam kamar. Rasanya duniaku seperti runtuh. Harapan dan angan-angan yang kubayangkan selama ini harus kandas begitu saja.Semua yang kuimpikan sejak dulu harus hilang dan sia-sia. Mas Irwan, suami yang kubanggakan nyatanya bisa bersikap demikian. Dia tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Aku pikir kepergiannya keluar negeri memang murni karena ingin mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Nyatanya aku salah, kepulangannya justru menjadi bencana bagiku.Rumah mewah, kendaraan pribadi, hal itulah yang menjadi angan-anganku beberapa tahun belakangan ini. Semua sudah hampir terwujud, bahkan aku sampai mengosongkan perutku agar tabunganku semakin banyak. Namun ternyata, semua itu justru dirampas kembali oleh Mas Irwan dengan mudah. Dan lebih parahnya lagi
Pov Rita[Besok aku akan pulang, tolong siapkan semua tabunganku]Kedua mataku menyipit, Mas Irwan pulang? Bukankah kontraknya masih setahun lagi? Dan kenapa dia bicara soal tabungan. Tabungannya dia bilang?[Kamu bercanda, Mas?][Tidak. Aku serius. Tunggu aku di rumah]Meskipun ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, tapi aku berusaha berfikir positif. Mungkin Mas Irwan ingin memberiku kejutan.Ah, suamiku itu memang paling bisa membuatku bahagia. Meskipun kami dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, tapi dia selalu membuatku bahagia setiap waktu. Mas Irwan adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal, dia selalu memanjakanku dan membuatku bahagia.[Tapi, bukankah kontrakmu masih setahun lagi, Mas?]Pesanku tak lantas di balas, mungkin ia sedang sibuk di luar negeri sana. Lagipula sudah bisa berhubungan dengannya saja aku sangat bersyukur.Beruntung, dijaman sekarang ini sudah sangat canggih sehingga beda negara pun kami masih bisa saling mengirimkan kabar. Meskipun aku tinggal jauh,
"Mas Irwan?"Aku mengangguk ketika Mas Lukas mengulangi kata-kataku. "Iya, Mas Irwan. Awalnya aku tak sengaja menabrak wanita hamil, dan ternyata itu adalah istri muda Mas Irwan. Dia membawa wanita itu pergi, tapi tak berselang lama ketika aku di toko buah Mas Irwan mendatangiku lagi," terangku, kali ini aku menatapnya.Wajah Mas Lukas terlihat marah. Wajar saja, adik mana yang tak marah ketika melihat kakaknya menderita. Meskipun mungkin itu semua adalah karma atas apa yang sudah dilakukan Mbak Rita selama ini."Lalu? Apa yang dia perbuat? Jika aku bertemu dengannya, rasanya ingin sekali kupenggal kepalanya." Nada bicara Mas Lukas penuh amarah, sepertinya dia benar-benar benci dengan lelaki yang menjadi iparnya itu.Aku menghela nafas panjang mendengar penuturan Mas Lukas. "Tidak usah seperti itu. Toh kamu sendiri juga belum sepenuhnya sempurna menjadi seorang imam. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, kan?"Mas Lukas menundukkan kepalanya, sepertinya dia menyada
Pada akhirnya aku membiarkan ibu mertuaku dan Mas Lukas pergi dari kediamanku. Kami telah setuju jika masalah ini akan diselesaikan oleh Mas Lukas selaku adik dari Mbak Rita. Lagipula aku juga tidak tahu harus berbuat apa di sana nanti, terlebih Mbak Rita tidak pernah bersikap baik kepadaku.Aku menatap iba pada ibu mertuaku yang sudah naik ke atas motor Mas Lukas. Meskipun dulu beliau sempat berbuat yang tak baik kepadaku, tapi bagaimanapun juga dia tetap lah seorang ibu dari lelaki yang saat ini hidup denganku.Sebisa mungkin rasa benci dan sakit hatiku terhadapnya kuhapus karena aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri dengan memendam penyakit dalam hati. Biarlah, kuserahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.Saat motor Mas Lukas telah tak terlihat olehku, aku baru tersadar jika hari ini semua kebutuhan rumah sudah habis. Mau tak mau aku harus ke pasar bersama Huda tentunya, karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah.Gegas aku bersiap-siap, dan mengajak Huda ke pas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen