"Kau bercanda?!" Lucas mengalihkan tatapan kepada Chiara yang masih berdiri di dekatnya.Chiara mengangkat kedua bahunya. "Tidak, aku serius. Tinggal kau tanda tangani di bawah sana dan—""Dan apa?!" tohok Lucas langsung setengah geram. Matanya menatap nyalang seakan mengunci tiap gerakan Chiara.Menyaksikan keduanya membuat Albert penasaran dan sedikit mencondongkan tubuh demi mengintip apa yang diberikan Chiara kepada Lucas. Ia cukup terkejut juga begitu membaca kop judul paling atas.[Surat Perjanjian untuk Pemutusan Kontrak.]Chiara menarik napas satu kali, lalu mendesah kesal. Pasalnya Lucas tak segera to the point untuk menandatangani surat tersebut."Tolong, Lucas. Jangan mengulur waktu lagi. Aku tidak suka.""Aku lebih tidak suka lagi kalau kau bersikap gegabah dan seenaknya sendiri!" sembur Lucas tajam. Ia tak habis pikir kenapa wanita itu bersikeras untuk segera mengakhiri kontrak mereka. Padahal ia baru saja memulai permainan yang diajukan kedua orang tuanya.Chiara merengu
Sekilas ada raut wajah tegang di wajah Franklin. Setidaknya Lucas yakin itu.Sebelum dapat menilainya lebih lanjut, Franklin mengembangkan senyumnya lebar lalu menarik Lucas ke dalam pelukannya."Akhirnya kita ketemu juga ya, Lucas," ungkapnya sambil menepuk-nepuk punggungnya. Lucas membalasnya dengan senyum meski pria bermata cokelat itu tak mengetahuinya."Iya. Senang bertemu dengan Anda," sahut Lucas.Mata Franklin sempat melirik Albert di tempatnya, kemudian mengurai peluk dari badan Lucas. Senyumnya kembali mekar sewaktu menatap Albert, lebih tepatnya meneliti pria itu."Oh iya, apakah dia asistenmu? Siapa namamu, Nak?" Franklin mengulurkan tangan untuk Albert. Albert pun menyambutnya dengan segan."Kau benar. Dia memang asisten pribadi saya," celetuk Lucas."Nama saya Albert, Tuan." Albert ikut menimpali.Kemudian ekspresi Franklin berubah menjadi rasa terkejut lain yang lebih membanggakan. Padahal menurutnya Albert tadi sangat mirip dengan orang itu. Ia pikir Albert mungkin saj
Sontak Lucas langsung bangkit berdiri, lantas menuntun langkahnya pergi. Gerakannya yang kacau menimbulkan beberapa perhatian. Tak terkecuali Robert dan Franklin yang sedang berada di meja yang berbeda.Albert kebingungan. Meski begitu ia tetap berdiri dan mengikuti jejak Lucas. Pasti ada sesuatu yang lebih urgent terjadi, batinnya. Mereka berdua berlari keluar di tengah gempuran banyak pasang mata yang berspekulasi di pikiran masing-masing.Lucas menggiring kakinya cepat lalu masuk ke dalam jok penumpang depan. Albert mengekor dan melakukan hal yang sama di jok pengemudi. Sambil tangannya tangkas melajukan mobil, Albert menoleh sekilas dan hendak bertanya. Namun Lucas menyahutnya lebih dulu."Kita ke mansion dulu, Albert. Chiara pingsan," ungkapnya cemas. Albert terkesiap, kemudian mempercepat laju mobilnya.Mobil Lucas berderum kencang memecah barisan kendaraan di depannya. Albert mengemudikan dengan kencang sambil menyalip sejumlah kendaraan di hadapan mereka.Setiba di mansion, Lu
"Lala…" Suara rendah Lucas semakin mengalun jelas di indra pendengar Chiara.Alis Chiara tertaut sempurna. Lantas rasa bahagia barusan berubah cepat menjadi dongkol. Chiara membuang muka kecewa. Ternyata apa yang dikatakan suara hatinya benar. Selama ini pria itu hanya memperlakukan dirinya baik karena wajahnya mirip Lala.Chiara membuang napas kasar. Lagi-lagi soal Lala!Lucas kemudian terbangun. Wajahnya kini pucat pasi. Tak terasa air matanya sudah merembes. Melihat Chiara sudah membuka mata membuat Lucas segera mengenyahkan jejak air mata dari pipinya. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. Mimpi yang sama berulang-ulang selama tujuh belas tahun terakhir."Sejak kapan kau bangun?" desah Lucas kepada Chiara yang menekuk wajahnya. Chiara tak bisa menahan kekesalannya kepada pria itu. Bahkan telah menumpuk."Sejak kau menyebut nama Lala lagi," ketusnya.Lucas hanya menghela napas panjang. Ia tak ingin membahas Lala bersama Chiara sekarang. Terlebih setelah melihat wajah wanita itu kusut."
Pria paruh baya di depannya terhenyak. Kedua mata yang mulai disambangi keriput memandang Robert dengan tatapan penuh keraguan. Ia jadi teringat mengenai perbuatan yang sama dilakukan oleh sosok pimpinan perusahaan lain dua puluh tahun lalu kepada sebuah keluarga kecil yang harmonis."Bagaimana?" desak Robert lagi memastikan.Sang dokter menunduk, kemudian mengeluarkan semua unek-uneknya. "Maaf, Tuan, terakhir kali ada orang yang menyuruh saya. Saya selalu dihantui perasaan bersalah mengenai korbannya itu."Robert tertawa keras. Bahkan sampai matanya berkaca-kaca."Isaac. Korbanmu itu sudah mati sekarang. Apalagi yang perlu kau takutkan, huh?"Si dokter mulai mengangkat kepala. Menatap Robert dengan keheranan. Apa yang lucu dari masa lalu itu? Sekali-kali ia tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Padahal keluarga itu terkenal baik, dermawan. Sangat berbeda jauh dengan keluarga Knight."Maaf, Tuan. Saya tidak bisa," tegasnya kemudian.Ada kerutan halus di dahi Robert sekilas
Lucas menurunkan tablet di depannya, lantas mendongak. Ia langsung bangkit dari duduknya demi menyambut pria berkulit putih pucat itu. Bagaimanapun Lucas segan karena dokter Isaac sudah lama melayani keluarganya."Silakan, kau bisa makan bersama kami dulu di sini," ajak Lucas menunjuk meja makannya yang sudah terhidang banyak makanan."Oh, tidak usah, Tuan. Saya kemari hanya bertanggung jawab untuk memeriksa Nona Chiara, bukan makan," selorohnya tertawa."Jangan begitu. Ayolah, makan bersama kami dulu. Chiara pasti sedang makan juga."Isaac tampak menimbang-nimbang sekilas, kemudian menuruti ajakan Lucas. Ia menggiring kaki dan menarik salah satu kursi tepat di depan Lucas.Setelah melihat sekilas beberapa makanan di depannya, ia tak sengaja bertemu pandang dengan Albert. Isaac sempat terpaku selama beberapa detik. Sementara Albert langsung mengulas senyum dan mengajak Isaac untuk segera mengambil makanan. Isaac membalasnya dengan senyum simpul, kemudian ikut makan bersama mereka.Sel
Chiara yang sedang duduk di tepi jendela menoleh. Menangkap raut wajah merah padam pada Lucas. Pria itu menatap tajam ke arah buket bunga mawar segar yang bertengger di atas nakas. Seketika Chiara panik.Lucas mengatupkan rahangnya. Menggiring kaki lantas menyahut secara kasar bunga mawar merah itu. Tatapan tajamnya beralih kepada Chiara."Siapa yang kemari?! Dari mana ini?!" Lucas mencengkeram erat buket itu dengan melempar tatapan nyalang.Chiara yang pucat menggigit bibir bawahnya. Mencari-cari alasan agar Lucas tak marah. Apalagi kalau tahu buket bunga tersebut berasal dari Zyan."Jangan diam saja! Jawab!" Lucas melangkahkan kaki mendekat."Itu dari Zyan," jawab cepat Chiara. Lucas langsung termenung."Bagaimana bisa dia masuk kemari?""Aku tidak tahu, Lucas." Chiara menggeleng pasrah.Lucas menggertakkan gigi. Kakinya berderap menuju pintu kaca yang terhubung dengan balkon kamar Chiara. Ia membuka pintu itu, membuat Chiara terjingkat lalu mengikuti jejak Lucas dengan cemas.Mula-
Dada Albert mulai sesak karena ditekan dengan kaki si pelaku. Kaki pria itu sekarang menukik tajam menusuk punggungnya. Sementara kedua tangannya ditarik keras ke belakang.Albert mengerang, namun hal itu justru membuat tenaga lawan lebih besar."Ayo jawab! Kenapa kau ke rumahku!""Biarkan aku bicara dulu," desis Albert di tengah rasa yang menyiksanya."Kau pikir aku bodoh?! Kalau aku lengah kau pasti akan menyerangku. Iya kan!""Aku tidak akan menyerangmu." Albert memang tak akan menyerang pria itu sebelum ia sendiri tahu siapa dalang kejadian dua puluh tahun lalu."Dari awal aku sudah curiga padamu!" pekik Chen Ze di sela dengusan napasnya.Albert meringis kesakitan. Wajahnya sudah merah padam. "Lepaskan aku!"Lalu Chen Ze menuruti permintaan Albert. Tangan Albert ditarik sampai badannya terpaksa mendongak, lantas dalam posisi bersimpuh. Albert melihat Chen Ze di depannya tengah menyeringai. Ternyata pria itu mempunyai dua preman yang bekerja untuknya. Satu memegang tangan kanan, sa