"H-hamil?" Satu kata yang hanya muncul dari bibir Rania, sebelum Tama mulai menjalankan tugasnya sebagai suami yang perkasa.Keduanya pun memutuskan untuk tak lagi saling bicara dan mulai tenggelam dalam kenikmatan. Hingga tanpa sadar matahari makin meninggi dan mereka yang semalaman tidak tidur, seketika terkapar di atas ranjang dengan nafas tersengal."Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku hamil?" tanya Rania, sembari berbaring di sebelah Tama."Apakah salah?"Rania menggeleng. "Tapi … itu jelas bukan dirimu. Sejak awal menikah, kamu selalu bilang bahwa tidak ingin memiliki anak,"Tama bergerak mendekati Rania. Dia menumpukan salah satu sikunya demi bisa berhadapan dekat dengan wajah Rania."Turuti saja perkataanku dan jangan membantah," tandas Tama dengan suara berat. "Jangan lagi bertanya soal ini,"Pria itu bangkit dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi. Sementara Rania masih berbaring dengan sejuta tanya. Meskip
Bola mata Vinko melebar sempurna setelah mendengar pertanyaan mengejutkan itu dari Rania. Dia tidak pernah membayangkan pertanyaan itu akan muncul saat ini. Setidaknya meski dia berharap Rania membalas perasaannya, Vinko tidak pernah ingin secepat ini."Aku hanya bercanda!" celetuk Rania tiba-tiba. Wanita itu tertawa keras, menertawai wajah Vinko yang terlanjur tegang.Vinko masih terbujur kaku dan tak mau ikut tertawa. Dia sudah terlanjur menganggap semuanya serius hingga rela memutar otak demi merencanakan langkah selanjutnya. Tapi diluar dugaan Rania justru sampai hati menertawainya.Vinko menelan ludah demi menahan emosinya. "Bu Rania menertawaiku?" tanyanya dengan suara parau.Rania masih tertawa. Namun saat melihat wajah Vinko yang berubah lebih serius dengan rahang mengeras, mau tak mau Rania harus menghentikan tawanya."Aku tidak mungkin menyuruhmu melakukannya," jawab Rania. "Masa depanmu masih jauh,""Aku tahu Ibu hanya
Dokter Ilham diam sejenak. Yang dia lakukan hanyalah terus memandangi Rania dengan sejuta tanya. Dokter Ilham sudah bekerja sejak 20 tahun lalu, bahkan sebelum Rania masuk ke dalam keluarga Hadi. Meskipun tidak terlalu sering menangani anggota keluarga Hadi, namun Dokter Ilham adalah dokter yang menangani kelahiran Vinko. Menjadi salah satu saksi saat Nita berjuang sendirian melahirkan anaknya tanpa didampingi Tuan Hadi."Saya belum siap memiliki anak dengannya," ungkap Rania, karena sadar Dokter Ilham mulai curiga. "Dokter tentu tahu seperti apa Tama,"Dokter Ilham tanpa sadar mengangguk. "Sebenarnya saat Tuan Tama meminta saya memasang alat itu pada anda, saya sedikit menyayangkan. Usia anda masih sangat muda,""Saya masih ingin mempertahankan alat ini, Dok," Rania mengelus perutnya bagian bawah.Setelah cukup lama berpikir, Dokter Ilham menghela nafas. "Baiklah, jika itu keputusan Nyonya. Kalau begitu, mari kita periksa dulu posisinya,"
Hingga sampai aktivitas ranjang mereka selesai, Tama tidak juga menjawab pertanyaan terakhir Rania itu. Membuat Rania semakin yakin bahwa ucapan Vinko memang benar. Tama sengaja ingin cepat-cepat punya anak agar Tuan Hadi tidak memberikan separuh bisnisnya pada Vinko."Besok aku harus ke kampus, jadi sepertinya kita pulang saja," ajak Rania setelah membersihkan diri.Tama duduk bersandar di atas ranjang sembari menyeruput segelas kopi dan mengecek pekerjaannya. "Aku sudah menyuruh Arif membawakan baju ganti untukmu," sahut Tama tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.Rania menggigit bibir. Segala pendapatnya sama sekali tak didengar oleh Tama, bahkan untuk sepele. Meskipun hatinya menyimpan rasa kesal, namun Rania tak bisa berbuat banyak. Dia pun memilih mengistirahatkan badannya di sofa panjang yang letaknya tepat di depan ranjang besar hotel mewah itu."Aku hanya akan bersamamu sampai kupastikan kamu benar-benar hamil," ujar Tama setelah sekian menit keheningan meliputi me
Tama menatap lurus ke arah Rania dengan ekspresi tajam yang sulit disembunyikan. Dia bisa melihat Rania dengan wajah cemas, dan dia bisa merasakan ketidaknyamanan dalam diri Rania."Rania," Tama mulai dengan suara yang dingin, "Apa yang membuatmu pulang ke rumah?"Rania mencoba bersikap wajar, tetapi dia tahu bahwa sikap wajarnya tidak akan menghilangkan kecurigaan Tama. "Aku tidak bisa tidur sendirian di sana,""Kamu tahu kan, aku pasti kembali,""Tapi kamu sudah terlalu lama," kilah Rania berusaha tetap membela diri.Tama menatap Rania sejenak, seolah-olah dia mencari tanda-tanda kebohongan. Namun, kali ini dia tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.Sejenak ketegangan itu berlalu, dan Tama akhirnya bergerak pergi. "Aku pergi sebentar," katanya tanpa menjelaskan tujuannya.Rania merasa bingung, tetapi dia merasa ada kelegaan karena Tama tidak terlihat marah atau mengintimidasi seperti biasanya. Namun, dia masih merasa ragu tentang apa yang sebenarnya terjadi.Beberapa saat kemudia
Seharian yang dilakukan Rania hanyalah di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Meskipun dia berdua bersama Tama di dalam rumah besar itu, tak ada satupun yang mau membuka suara. Rania masih cukup emosi dengan sikap Tama yang sangat berkuasa padanya, hingga tak memberi Rania izin untuk keluar dari rumah itu.Dalam usaha untuk mengatasi kejenuhan, Rania memutuskan untuk mengambil langkah kecil dengan merapikan ruang gantinya. Saat dia berjalan masuk, atmosfer ruangan itu terasa berbeda–bau wangi parfum dan tumpukan pakaian dengan berbagai merek mewah pemberian Tama. Rania melihat sekeliling, seakan ruangan ini mencerminkan perasaannya yang rumit. Di salah satu sudut, dia melihat baju-baju yang masih tergantung rapi, tetapi di sisi lain, pakaian terlipat acak di atas kursi. Semuanya seperti perumpamaan atas kehidupannya yang penuh kontradiksi.Setelah mengambil nafas dalam, Rania mulai menata ulang. Dia memilah-milah pakaian dengan hati-hati, mengelompokkannya berdasarkan warna dan tipe. Set
Rania tersenyum bahagia, serasa ada sinar hangat yang menyelimuti hatinya. Perasaan aman dan dicintai yang begitu kuat, membuatnya hampir tak percaya. Tidak pernah dalam hidup dia merasa ada seseorang yang begitu peduli dan mengkhawatirkan keselamatannya."Terimakasih karena sudah mencemaskanku, Vin," ucap Rania tulus.Sejak kecil, Rania terbiasa berjuang dengan kerasnya hidup. Dia sering harus menghadapi rintangan tanpa bantuan siapapun, dan itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Namun, hadirnya Vinko merubah segalanya. Rania merasakan kehangatan yang dulu belum pernah dia rasakan sebelumnya.Vinko menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia cukup tersanjung dengan ucapan terimakasih itu, tak menyangka kata-kata manis itu akan keluar dari mulut Rania."Kamu belum mengganti namaku di kontakmu, kan?" tanya Vinko berusaha mencairkan suasana.Rania seketika merengut. "Hampir saja aku dihabisi Tama karena nama itu," geramnya. "Lain kali jangan kasih nam
Mereka duduk bersama di dalam mobil, menuju kantor Tama. Namun, suasana menjadi tegang sejak Laura mengungkapkan perasaannya barusan. Arif merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Laura setelah pengakuan itu. Apalagi tidak hanya didengar olehnya, ada Rania yang kini ikut tercengang dengan mulut menganga kaget.Mata Arif terfokus pada jalanan di depan, sambil mencoba memikirkan cara yang tepat untuk merespon. Dia merasakan pandangan Laura tertuju padanya, menunggu responnya. Dan Rania yang duduk di kursi belakang, diam-diam memperhatikan situasi.Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, Arif akhirnya mengambil nafas dalam-dalam. "Laura, aku–" Nafas Arif tercekat hingga dia berhenti sejenak. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai kejujuranmu, tapi ini adalah sesuatu yang sangat tiba-tiba,"Laura mengangguk, wajahnya tampak tegang. "Aku mengerti. Aku tidak bermaksud membuatmu bingung," ucapnya sembari tertawa. Namun tawa itu terdengar kaku