Share

Memastikan

"Bagaimana mungkin…."

Elang tidak dapat meneruskan ucapannya.

Dia terlalu syok dengan apa yang dia lihat saat ini.

Di sana, di antara orang yang mencari rejeki di sekitar lampu merah, sosok wanita yang memiliki wajah sama persis dengan almarhumah istrinya sedang berjualan donat.

Detak jantung Elang semakin kencang kala “Ayana” mendekat ke arah mobilnya dan menawarkan dagangan kepada para pengemudi mobil lainnya.

Elang memilih tidak membuka kaca mobilnya. Meski demikian, pria itu juga sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari gerak-gerik wanita itu.

Tin!

Suara klakson yang cukup keras sontak menyadarkan Elang dari lamunannya.

Terlebih, mobil lain yang ada di belakang mobilnya, mulai membunyikan klakson, hingga keadaan menjadi bising.

Pria itu segera mengangkat rem tangan dan melajukan mobilnya kembali.

Namun, pikirannya masih tertuju pada wanita di lampu merah tadi. Bahkan ketika sudah sampai di lokasi yang diberitahukan ibunya, Elang masih memikirkannya.

Sekian lama Elang menjadi duda dan bertemu banyak wanita, baru kali ini hatinya kembali bergetar.

Jadi, Elang melakukan hal yang tak pernah ia lakukan.

Mendadak, ia memutuskan kembali ke lampu merah–tak peduli jika wanita yang sedang menunggu kedatangan Elang begitu tak sabar untuk bertemu dengannya.

Sesampainya di sana, pria itu menepikan mobilnya di tempat yang bisa memantau para pedagang.

Seketika Elang merasa lega kala dirinya melihat sosok wanita yang telah mengusik pikirannya sejak beberapa saat yang lalu.

Perlahan, ia pun keluar dari mobil dan menghampirinya. "Berapa harga donatnya?" tanyanya ketika wanita itu duduk di tepi trotoar.

Wanita yang sedang menghitung lembaran uang dari hasil jualannya sontak mendongak. Awalnya, keningnya berkerut saat menatap pria berdasi berdiri di hadapannya. Namun saat mengingat pria tadi menanyakan harga barang jualannya, wajah wanita itu langsung berubah sumringah.

"Apa Anda ingin membeli donat kampung? Satu bungkusnya hanya lima ribu, Tuan," jawabnya sembari tersenyum sopan, “donatnya empuk dan cocok dengan gula tabur ini.”

Hanya saja, Elang justru terdiam. Seketika, wanita penjual donat itu merasa bingung. "Tuan... Kenapa malah diam? Apa Anda ingin membeli donat saya?"

Elang sontak tersadar dari lamunannya.

Dia berusaha sebisa mungkin mengatasi kegugupan yang melanda benaknya. "Iya, saya mau membelinya. Berapa harganya tadi?"

Wanita itu kembali tersenyum. "Satu bungkusnya lima ribu, Tuan mau beli berapa?"

"Ya, sudah. Kalau begitu, aku beli semuanya."

Wanita itu melebarkan matanya tak percaya. "Yang benar, Tuan? Tuan mau membeli semuanya?" melihat Elang mengangguk, senyum wanita penjual donat langsung melebar, "Baiklah, tunggu sebentar, Tuan, biar aku hitung dulu."

Elang kembali mengangguk. Dia memperhatikan wanita yang sedang menghitung barang dagangannya. Bukan donatnya yang menjadi perhatian pria itu, tapi penjualnya. Meski sikapnya tidak seanggun mantan istrinya, tetapi suara dan keceriaannya sungguh sangat mirip dengan Ayana.

"Semuanya jadi 65 ribu, Tuan," ucap wanita itu.

Elang pun mengangguk, lalu dia merogoh saku celana bagian belakang.

Beruntung, ada uang cash di dalam dompetnya. Jadi, ia tidak kebingungan.

Segera saja, Elang menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah.

Hal itu sontak membuat sang pedagang donat terkejut. "Tuan, ini kebanyakan. Satu lembar aja cukup, Tuan."

"Nggak apa-apa. Ambil aja," jawab Elang enteng.

Namun bukannya senang, wanita itu malah mengerutkan kening.

"Maaf, Tuan. Saya ambil selembar saja. Hak saya cuma seharga donat ini," ucapnya tegas, lalu segera mengambil kembalian dari tas selempangnya.

Elang tertegun untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengalah.

Baru ketika wanita itu pergi, ia menatap donat-donat di tangannya. "Mau aku apakan donat sebanyak ini?" gumamnya.

Seketika ia teringat asisten dan sopirnya yang berada di hotel.

Senyuman licik pun tersungging di wajah Elang. "Biar aku suruh Aldi dan Pak Kardi saja untuk menghabiskannya."

Elang pun segera meninggalkan tempat itu. Ia benar-benar lupa untuk bertemu wanita yang ingin dikenalkan sang ibu.

Hari pun berganti.

Elang tampak bersemangat dan sudah siap untuk menghadapi para warga yang ingin bertemu dengannya.

Tujuan utama Elang ke kota ini memang untuk bertemu dan membicarakan masalah antara perusahaan Elang dan para warga yang memiliki lahan dan bangunan, di mana Elang akan mendirikan perumahan elit di sana.

Sayangnya, sebuah pesan penuh kemarahan dari sang ibu membuat ekspresinya memburuk.

[Mama kecewa denganmu, Lang. Anak teman mama menunggu 3 jam tanpa kabar. Kamu ini bagaimana sih?]

"Tuan, kenapa? Apa ada masalah?" tanya sang asisten menyadari itu.

Elang mendesah pelan. "Biasa, Mama marah-marah karena aku tidak menemui wanita yang dia pilihkan."

Kening Aldi, sang asisten sontak berkerut. "Jadi semalam Tuan pergi untuk menemui wanita?" Elang mengangguk lemah.

"Lantas, Tuan pergi ke mana kalau tidak menemui wanita itu? Apa Tuan sengaja pergi untuk membeli donat?"

Elang hanya tersenyum tipis dan tidak menjawab sama sekali pertanyaan sang asisten.

Ia lalu bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ke arah jendela kaca.

Matanya memperhatikan para warga yang sudah berkumpul di halaman gedung yang akan menjadi tempat pertemuan.

Hanya saja, pria itu dibuat tercengang saat matanya kembali menangkap sosok wanita penjual donat kemarin.

"Apa dia juga salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan proyekku?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
semoga elang berjodoh dgn gadis penjual donat bukan karena paras wajah nya tapi karena elang benar" cinta karena tutur kata dan budi bahasanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status