Share

Ide Dadakan

Wanita itu kini berbincang dengan beberapa warga.

Elang semakin yakin jika wanita itu benar-benar salah satu dari warga yang sedang tersandung masalah tanah dengan perusahaannya.

"Tuan, lihat ini!"

Suara sang asisten yang berada satu ruangan dengan Elang sontak mengalihkan pandangan pria itu.

“Ada apa?”

Aldi lantas menunjukan tablet yang sedang dia genggam, "Om Bonar bikin ulah lagi, Tuan," tunjuknya, “ia ternyata yang memprovokasi para warga.”

Elang seketika mendengus kasar.

Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau dia sangat geram mendengar kabar dari asistennya mengenai pamannya yang manipulatif.

"Sebenarnya apa maunya? Dia selalu menggunakan statusnya sebagai pamanku untuk berbuat seenaknya," sungut pria itu sembari melangkah menuju kursi kerjanya.

Pamannya itu bahkan juga seringkali mengenalkan berbagai wanita pilihannya pada Elang dengan harapan dapat menguras semua harta milik Elang lewat mereka.

"Lalu, apa yang akan Tuan lakukan?”

Elang tersenyum dingin. "Warga yang ingin menyelesaikan masalah tanah, suruh langsung saja masuk ke tempat acara. Lalu, orang yang merasa tidak menjual tanahnya, suruh menghadapku terlebih dahulu,” titahnya.

“Hanya satu orang, kan yang mengalami masalah itu?" tambah Elang–memastikan.

"Benar, Tuan, hanya satu orang," jawab sang asisten, “jika demikian, saya pamit undur diri.”

Aldi segera pergi dan melaksanakan tugas yang baru saja dia terima.

Sementara itu, Elang kembali menatap layar laptop di hadapannya. Namun, pikirannya menjadi tidak fokus karena kabar tentang pamannya dan juga wanita penjual donat itu… yang seolah reinkarnasi sang istri.

Tok tok tok!

Di saat Elang sedang sibuk dengan pikirannya, ia menangkap suara ketukan pintu.

"Masuk!" titahnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Permisi, Tuan. Saya Ayunda. Apa benar ini kantor pemilik hotel Harmoni?"

Elang sontak tertegun untuk beberapa saat adalah matanya menangkap sosok wanita penjual donat ada itu!

Di saat yang sama, mata sang tamu juga membelalak. "Loh, Tuan!" serunya sambil menunjuk ke arah Elang, "Bukankah Tuan yang semalam membeli donat saya?"

Elang terkesiap, tapi tak lama setelahnya dia mengangguk dengan wajah yang dibuat datar.

"Kenapa? Apa Anda terkejut?"

"Tentu saja saya terkejut," ujar Ayunda lantang.

"Jadi Anda yang membeli rumah saya secara diam-diam?" tuduhnya.

Elang mengerutkan kening. "Siapa yang membelinya diam-diam?"

"Tentu saja Anda! Siapa lagi? Padahal, saya dan keluarga Saya tidak pernah merasa menjual rumah kami, tapi kenapa anak buah anda tiba-tiba memberi perintah agar kami segera meninggalkan rumah kami?”

“Mohon jelaskan dari mana Anda mendapat sertifikat tanah rumah saya?"

Mendengar tuduhan itu, Elang menggelengkan kepala. "Justru, Anda yang harusnya tahu mengapa hal tersebut bisa terjadi. Perusahaan kami selalu melakukan transaksi jual beli dengan legal.”

"Tapi, saya dan orang tua saya tidak merasa menjual rumah saya, Tuan,” ucapnya frustasi, "kalau ini dilanjutkan, saya sekeluarga akan tinggal di mana?"

"Sebentar, saya carikan catatan pembelian lahan di kota ini." Elang segera menatap layar laptopnya dan jari-jarinya dengan lincah.

"Di sini tertulis nama-nama orang yang menjual tanah. Silakan Anda cari nama seseorang yang mungkin anda kenal," ujarnya sambil mengalihkan layar laptop ke hadapan wanita itu.

Wanita penjual donat itu langsung menelisik data yang terpampang pada layar laptop. Dia membaca nama dalam data dengan teliti satu persatu.

Sampai beberapa saat kemudian, Ayunda tampak tercekat saat membaca dua nama yang sangat dia kenal tercatat sebagai penjual tanah miliknya.

"Paman dan bibi? Jadi, yang menjual tanah dan rumahku, mereka?" Suaranya agak bergetar kala menyadari keluarga dekatnyalah yang menjebak dirinya. "Bagaimana bisa? Kenapa mereka begitu tega?"

"Bagaimana? Sekarang sudah jelas bukan, kalau perusahaan saya tidak melakukan kecurangan?" ujar Elang dengan perasaan yang cukup lega meski dia merasa iba ketika melihat wajah wanita di hadapannya yang nampak sedih.

Untuk beberapa saat, Ayunda hanya terdiam.

Ia begitu marah, kecewa, dan sakit hati karena tidak menyangka bila orang yang selama ini menumpang di rumahnya–malah menusuk keluarganya dari belakang!

"Apa saya bisa mendapatkan sertifikat rumah saya kembali, Tuan?" ucapnya lirih berusaha menenangkan diri.

Elang terdiam. Sebelum akhirnya, ia mendapat ide untuk mencari tahu apa mungkin wanita itu ada hubungannya dengan keluarga mendiang istrinya.

"Bisa," jawab pria itu tenang, "kamu bisa mengambil kembali sertifikat tanah itu setelah mengembalikan uang yang sudah saya bayarkan."

"Memang Paman saya menjualnya dengan harga berapa?" tanya Ayunda ragu-ragu.

Namun, mendengar sebutan “paman”, membuat Elang mendelik kesal. "Memang, siapa nama paman Anda?"

“Maaf….”

Elang pun mengambil alih laptopnya.

Ia segera mencari catatan pembelian. "Di sini, tertulis harga yang kami keluarkan sebesar 700 juta," ucapnya.

"Apa!" pekik wanita seketika, "Astaga! Aku dapat darimana uang sebanyak itu."

"Anda bisa meminta uang penjualan rumah itu kepada paman Anda," saran Elang.

"Saya tidak tahu mereka ke mana. Saya pikir mereka kabur karena dikejar hutang, tapi ternyata..." Ayunda tak melanjutkan ucapannya. Ia seketika menunduk.

Melihat itu, Elang pun hanya bisa menghela nafas.

Dalam posisi seperti ini, tentu saja dia yang menang. Meski demikian, ia merasa tak terlalu senang.

Dalam diam, sebuah ide tiba-tiba terlintas dalam pikiran Elang.

Ia tiba-tiba teringat novel online dan juga drama yang sering ditonton adik perempuannya.

Mungkin, ini adalah cara Tuhan untuk membuatnya dekat dengan wanita yang wajahnya mirip dengan almarhumah istrinya dan juga menghindari kejaran ibunya setiap hari.

"Apa Anda serius tidak mau kehilangan rumah Anda?" tanya Elang memastikan.

Wanita itu mendongak, lalu dengan lemah dia mengangguk.

"Saya bisa mengabulkannya dengan satu syarat.”

Kening wanita itu sontak berkerut mendengar ucapan Elang. "Syarat? Apa itu?"

"Menikahlah dengan saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status