Share

3. Hari Pernikahan

 Hari sabtu ditentukan oleh Bu Rima, sebagai hari bahagia putri semata wayangnya. Huri, gadis cantik berusia dua puluh tahun itu sudah siap dinikahkan dengan Elang Herlambang;pria yang sudah beristri. Bukan hanya sebagian, tetapi semua tamu yang hadir pada acara akad pernikahan itu tentu bertanya-tanya, kenapa gadis cantik, muda, kaya, dan pintar, lebih memilih suami orang sebagai pendamping hidupnya. Bukan Bu Rima namanya, jika dia harus cepak-caoek menjelaskan sebuah alasan yang menyangkut kebahagiaan sang putri.

 Kebaya putih sudah dikenakan Huri Hamasah dengan sangat anggun. Make up flawless sudah menyulap wajahnya yang memang sudah cantik, menjadi semakin cantik. Di depan cermin yang kanan kirinya dihiasi lampu besar, Huri memhat dirinya dengan takjub dan juga sedikit ragu. Bu Rima masuk ke dalam kamar anak gadisnya, lalu tersenyum begitu hangat.

 “Calon suamimu sudah tiba. Pak Penghulu juga sudah siap untuk menikahkan. Ayo, kamu turun bersama Mama,” ujar Bu Rima lembut. Dibantu oleh dua orang sepupunya, Huri berjalan pelan menuju lantai dasar rumahnya. Semua mata memandangnya dengan takjub dan berdecak kagum. Huri bagaikan Tuan Putri yang baru turun dari kayangan. Sangat sempurna. Banyak tamu wanita yang iri, termasuk Kiya;istri pertama Elang. Wanita itu meremas gamisnya dengan erat. Dia benar-benar terbakar api cemburu. Madunya sangat cantik dan hampir sempurna. Dia menjadi ketakutan, bahwa Elang akan berpaling darinya. “Madu kamu cantik sekali ya. Elang begitu beruntung,” celetuk salah seorang tamu yang juga mengenal Kiya sebagai istri pertama Elang.

 “Bagaimanapun cantiknya istri muda, tetap saja Elang itu nanti lebih cenderung ke saya,” balas Kiya dengan memberengut.

 “Itu sudah pasti, tetapi bagi lelaki yang disuguhi madu murni yang halal, tentu dia takkan menolak untuk mencicipi, bukan? Saingan kamu sangat berat, Kiya. Bersiaplah!” ocehan ibu yang duduk di sebelahnya membuat Kiya jengah, sekaligus harus bersikap waspada. Namun dia yakin, Elang akan tetap hanya mencintainya sepenuh nhati dan takkan berpaling pada Huri, karena pernikahan ini didasari karena utang.

 “Saya terima nikahnya dan kawinnya Huri Hamasah binti Ahmad Mursyid dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas lima gram dibayar tunai!”

 “Sah.” 

Dengan satu kali tarikan napas, Elang melafadzkan akad dengan sangat sempurna. Semua tamu mengnagkat tangan—memohon doa pada Sang Pencipta agar memberikan keberkahan pada pasangan pengantin yang baru saja sah di mata agama juga negara. Tangan Elang gemetar, saat menyingkap pelan selendang renda tile berwarna putih yang menutupi wajah Huri. Meskipun ia beberapa kali pernah melihat gadis ini, tetapi ia tidak begitu tegas dengan wajahnya. Baru hari ini, dengan mata terbelalak kaget dan ludah yang sulit tertelan, Elang mengakui di dalam hati, Huri istrinya, sangatlah cantik. Gadis itu masih menunduk malu, apalagi saat MC acara meminta Huri untuk mencium punggung tangan suaminya.

“Silakan dicium kening istrinya, Mas Elang,” seru MC lagi, hingga semua orang yang ada di sana tertawa. Jika hampir semua orang dapat bergembira dengan pernikahan ini, termasuk Bu Latifah, tetapi tidak dengan Kiya. Air matanya tidak berhenti mengalir saat suaminya dengan terang-terangan mencium kening Huri. Hati Kiya panas. Jika saja dia tidak memiliki mertua yang suka berutang, tentu sekarang ia tidak bernasib sial seperti ini.

Ciuman yang diberikan Elang di kening Huri memang sangat kaku dan terpaksa, tetapi sukses membuat lelaki itu hampir hilang keseimbangan. Dia belum bisa menelan nasi selama dua hari menjelang pernikahan. Masih gamang antara lanjut dan tidak. Tubuhnya memang sedikit lemas, tetapi ia harus bertahan karena acara sukuran masih berlangsung tiga jam lagi.

Keduanya duduk di pelaminan sederhana untuk menerima doa selamat dan ucapan suka cita dari para tamu undangan. Bu Rima dan Bu Latifah pun tersenyum amat lebar menyambut tamu-tamu mereka yang didominasi oleh kaum ibu-ibu. Hanya segelintir orang saja tamu laki-laki. Itu pun teman kuliah Huri dan juga sebagian kecil teman Elang.

“Abang pucat, apa Abang sakit?” Huri mengeluarkan suara merdunya. Elang tersentak dan menoleh dengan perasaan canggung. Lelaki itu menggeleng. Tanpa ekspresi atau senyuman sama sekali. Sesekali ekor mata Elang masih menangkap sosok Kiya yang duduk bersembunyi di balik tubuh tamu undangan yang kain, sambil sesekali menyeka air mata. Elang benar-benar merasa kasihan dan tidak tega dengan Kiya.

“Huri ambilkan minum ya?” tanpa menunggu persetujuan Elang, gadis itu mengambilkan gelas air mineral yang berada tidak jauh di meja kecil di belakang pelaminan. Menusukkan sedotan di permukaan gelas, lalu memberikannya pada Elang. Dengan canggung, Elang menerima air mineral dari tangan Huri. Tanpa sengaja, kulit tangan mereka bersentuhan dan itu membuat Elang sedikit tersentak. Bagaikan sengatan listrik saat dia tengah asik membetulkan televisi pelanggannnya. Elang tidak yakin, hatinya akan baik-baik saja kalau sudah begini.

Kamar pengantin sudah dihias dengan sangat cantik dan romantis. Aroma aneka bunga menyeruak menusuk hidung. Siapapun yang membaui aromanya pastilah merasakan sensasi akan keindahan malam pengantin. Huri sudah membersihkan diri dan berganti pakaian, tetapi hingga setengah jam menunggu, suaminya belum juga masuk ke dalam kamar. Gadis itu duduk diam di atas ranjang yang bertabur kelopak bunga. Dengan telapak tangannya, ia mengusap kain selimut tebal itu dengan lembut. Lalu mengambil beberapa kelopak yang berserakan untuk dibawanya kepada hidungnya. “Ehm … harumnya,” gumam Huri sambil tersenyum tipis.

Cklek!

Huri terlonjak kaget dan reflex berdiri dengan kaku, saat melihat suaminyalah yang berdiri di depan pintu kamarnya. Huri tersenyum saat mata mereka saling pandang. Elang lagi-lagi hanya bisa menelan ludahnya. Lelaki itu berbalik badan untuk menutup pintu, sambil mengatur napas dan detak jantungnya yang sangat kacau saat ini.

“Bang, air hangatnya sudah saya siapkan. Mandi dulu ya, sebelum ….” Huri tamapka malu-malu melanjutkan ucapannya.

“Sebelum tidur,” sambungnya dengan menahan napas. 

“I-iya, terima kasih,” ujar Elang dengan suara sangat pelan. Mungkin hanya dia saja dan bayangannya yang mampu mendengar ucapan itu. Elang berjalan cepat menuju kamar mandi, tanpa menoleh pada Huri.

“Bang … kalau saya ikutan boleh gak?” Elang terdiam di depan pintu. Wajahnya pucat pasi dan kakinya tiba-tiba seperti tak bertulang. 

Bersambung  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status