Elang pulang ke rumah dengan pikiran kalut. Diparkirkannya motor di depan kontrakan, tanpa bertegur sapa dengan tetangga lainnya. Biasanya, sebelum masuk ke rumah, Elang pasti berbincang sejenak atau bertegur sapa dengan tetangga kanan dan kiri yang kebetulan berada di depan rumah mereka. Kiya melihat wajah suaminya yang muram begitu menginjakkan kaki di dalam rumah, langsung menyambut suaminya dengan senyuman hangat.
“Ada apa, Sayang? Kenapa wajahnya cemberut? Capek ya?” sapa Kiya sembari mencium punggung tangan suaminya. Wanita itu menerima tas ransel dari tangan suaminya, lalu menggantungnya di tempat biasa. Lelaki itu langsung masuk ke dalam kamar mandi tanpa bicara apapun. Kiya resah, hingga menghela napas berat beberapa kali. Sigap siapkannya minuman dan juga makan sore untuk suaminya. Suara keran air berhenti, begitu juga bilasan di dalam sana. Elang keluar hanya mengenakan handuk saja yang menutupi sebagian tubuhnya hingga pinggang.
Kiya masih setia menunggu suaminya sampai selesai berpakaian. Makanan dan minuman sudah dia hidangkan di ruang depan kontrakan. Tumis kangkung dan ayam goreng serundeng adalah menu favorit suaminya. Elang keluar dari kamar dan mendekat pada hidangan yang telah disiapkan Kiya. Biasanya, lelaki itu akan berbinar melihat menu kesukaannya, tetapi sore ini tidak.
Kiya kembali menghela napas berat dan semakin penasaran dengan apa yang telah terjadi dengan suaminya. “kamu sakit, Bang? Kenapa dari tadi aku tanya, kamu diam saja? apa karena lagi-lagi aku datang bulan, sehingga harapanmu untuk punya anak dariku pupus?” cecar Kiya dengan suara bergetar. Saat tengah kedatangan tamu bulanan, emosinya memang tidak stabil dan mudah sekali marah. Ditambah suami yang bungkam saja begitu pulang dari bekerja, bertambah buruklah yang ada dalam pikirannya. Ini sudah tahun keempat mereka menikah dan belum juga dikaruniai buah hati. Kiya merasa sangat tidak nyaman jika suaminya berwajah masam, ia mengira itu semua karena dirinya.
Mendengar Kiya mencecarnya dengan kalimat penasaran dan juga seakan menuduh, Elang menghentikan kunyahannya, lalu menatap istrinya dengan perasaan amat bersalah. Bukannya di marah, hanya saja dia tidak tahu harus mulai darimana membicarakan kesulitan ibunya.
“Aku akan menikah lagi Kiya,” lirih Elang dengan suara tertahan. Bukannya kaget atau marah, Kiya malah terbahak mendengar ucapan konyol sang suami.
“Mana ada yang mau nikah sama kamu, Bang. Pasti wanita itu gak waras. Kita saja masih kekurangan. Pakai mau nambah istri. Jangan ngaco!”
“Ibu berutang pada Bu Rima lima puluh lima juta dan aku harus menikahi Huri, agar Ibu tidak dipenjara.”
“Apa? M-menikah lagi untuk membayar utang Ibu kamu? Ya Allah, Bang. Pokoknya aku tidak sudi dimadu. Aku tidak mau kamu menikah lagi. Tunggu, ini bukan akal-akalan kamu’kan, Bang? Bukan karena kamu menyukai Huri’kan?”
“Astaghfirulloh, Kiya! Aku lagi pusing, malah kamu fitnah tidak jelas. Aku juga bingung mau bayar utang Ibu bagaimana dalam waktu satu minggu. Aku juga tidak mungkin membiarkan Ibu dipenjara karena tidak mampu membayar utangnya.” Elang tidak jadi makan. Lelaki itu menunduk dengan berjuta beban pikiran di kepalanya.
“Bang, dengar! Ibu kamu sudah sering berutang dengan orang dan kamu kebagian bayar utangnya. Ibu kamu selalu menggampang semua, karena memiliki kamu anak yang penurut dan pasti membantunya dengan senang hati. Walaupun kamu sendiri masih kekurangan. Jadi, menurutku biarkan Ibu menerima efek jera dari perbuatannya.”
“Kiya! Jaga bicaramu! Aku akan tetap membela Ibu dan aku akan menikahi Huri. Terserah kamu mau setuju atau tidak!”
_Bersambung_Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter