Share

Ustazah Naima

Qiana duduk termenung di pinggiran kasur. Ada yang aneh pada dirinya setelah berbicara dengan Ates tadi. Entah kenapa hari ini ia selalu mengingat Leo? Sudah beberapa hari ini semenjak menikah ia sama sekali tidak memikirkan pria itu, tapi hari ini segala kenangannya bersama Leo datang seperti air hujan.

“Qiana, aku mau mengajar dulu di pesantren, ya. Jika kamu ingin menemui kedua orang tuamu, jangan lupa untuk meminta umi menemani ke sana. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, karena aku yakin kamu pasti belum pernah datang ke alamat itu kan?” ujar Ates yang sudah terlihat tampan dengan baju dinasnya seperti biasa.

Qiana mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan dari Ates.

“Kamu masih marah? Setelah kejadian tadi aku belum mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu.”

Qiana menggeleng. Sungguh ia merasa bersalah pada Ates. Kenapa bisa-bisanya cemburu pada hal yang tidak seharusnya dia cemburui. Dan kenapa juga dia kembali mengingat Leo ketika dirinya sudah memiliki Ates di hidupnya dan memberikan seluruh hatinya untuk sang suami. Ia tidak ingin menjadi wanita yang hina lagi, sudah cukup melakukan dosa karena tidak mau mendengar perkataan kedua orang tuanya. Ia tidak akan melakukan hal itu pada suaminya. Qiana akan berusaha untuk menjadi istri yang baik dan setia.

“Katakan padaku, apa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatimu itu?”

Qiana mengangguk lemah. “Aku tidak seharusnya cemburu pada Ustazah Naima, Mas. Sebagai seorang istri, aku sudah meragukan dirimu dan berpikir akan mengkhianati aku karena aku bukanlah wanita yang kamu cintai.” Ia mengatakan semuanya agar tidak ada lagi keresahan dan ketidaknyamanan dalam menjalankan rumah tangganya bersama Ates, meski ia takut jika Ates akan marah nantinya.

“Apa kamu masih berpikir kalau aku akan menemui Ustazah Naima lagi di pesantren?”

Qiana terdiam. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu.

“Kalau kamu memang belum bisa percaya jika aku tidak akan menemui wanita lain selain istriku, sebaiknya kamu ikut denganku ke pesantren. Sekalian aku ingin memperkenalkan istriku ini pada rekan kerja.” Ates membelai pucuk kepala Qiana berulang kali. “Jika masih ada keraguan, aku akan berhenti mengajar untuk sementara sampai waktunya kamu bisa menerima semua masa laluku.”

Qiana tak mampu menggerakkan bibirnya untuk berbicara. Apa yang telah ia lakukan hari ini? Baru beberapa hari menikah dan ia sudah mencurigai suaminya sendiri. Tidak seharusnya Qiana melakukan hal itu di saat ia tahu bahwa Ates bukanlah pria yang gampang berkhianat. Dia adalah pria yang baik dan tahu cara menghargai wanitanya.

“Bagaimana? Apa kamu mau ikut denganku?” tanya Ates.

Qiana menggeleng cepat. “Tidak, Mas. Qiana akan menunggu di rumah saja sampai Mas pulang. Dan nanti kita akan ke rumah umi untuk mengambil barang-barang Qiana,” ujarnya.

“Lalu bagaimana dengan rencana untuk menemui orang tua kandungmu? Apa kita undur saja sampai besok?”

“Sebaiknya begitu. Qiana juga mau memperkenalkan Mas Ates pada mereka sebagai menantunya.”

Ates tersenyum senang. “Kalau begitu aku pergi dulu, ya. Assalamualaikum.”

Qiana mencium punggung tangan Ates. “Walaikumsalam.”

Setelah kepergian Ates, Qiana keluar dari kamarnya. Ia berencana untuk menemui umi mertua dan berbincang dengan beliau tentang menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Karena Qiana masih muda dan ia butuh orang yang lebih tua untuk membimbingnya.

“Fatimah, di mana nenek Umi?” tanya Qiana yang hanya melihat Fatimah sedang bermain di ruang tengah.

Gadis kecil itu masih memusuhinya, dia menatap Qiana kesal. “Nggak tahu, kenapa tanya Fatimah?” ujarnya jutek.

Qiana sedikit kesal dengan jawaban itu. Ia tidak tahu kenapa Fatimah yang selalu sopan kepada semua orang dan hanya kepadanya saja Fatimah bersikap seperti itu.

“Bukankah nenek Umi tadi bersama Fatimah? Bibi Qiana mau tanya sesuatu sama nenek umi.” Qiana mencoba mendekati Fatimah dan berusaha untuk mengambil hati gadis itu agar menyukainya juga.

“Fatimah tidak akan berbicara apa pun pada orang yang tidak Fatimah sukai. Sebaiknya cari saja sendiri dan jangan ganggu Fatimah bermain.”

“Tapi, kenapa Fatimah bermain di rumah? Kenapa nggak masuk sekolah hari ini?” Qiana merasa heran saat Fatimah yang sudah besar itu malah bermain di rumah dari pada belajar di sekolah.

“Nggak tahu Fatimah lagi sakit?” Sudah seminggu Fatimah nggak sekolah dan ini baru sembuh. Rencananya besok Fatimah akan sekolah lagi, nunggu Bunda pulang dulu.”

“Mana Bibi tahu, Sayang. Kalau begitu Bibi akan mencari nenek umi di luar, ya. Fatimah jangan ke mana-mana.”

Qiana beranjak dari sana dan meninggalkan Fatimah sendiri untuk mencari umi mertuanya itu. Qiana terus mencari umi mertua, tapi ia belum menemukannya juga. Hingga Qiana berjalan ke arah pesantren dan berharap akan menemukan umi di sana.

“Assalamualaikum, Umi,” sapa seorang gadis berkerudung kuning panjang.

Wanita itu berbalik dan tersenyum melihat gadis yang baru saja menyapanya itu. “Walaikumsalam Ustazah Naima. Apa kabar?”

Qiana menghentikan langkah, ia terkejut mendengar nama itu disebut. Qiana yang hendak menghampiri umi mertua pun terpaksa mengurungkan niatnya dan malah bersembunyi di belakang pohon besar untuk mendengar percakapan mereka.

“Alhamdulillah kabar baik, Umi. Umi sendiri bagaimana kabarnya? Apa Fatimah sudah sembuh?” tanya Ustazah Naima.

“Alhamdulillah, berkat saran dari Ustazah Naima dan restu dari Allah, Fatimah bisa mendapatkan obat yang tepat.”

Qiana mengerutkan kening, mendengar percakapan itu yang membahas tentang Fatimah. Ia juga tidak menyangka jika umi mertua sangat menyukai Ustazah Naima sebesar itu. Lantas kenapa beliau merestui pernikahannya dengan Ates?

“Semua karena Allah, Umi. Setiap yang sakit pasti akan sembuh jika Dia mengizinkannya. Naima sangat senang mendengarnya. Nanti setelah selesai mengajar, Naima akan datang ke rumah untuk melihat Fatimah. Sudah satu minggu Naima tidak bertemu dengannya.”

“Fatimah pasti senang mendengarnya. Umi akan masak makanan kesukaan Ustazah Naima dan jangan menolaknya.”

Keduanya tertawa, tapi tidak dengan Qiana. Ia tidak suka dengan Ustazah Naima dan tidak ingin melihat wanita itu datang ke rumah mertuanya. Bisa-bisa nanti Ates semakin punya keinginan untuk menikahinya nanti.

“Umi lupa kalau tdai lagi masak daging, mungkin sekarang sudah matang. Umi masuk duluan nggak apa-apa kan?” pamit umi pada Ustazah Naima.

“Iya Umi nggak apa-apa. Naima juga mau masuk ke pesantren.”

“Ya sudah, Umi duluan ya. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam.”

Ustazah Naima masih berdiri di tempatnya semula. Bahkan setelah umi masuk ke dalam rumahnya. Setelah beberapa saat baru dia melangkah menuju pesantren.

“Ustazah Naima,” panggil seseorang dari arah belakang. Ustazah Naima kembali menghentikan langkahnya.

Dia berbalik dan menatap seorang gadis berkerudung menghampirinya. “Assalamualaiku.”

“Walaikumsalam,” jawabnya jutek.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ustazah Naima. Dia merasa jika wanita itu sedang membutuhkan bantuannya.

“Aku tidak membutuhkan bantuan apa pun. Aku datang ke sini hanya untuk mengatakan hal ini.” Ia menghentikan kalimatnya sejenak, menatap Ustazah Naima yang wajahnya begitu tenang. Pantas saja jika keluarga Ates sangat menyukainya. “Aku Qiana, istri Mas Ates. Wanita yang baru saja mengobrol dengan Ustazah adalah mertuaku.” Qiana langsung mengatakan poinnya dan membuat Ustazah Naima sedikit terkejut.

“Istri Ustad Ates?” tanyanya meyakinkan.

Qiana mengangguk. “Iya, istri Ustad Ates. Dan aku berharap Ustazah Naima tidak lagi datang ke rumah kami dan menjalin hubungan dengan keluarga suamiku karena aku tidak menyukainya.”

“Tapi...”

“Aku tahu semuanya dan Ustazah tidak perlu menjawab lamaran yang diajukan suamiku waktu itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status