Share

Cemburu

“Apa arti cinta untukmu? Bukankah kamu sangat memahami bahwa tidak ada cinta yang lebih besar selain cinta untuk Sang Pencipta?” tanya seorang gadis berkerudung merah pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Jarak ia dengan pemuda itu hanya lah lima langkah. Bila ia melangkahkan kaki sebanyak lima kali, tidak akan ada lagi jarak yang tercipta di antara keduanya.

Benarkah tidak ada jarak lagi? Tidak, meskipun ia melangkah untuk menghapus jarak yang tercipta itu, ia tahu jarak yang sesungguhnya tidak akan pernah mungkin terhapus karena jarak itu tidak kasat mata. Setiap ia melangkah maka semakin jauhlah jarak yang tercipta antara dirinya dan si pemuda tersebut.

“Aku mencintaimu karena Allah,” ucap pemuda itu dengan sangat lirih. “Aku ingin menjadi imammu.”

“Bila kita memang berjodoh, insya Allah, Allah akan mempermudahnya.” Hanya jawaban itulah yang diberikan si wanita. “Aku tidak akan memintamu menunggu karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. Jika kamu sudah menemukan wanita yang tepat, aku dengan senang hati memberikan keyakinan dalam diri bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersatu.”

“Aku butuh kepastian. Bila memang kamu ingin membina rumah tangga bersamaku, izinkan aku untuk mengkhitbahmu.”

“Saat ini aku ingin memperbaiki diri ke arah yang lebih baik lagi karena kecintaanku kepada Allah. Jadi biar lah Allah yang mengatur semuanya.” Si wanita itu berlalu meninggalkan pria yang tadi bersamanya itu.

Suara lembut dari bibir Qiana menyadarkan sang suami dari kenangan masa lalu. Kenangan ketika itu ia mengutarakan cinta dan niatnya untuk melamar seseorang yang dicintainya. Namun, Allah tidak menakdirkan mereka untuk bersama.

“Siapa Ustazah Naima itu, Mas?” tanya Qiana.

“Salah satu staff pengajar di pesantren,” jawab Ates singkat.

“Apa dia calon istrimu? Sepertinya Fatimah sangat menyukai Ustazah Naima.”

“Dia hanya lah anak kecil yang belum tahu tentang urusan orang dewasa. Fatimah memang pernah bertemu dengan Ustazah Naima sekali, dan itu yang membuatnya sangat menyukai beliau.”

Hati Qiana merasa sakit. Tidak seharusnya dia merasakan hal itu karena mereka menikah baru beberapa hari dan bisa jadi Ates sudah memiliki calon istri yang akan dia nikahi sebelum menikah dengannya.

“Apa dia gadis yang ingin kamu nikahi?” tanya Qiana lagi.

Ates terdiam untuk beberapa saat. Matanya berbinar ketika mengingat sang pujaan hati yang tidak bisa dia raih untuk saat ini. Sejenak Ates lupa dan khilaf bahwa tidak seharusnya pria yang sudah menikah memikirkan wanita lain.

“Itu masa lalu, Qiana. Aku tidak ingin membahasnya lagi,” ujar Ates.

“Apa karena aku yang membuat kalian batal nikah?”

“Itu salah, Qiana. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita.”

“Lalu apa, Mas? Kenapa kamu merahasiakan perasaan itu dariku? Kita memang baru menikah, tapi aku berhak tahu tentang perasaan suamiku yang saat ini mungkin sedang menderita.” Qiana meneteskan air mata dan membuat Ates merasa bersalah atas semua itu.

“Memang benar Ustazah Naima adalah wanita yang ingin aku nikahi dan bahkan aku sudah mengkhitbahnya di hadapan Abi dan Umi. Tapi, itu semua sudah berlalu. Nyatanya kami tidak ditakdirkan untuk bersama.”

Qiana tertegun. “Mungkin karena aku yang membuat kalian tidak jadi menikah. Maafkan aku, Mas.” Qiana merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Ates.

“Mas juga bersalah kepadamu, Qiana. Sampai saat ini hati Mas masih untuk Ustazah Naima. Mas tahu ini tidak sepantasnya terjadi, Mas sangat berdosa karena memikirkan wanita lain yang bukan istriku.”

Mendengar itu, wajah Qiana kembali mendung. Kini, ia mengerti kenapa Allah memberikan ia hukuman seperti ini karena dulu Qiana juga pernah memainkan perasaan seorang pria. Padahal, ia tahu hal itu tidak seharusnya ia lakukan. Namun, Qiana merasa senang karena telah berhasil membuat pria yang mencintainya dengan tulus patah hati.

“Sekarang apa rencanamu untuk ke depannya, Mas?” tanya Qiana setelah menarik napas panjang dan meyakinkan hatinya bahwa dia tidak harus cemburu kepada Ates.

“Tidak ada. Mas hanya ingin menjalankan kewajiban sebagai suami dan ayah yang baik untuk calon anak kita,” jawab Ates.

“Bagaimana dengan Ustazah Naima? Apa kamu tidak ingin menikah dengannya?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Ates menatap Qiana lama. Dia tidak menyangka jika istrinya akan berpikiran seperti itu, menawarkannya untuk menikah dengan perempuan lain.

“Aku hanya ingin menikah satu kali dan itu bersamamu. Insyaallah, Allah akan memberikan suami yang baik untuk Ustazah Naima nantinya,” balas Ates.

Kini, Qiana terbungkam mendengar jawaban suaminya itu. Meski Ates berkata bahwa dia tidak akan melakukan poligami, tapi Qiana bisa membaca bahwa di dalam lubuk hati yang terdalam, Ates ingin Ustazah Naima yang menjadi istrinya dan ibu untuk anak-anak mereka nanti. Tapi, kehadiran Qiana sudah membuat harapan dan impian mereka hancur.

“Aku ikhlas jika dimadu, Mas.”

Ates menghentikan langkah ketika hendak keluar dari kamar. Perkataan istrinya membuat Ates tidak bisa memahami bagaimana sifat dan karakter Qiana yang sebenarnya.

“Apa yang barusan kamu katakan?” tanya Ates tak percaya.

“Aku mau kamu melanjutkan impian untuk menikah dengan Ustazah Naima. Aku bisa menerima itu semua nanti karena dari awal pernikahan kita tidak lah di dasari oleh cinta. Kamu terpaksa menikah denganku karena persahabatan orang tua kita. Aku tidak mau terbebani karena hal ini, Mas. Aku tidak bisa menyakiti perasaan seorang wanita.”

“Lalu bagaimana denganku? Apa kamu tidak berpikir terlebih dahulu sebelum mengatakan semua omong kosong ini? Aku tidak ingin menyakiti kalian berdua. Dengan poligami, aku takut tidak bisa berlaku adil antara kamu dan juga Ustazah Naima.”

Niat hati ingin memberikan Ates izin untuk menikah lagi. Tapi, justru dirinya lah yang tidak mau sang suami menikahi wanita lain. Setiap perkataan Ates, membuat Qiana merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Secepat itu ia bisa berpaling dari Leo dan melabuhkan hati pada sang suami.

Kini, mereka terdiam cukup lama. Duduk di sisi ranjang dengan pikiran masing-masing. Tidak ada perkataan lagi yang keluar dari mulut Qiana sedikit pun. Tidak ada desakan untuk menyuruh Ates menikah dengan wanita pujaannya itu. Ia tidak memiliki keberanian lagi mengutarakan semuanya, karena Qiana justru tidak ingin dipoligami. Ia hanya menguji kesabaran dan kebijakan Ates. Apakah dia akan segera melamar Ustazah Naima dan menikah dengannya? Nyatanya jawaban suaminya itu berhasil membuatnya merasa bersalah.

Ates pun demikian, memilih untuk diam sembari mencari solusi dari masalahnya saat ini. Dia berpikir bahwa Qiana menyuruhnya untuk menikah lagi karena merasa telah merebut calon suami wanita lain. Tapi, yang sebenarnya hal itu tidak lah benar. Walau pun Ates sudah mengutarakan niatnya untuk melamar Ustazah Naima, akan tetapi lamaran itu sampai saat ini belum juga dibalas oleh beliau.

“Maaf...” Hanya kata itulah yang pada akhirnya mampu Qiana ucapkan. Memecahkan keheningan yang tercipta.

“Maaf untuk apa?” Ates bertanya dengan nada yang masih sama seperti biasanya, lembut dan menenangkan.

“Maaf karena aku sudah menyuruhmu untuk melakukan poligami. Padahal, sebenarnya aku cemburu melihat Fatimah lebih menyukai Ustazah Naima dibandingkan aku. Aku takut jika suatu saat nanti kamu akan berubah pikiran dan menikahi Ustazah Naima.

Mendengar kekhawatiran Qiana, membuat Ates perlahan meraih jari jemari Qiana ke dalam genggamannya. Qiana pun membiarkan Ates melakukan hal itu.

“Ada beberapa hal yang membuatku tidak mau menikah lagi. Pertama karena prinsip yang Abi terapkan dari dulu adalah untuk menikah satu kali seumur hidup. Karena poligami itu akan merusak kehidupan dan menyakiti banyak orang. Aku nggak mau kamu atau pun Ustazah Naima tersakiti nantinya. Yang kedua, lamaran yang aku ajukan untuk Ustazah Naima sampai saat ini belum ada balasannya. Ustazah Naima mungkin belum siap untuk membina rumah tangga denganku dan aku pun berharap dia bisa menemukan laki-laki yang lebih baik dariku.”

Qiana merasa lega mendengar penjelasan dari Ates. Dia semakin yakin bahwa rumah tangganya akan baik-baik saja ke depannya tanpa ada gangguan dari orang ketiga.

"Tapi, ada satu hal lagi yang belum kamu ketahui dan aku tidak ingin kamu mengetahuinya sekarang."

Qiana mengerutkan keningnya. "Apa itu, Mas? Rahasia apa lagi yang belum aku ketahui?" Tanya Qiana penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status