"Darren! Ada kabar buruk!" ucap Count Albrecht, napasnya tersengal-sengal.Darren dan Mathilda terkejut, segera berdiri dari sofa beludru mereka. Cahaya lilin di ruangan itu berkedip-kedip, seolah ikut merasakan ketidakstabilan yang akan datang."Ayahanda, ada apa?" tanya Darren, nadanya tegang. Ia menatap Count Albrecht yang wajahnya pucat pasi. "Apakah ada masalah dengan perbatasan?""Bukan hanya itu, Darren," jawab Count Albrecht dengan suara parau. "Ada laporan... Ibukota diserang! Sayap utara istana... dilahap si jago merah! Seluruhnya!"Brak!Darren mengepalkan tangannya ke meja porselen di depannya. Wajah Darren yang tampan kini memerah menahan amarah. Rencana pernikahannya, perayaan yang seharusnya menjadi momen kejayaan mereka, kini terancam. Darren merasa seperti dikutuk. Setiap kali ia mendekati puncak kekuasaan, selalu ada saja rintangan yang muncul. Ia mengepalkan giginya, merasa seakan keberuntungan selalu berpihak pada Leonhard, bahkan saat Leonhard sudah dianggap mati
"Jangan panik!" ucap Leonhard..Leonhard, yang tadinya menikmati ketenangan bersama istrinya, kini kembali siaga. Tangannya meraih pinggang Lyra, menariknya mendekat seolah ingin melindunginya dari ancaman yang belum terlihat. Leonhard mengamati kegelapan hutan dengan mata setajam elang, siap menghadapi apapun yang muncul. Jantungnya berdebar keras, bukan karena takut, melainkan karena kedamaian yang baru saja ia rengkuh kini terancam.Srek, srek!Semak-semak di tepi danau bergerak-gerak, dan sesaat kemudian, dua sosok penunggang kuda muncul di bawah rembulan. Di depan, Theo dengan wajah tegang memegang kendali, dan di belakangnya, Geon yang tampak santai dengan cengiran khasnya. Mereka menarik sebuah kereta tertutup yang tampak sederhana namun kokoh."Astaga! Hampir saja jantungku copot!" seru Lyra lega saat mengenali Theo dan Geon.Geon melompat turun dari kudanya dengan riang, menghampiri Leonhard dan Lyra dengan langkah lebar. "Yang Mulia Raja dan Ratu! Sungguh pemandangan yang r
"Jangan lama-lama. Aku akan menunggumu di sini," ucap Lyra."Tentu, Ratu!" Jawab Leonhard, dia berbalik.Leonhard berjalan kembali menuju kudanya, yang tengah berdiri tenang di bawah bayang pohon pinus. Dengan gerakan cekatan, Leonhard membuka pelana samping dan mengeluarkan sebuah keranjang kecil berlapis kain wol hangat.Di dalamnya ada roti gandum tipis yang baru dipanggang pagi tadi, potongan keju asin dari pedalaman barat, dan sebuah kantong kecil berisi kacang manis serta potongan buah kering. Tak lupa, sebotol kecil air pegunungan yang masih dingin disimpan dalam botol perak tua peninggalan pasukan barat.Semua perbekalan ini disiapkan dengan teliti, menunjukkan betapa Leonhard telah merencanakan semua ini hanya untuk menjemput istrinya. Selesai menata semuanya di atas kain, ia berjalan kembali ke arah Lyra, yang duduk bersandar di atas akar besar pohon, tepat di tepian danau dengan kabut tipis yang menyelimuti permukaan danau. "Bukan jamuan istana," gumam Leonhard, berlutut
Kaisar Edmure berdiri di atas balkon, sorot matanya tajam menusuk malam, menatap murka ke arah api yang berkobar liar, melahap habis bagian Utara istana kekaisaran. Lidah-lidah api menjilat langit, menyembur merah dan oranye. Di bawah sana, kekacauan meledak dan prajurit berlarian, suara teriakan, derak bangunan runtuh, dan denting senjata bersahut-sahutan. Bau kayu terbakar, kain, dan darah menjadi aroma malam yang busuk dan menyiksa.Namun Edmure tidak bergeming. Wajahnya datar dan dingin. Seakan ia sedang menikmati setiap jerit kesakitan yang dibawa angin malam. Jubah hitam-keemasannya berkibar pelan diterpa angin, seolah ikut mengolok-olok kelemahan para bawahannya."Siapa yang membiarkan seekor tikus masuk ke rumahku, membawa api dan darah?" desis Edmure. Tak seorang pun menjawab."SIAPA?!"Suara Kaisar membahana, menggema hingga ke gerbang luar istana. Bahkan langit tampak bergetar mendengar murkanya.Count Sebelius berlutut satu kaki, peluh membasahi pelipisnya, napasnya ter
Drap! Drap! Drap!Kuda hitam itu lenyap di balik lebatnya hutan, meninggalkan debu dan dedaunan yang beterbangan. Geon dan Theo berdiri terpaku di mulut lorong bawah tanah, diterangi cahaya bulan yang pucat.Geon menyeringai sambil menepuk-nepuk debu di bajunya. "Yah, Ratu kita sudah dijemput oleh Pangeran Berkuda Hitam. Romantis sekali, kan?"Theo hanya melirik sekilas, datar. Ia pun mulai melepaskan kostum pinjaman untuk menyamar. "Jangan banyak bicara, Geon. Kita masih punya sisa tugas yang harus diselesaikan.""Ya, ya... Aku tahu. Aku juga tidak sabar ingin minum bir dan makan daging panggang di desa terdekat," celetuk Geon. "Lagian, aku tidak tahan lagi dengan bau selokan di sini. Baunya mirip seperti Edmure." gumam Geon. lalu memutar tubuhnya. Geon pun bersiul pelan pada Corvus yang masih bertengger di batu. "Hei, jagoan. Kau sudah bawa surat dari Yang Mulia Raja, sekarang giliran kami yang beraksi."Theo membuka gulungan kecil dari dalam bajunya—surat perintah bersegel merah.
"Apa kau bilang?" tanya Edmure sekali lagi, memastikan. Pengawal dengan napas tersengal itu menelan ludah. "Panah api, Yang Mulia! Mereka datang dari hutan luar tembok utara! Benteng luar terbakar! Kita tak bisa menghalau semuanya—"Boom!Suara ledakan kecil terdengar dari kejauhan, disusul getaran samar. Dinding di kamar yang menjadi penjara Lyra bergetar. Dari celah tirai, cahaya jingga api tampak mengintip. Edmure terdiam sejenak. Mata birunya membulat tak percaya. Kemudian wajah itu berubah—dari kaget, menjadi gelap seperti malam tanpa bulan."Brengsek..."BRAK!Dengan amarah, Edmure membantig apapun yang ada didekatnya. Hingga perabot berupa teko, cawan, dan tempat lilin jatuh berserakan. "Turunkan semua panji kerajaan!" teriak Edmure, suara Kaisar menggelegar seperti petir. "GUNAKAN PANJI PERANG! Segel seluruh gerbang, kepung setiap lorong—AKU TAK MAU ADA YANG MASUK ATAU KELUAR!"Para menteri dan jenderal yang berada di ruangan itu tercekat, wajah mereka pucat."Sapu semua me