Zayyan dan Zea sedang menunggu di ruang tunggu depan rumah. Kedua orang tua muda itu saling menggenggam dan menyalurkan kekuatan. Hari ini Ziva kembali menjalani operasi pengangkatan tumor di bagian dadanya. "Kak, aku takut!" ungkap Zea. Orang tua mana yang tidak akan merasakan takut teramat jika melihat putri kesayangannya dalam ruangan operasi, sedang berjuang melawan kerasnya kehidupan. "Semua akan baik-baik saja!" sahut Zayyan mengecup ujung kepala wanita itu. Sementara Zayn dan Zean bersama dengan Leigh dan Zavier, karena suasana rumah sakit tidak terlalu bagus untuk kesehatan mereka. Leigh juga tidak mau kedua cucu kembarnya menganggu istirahat Ziva."Daddy!" Hingga suara panggilan membuyarkan lamunan kedua orang tua muda itu. Zayyan dan Zea segera menoleh dan betapa terkejutnya mereka melihat Ar yang berjalan ke arah keduanya. "Ar!" Zayyan sontak berdiri, begitu juga dengan Zea. "Daddy!" Ar berhambur memeluk sang ayah. Dia benar-benar merindukan sosok yang sudah beberapa
"Mommy!" Zayn dan Zean berjalan menghampiri Zea. Kedua bocah tampak itu tampak berjalan setengah berlari. "Son, jangan lari!" tegur Zea pada kedua anaknya. Lalu Zayn dan Zean berjalan pelan sembari dengan langkah tak sabar. Mereka masih berada di depan ruangan Ziva. Sementara di dalam Sean dan Erwin masih berjuang menyelamatkan Ziva. "Daddy mana, Mom?" tanya Zean yang tidak melihat kehadiran sang ayah di sana. "Kenapa terus menanyakan lelaki itu sih?" protes Zayn. "Bukannya tanya kondisi adik, malah ingin tahu keberadaan orang lain," sambungnya terdengar tak suka saat adiknya itu menanyakan ayah mereka. "Memangnya kenapa, Kak? Bukannya dia memang ayah kita?" ujar Zean tak habis pikir. Kakaknya ini masih saja tak suka pada ayah mereka. "Son, jangan bicara begitu," tegur Zea. "Ayo duduk!"Kedua bocah kembar itu menurut dan duduk di samping sang ibu. Zayn duduk di samping kanan Zea, sedangkan Zean duduk di samping kiri. Keduanya langsung kembali dengan mode wajah polos. "Di mana
"Zea, kak Zayyan ke mana?" tanya Zavier yang tak melihat sang kakak di sana. Biasanya lelaki itu selalu menempel pada Zea layaknya prangko. "Kak Zayyan sedang jalan-jalan dengan Ar, Kak," jawab Zea. Tak ada raut sedih sama sekali di ekspresi wajahnya. Zea memahami kerinduan Ar kepada ayahnya dan ia pun tak memiliki wewenang untuk melarang Zayyan. "Jalan-jalan sama Ar?" ulang Zavier. "Kapan Ar datang ke sini? Dengan siapa?" cecarnya penasaran. "Sama kak Zeva," sahut Zea. "Zevanya ada di sini?" tanya Zavier yang tampak terkejut. Mau apalagi wanita iblis tak berperasaan itu menganggu ketenangan Zayyan dan Zea. "Iya, Kak," jawab Zea, singkat, padat dan jelas. Zavier menarik napas dalam, lalu dia duduk di samping Zea. Sementara Zayn dan Zean sudah pulang bersama Shania. Kedua anak itu tidak boleh terlalu lama berada dalam lingkungan rumah sakit karena tidak baik untuk kesehatan mereka. Bau obat-obatan dan jarum suntik bisa menganggu sistem imun tubuh kecil keduanya. Oleh sebab itulah
Zea memuaskan barang-barang Ziva ke dalam cover kecil milik putrinya itu. Senyumnya lebar saat melihat Ziva yang tengah sibuk bermain dengan kedua saudara kembarnya. Hari ini gadis kecil itu sudah boleh pulang, setelah beberapa hari dirawat. Kondisinya pun lumayan membaik dan ia tak lagi merenggek kesakitan seperti waktu lalu. Ada Zayyan juga di sana yang ikut bermain dengan ketiga anak kembarnya. Lelaki itu tampak tertawa lepas tanpa beban. "Sayang, ayo!" ajak Zea. "Daddy, gendong!" Ziva mengulurkan tangannya manja pada Zayyan. "Tentu, Girl." Zayyan mengangkat tubuh kecil putrinya itu lalu menggendongnya. Zea hanya tersenyum lebar, itulah cara dia menutupi lukanya. Zea tak memiliki angan-angan untuk hidup bahagia bersama Zayyan. Baginya, lelaki itu hanya mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. "Ayo!" Leo membawa cover kecil Ziva. Asisten setia itu selalu menemani Zayyan ke mana saja. Sementara Zayn dan Zean menggandeng tangan Zea dan keluar dari ruangan. "Daddy!" Hingga s
Zevanya dan Ar ikut masuk ke dalam vila mewah milik Leigh. Ini pertama kalinya, wanita itu masuk ke dalam sana. Tampak di sana ketiga kembar anak Zea tengah bercengkerama di ruang tunggu. Ada Leigh, Zayyan dan Zavier serta Sean dan ketiga anak buah Zayyan. Mereka seperti sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Tatapan mata mereka teralihkan melihat kedatangan ibu dan anak itu. "Ar," sapa Leigh ramah. "Opa!" Ar berhambur ke arah sang kakek dan memeluk lelaki berusia itu. Leigh tersenyum dan membalas pelukan cucu kesayangannya. Namun, Leigh tak pernah membedakan antara anak Zevanya dan anak Zea. Baginya, keempat cucunya sama berharga di matanya. Sementara Zevanya tersenyum licik menatap Zea yang diam saja. Dia akan buktikan pada adiknya itu, bahwa Zayyan hanya pantas bersanding dengannya. Zevanya juga menegaskan pada Zea agar tidak menganggu dan berharap bahwa lelaki itu akan menikahinya. Zavier dan Sean menatap tak suka pada Zevanya. Sementara Zayyan hanya diam saja sambil mem
"Mau bicara apa?" Zayyan menatap tak suka pada Sean dan Zavier. "Ini tentang Zea!" sahut Sean dengan nada yang tak kalah dingin. Ia juga tak menyukai Zayyan, pria yang syok tegas, tetapi tak punya ketegasan terhadap isi hati dan pikirannya. Zayyan menarik napas sedalam mungkin, lalu ia mempersilakan kedua orang itu duduk. Walaupun ia tak menyukai keduanya, tetapi dua pria ini memiliki jasa dalam hidupnya karena sudah menjaga Zea dan ketiga anak kembarnya. "Kak, sebenarnya kau benar-benar mencintai Zea atau tidak sih?" tanya Zavier memasang wajah datar tanpa ekspresi. Zayyan tersenyum menyeringai. "Tentu saja. Aku bahkan tak bisa gambarkan, bagaimana besarnya cintaku pada Zea," jawabnya. "Jika begitu, Kakak harus tegaskan pada Zevanya agar berhenti menganggu Kakak dan Zea," tukas Zavier yang kadang merasa kesal karena sang kakak yang tidak bisa menegaskan sendiri perasaannya. Sejenak Zayyan terdiam, kata-kata Zavier seperti tamparan tersendiri untuknya. Ia bahkan tak menyadari ji
Kening Zea mengerut heran saat melihat Zayyan dan Ar yang baru datang ke vila, sudah larut malam. "Kakak!" Dia menyambut kedua orang itu dengan hangat. "Sayang." Lidah Zayyan terasa kelu saat melihat tatapan mata teduh Zea. Benar, apa yang dikatakan oleh Zavier dan Sean bahwa dirinya telah menciptakan neraka perasa bagi wanita itu. "Ar, Kak, ayo masuk! Ini sudah malam!" ajak Zea, tetapi ia tak berani melihat wajah Ar karena dirinya tahu bahwa keponakannya itu masih enggan menatapnya. Tubuh Zea seketika menegang saat Ar memeluk tubuhnya. Wanita itu bahkan hampir terjerembab saking terkejutnya karena pelukan sang keponakan. "Mommy, maafkan Ar, hiks, hiks!" Tangis Ar pecah. "Ar sudah jahat sama Mommy. Ar sudah marah sama Mommy. Ar sudah benci sama Mommy!" ungkapnya seolah mengeluarkan semua perasaan yang terselip di antara rongga dadanya. Mata Zea berkaca-kaca, hatinya hangat merasakan pelukan nyaman Ar di tubuhnya. Tak bisa dia pungkiri bahwa dirinya juga merindukan sosok keponaka
Zea tersenyum saat melihat anak-anaknya sibuk bermain game. Jika, anak-anak seusia itu bermain kejar-kejaran maka tidak dengan ketiga anak kembarnya. Mereka malah sibuk berlatih dan bermain e-sport dan mempersiapkan pertandingan di setiap musim. "Kakak, majulah!" seru Zean. "Bertahanlah, jangan menyerang! Kakak segera datang!" tukas Zayn. Jari-jari mungilnya begitu lincah memainkan mouse serta tombol pengontrol. Sementara Ar menyunggingkan senyum licik, melihat kedua adiknya yang kewalahan menyeimbangi permainannya. Namun, ia salut dengan kemampuan Ziva yang terlihat tenang dengan wajah imut dan juga menggemaskannya. Ia tak gegabah menghadapi lawan yang mencoba menyerangnya. "Ziva, kau langsung ke Middle Lane, Kakak akan bertahan di bottom-up!" ujar Zayn. "Baik, Kak." Zayyan dan Zea hanya bisa menggelengkan kepala salut. Entah bagaimana anak-anak sekecil itu begitu ahli bermain e-sport. Bahkan kemampuan mereka mengalahkan orang dewasa. Si kembar sudah pernah memenangk