Zea tersenyum saat melihat anak-anaknya sibuk bermain game. Jika, anak-anak seusia itu bermain kejar-kejaran maka tidak dengan ketiga anak kembarnya. Mereka malah sibuk berlatih dan bermain e-sport dan mempersiapkan pertandingan di setiap musim. "Kakak, majulah!" seru Zean. "Bertahanlah, jangan menyerang! Kakak segera datang!" tukas Zayn. Jari-jari mungilnya begitu lincah memainkan mouse serta tombol pengontrol. Sementara Ar menyunggingkan senyum licik, melihat kedua adiknya yang kewalahan menyeimbangi permainannya. Namun, ia salut dengan kemampuan Ziva yang terlihat tenang dengan wajah imut dan juga menggemaskannya. Ia tak gegabah menghadapi lawan yang mencoba menyerangnya. "Ziva, kau langsung ke Middle Lane, Kakak akan bertahan di bottom-up!" ujar Zayn. "Baik, Kak." Zayyan dan Zea hanya bisa menggelengkan kepala salut. Entah bagaimana anak-anak sekecil itu begitu ahli bermain e-sport. Bahkan kemampuan mereka mengalahkan orang dewasa. Si kembar sudah pernah memenangk
Leigh duduk dengan kedua kaki yang saling menyilang satu sama lain. Walau usianya tak muda lagi, tetapi aura ketampanan masih terlihat jelas dari raut wajahnya. Bahkan jika ia mau, bisa saja dia menemukan wanita muda yang mau menikah dengannya. "Jadi, ini semua ulah Ruth?" tanyanya dengan sorot mata yang begitu tajam. Usia tak membuat kekejaman lelaki itu mengurang. Bahkan ia semakin ganas dan tak memiliki perasaan. "Iya, Tuan," jawab Riley mengangguk dan mengiyakan pertanyaan dari Leigh. Leigh manggut-manggut dan tetap dengan wajah tenang. Sorot matanya terlihat tajam dan seakan mampu menghunus siapa saja yang ada di depannya. "Apa dia punya rencana lain?" tanya Leigh. Ia pikir, anak tirinya itu akan jera pada hukuman yang pernah dia berikan. Ternyata, Ruth malah berulah dan seperti menantang. "Sepertinya iya, Tuan," sahut Riley lagi. "Awasi pergerakannya! Jangan biarkan dia menyakiti para cucuku. Entah kenapa aku curiga bahwa sekarang dia menargetkan mereka," titah L
Josua dan Niko keluar dari mobil, kedua pria itu tampak menyeringai licik ketika melihat sebuah apartemen mewah. Tak lama kemudian datang dua buah mobil berwarna hitam. Lalu keluarlah beberapa pria berpakaian hitam dengan badan kekar. "Kalian tunggu di luar dan berjaga-jaga!" perintah Josua. "Baik, Tuan," jawab mereka kompak. Pria-pria itu adalah anak buah Zayyan yang diutus untuk menemani Josua dan Niko agar menangkap Ruth serta pria yang bekerjasama dengannya. "Ayo masuk!" ajak Josua. Kedua pria itu masuk. Tak luka mereka menyelipkan senjata api dan senjata tajam di saku jas yang dipakai, sebagai jaga-jaga. Brak! Ruth dan seorang pria yang tengah asyik berbagi kehangatan di atas ranjang, sontak terkejut dan melihat ke arah Josua serta Niko. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Ruth sembari menutupi bagian tubuhnya dengan selimut. Josua menatap licik lelaki yang berada di atas ranjang dengan Ruth. Tentu ia kenal siapa lelaki itu. "Marvin!" sapa Josua ramah.
"Kakak!" Zea menutup mulut tak percaya ketika dokter menekan-nekan alat CPR di dada Zevanya. "Sayang!" Zayyan merangkul bahu wanita itu. Dia benamkan wajah Zea di dada bidangnya. "Jangan dilihat!" tukasnya. Sean dan Erwin serta beberapa dokter lainnya, masih berusaha memberikan pertolongan pada Zevanya dengan alat medis yang ada. Bahkan mereka tampak bekerja kian keras, setelah wanita itu wanita itu kejang-kejang. "Aku takut kehilangan kak Zeva, Kak. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dia." Isak tangis Zea terdengar menggema di dalam ruangan itu. "Ada aku dan anak-anak untukmu, Sayang. Jangan pernah berpikir sendirian. Kami semua menyayangimu dan ingin kau bahagia," tukas Zayyan. Tidak lama kemudian Samuel datang. Ia juga ikut terdiam ketika melihat Zevanya yang masih ditangani oleh dokter. Kondisi wanita itu memang kritis, apalagi dia kehilangan banyak darah. Kakinya juga patah dengan pendarahan otak kepala. Oleh sebab itulah, dirinya tak terpengaruh sama sekali wa
Ar tampak duduk gelisah, sedari tadi dia menelepon sang ibu, tetapi nomor ponsel wanita yang sudah melahirkannya itu tidak aktif sama sekali. "Mommy ke mana?" desahnya. "Kenapa, Kak?" Ziva langsung duduk di samping kakaknya itu. Ar tersenyum hangat. "Tidak apa-apa," kilahnya yang seolah mampu menyembunyikan kesedihan dari raut dan ekspresi wajahnya. "Kakak, kenapa tidak ingin main baleng Ziva, kak Zayn dan kak Zean?" tanyanya dengan wajah polos. "Kakak sedang tidak enak badan, Zi," kilahnya. "Kakak sakit?" Ar menggeleng, bukan tidak enak badan karena sakit, tetapi tidak enak badan karena menghawatirkan kondisi ibunya di luar sana. Hati Ar benar-benar merasa tak nyaman dan tak tenang. Bahkan jika bisa ia ingin terbang agar segera bertemu sang istri. "Son!" Kedua orang itu menoleh ke arah Zayyan dan Zea yang baru saja datang. "Daddy, Mommy!" Keduanya sontak berdiri. Zea mendekati Ar. Ia berusaha untuk tak mengeluarkan air mata, sebab tidak mau jika kepona
Di pemakaman, Ar tak hentinya menangis dan terus meneriaki nama sang ibu. Zayyan berusaha menenangkan putranya itu. Ia tahu hal ini tidak mudah bagi Ar, apalagi merelakan kepergian sosok yang begitu dicintai karena Zayyan pernah berasa di posisi anaknya, ketika dipaksa ikhlas saat ditinggal dalam keadaan belum siap sama sekali. "Mommy!" Teriakan histeris Ar beriringan dengan peti mati Zevanya masuk ke dalam tanah. Namun, sekeras apapun ia berteriak, hal tersebut tidak akan membuat sang ibu kembali lagi ke dalam dekapannya. Zea ikut meneteskan air mata. Bukan hanya Ar, dirinya pun terluka. Zevanya saudara satu-satunya yang tersisa, kini pun telah kembali kepada sang pencipta. Zea sekarang hidup sebatang kara, bahkan suami pun belum jelas. Namun, ia bersyukur karena ada tiga malaikat yang Tuhan kirim untuk menemani hidupnya. Zea menatap ketiga batu nisan di depannya. Zevanya sengaja dikebumikan di dekat Miko dan ibu kandungnya yang telah meninggal saat mereka kecil. Zea ter
Satu bulan kemudian.... Seorang wanita cantik tengah duduk di depan cermin. Dia tersenyum menatap pantulan dirinya yang terlihat begitu cantik. Dia tak menyangka bahwa dia akan secantik ini. "Mommy!" Tiga bocah kembar berlari masuk menghampirinya. Wanita itu tersenyum hangat sambil menyambut ketiga buah hatinya. "Ayo, Mommy! Daddy dan kak Ar sudah menunggu!" ajak sang putri kecil yang tampak begitu antusias. "Iya, Mommy," sambung putra sulungnya. "Wahhh Mommy cantik sekali. Andai saja Zean sudah besar. Pasti Zean yang akan menikahi Mommy," ujar putra keduanya. "Ck, kau bicara apa? Mana boleh menikahi Mommy sendiri?" protes yang paling tua. Wanita itu hanya tersenyum gemas mendengar percakapan anak-anaknya yang terdengar begitu lucu. Dirinya masih tak menyangka bahwa hari ini, akan menjadi hari paling bersejarah dalam perjalanan cintanya. "Sudah jangan beltengkal!" Ziva menagahi kedua kakak kembarnya. "Ayo, Mom!" Zayn dan Zean mengandeng tangan wanita itu untuk
Zea mengeliat di balik selimut tebalnya. Dia merasakan perutnya berat seperti sesuatu yang menimpa perutnya tersebut. Wanita itu membuka matanya perlahan dan dia langsung disuguhkan dengan wajah tampan sang suami yang masih memeluk nya erat. Zea tersenyum hangat dan pergulatan panas mereka semalam terekam jelas di kepalanya. Suaminya ini sungguh ganas dan buas luar biasa. "Selamat pagi, Sayang," sapa Zayyan tanpa membuka matanya. "Pagi, Kakak Suami!" balas Zea. Zea turun perlahan dari ranjang. Ah dia malu sendiri saat mendapati dirinya tak memakai sehelai benang pun. Pakaian mereka berserakan di lantai. Baju pengantin itu sebagai bukti bahwa kini keduanya telah kembali bersama. Zea bergegas ke kamar mandi. Untung sudah tidak perawan seperti pertama kali melakukan, kalau perawan kemungkinan dia tidak bisa berjalan akibat kebuasan Zayyan di atas ranjang. Suaminya itu seperti memiliki kekuatan baja yang sanggup menembus tembok pertahanannya. Zea menatap pantulan dirinya di depan