Bunyi samar isakan membuat Dimas terperanjat. Ternyata gadis asing itu sedang meleleh -lelehkan air mata. Jika tidak kelolosan suara isaknya, tidak disadari olehnya tangis Amira. Terlalu fokus pada pengharapan akan segera datangnya Antara. “Sangat sakitkah, Amira?” tanya Dimas hati-hati. Menduga Amira keseleo tetapi tidak jelas di posisi mana yang cidera. Si gadis terus menangis. Bunyi suara motor dari jauh membuat Dimas lega, itu pastilah Antara. Tidak ada kendaraan apa pun yang melintasi perkebunan teh di bagian atas. Kecuali di bawah memang hilir mudik pengangkut teh dengan motor trail membawa daun hasil petik untuk disetorkan ke pabrik dengan sistem timbang. “Amira, aku akan memboncengmu turun.” Dimas berbisik. Meski Amira membisu, dalam hati merasa lega. Memilih lebih baik dibonceng Dimas dan bukanlah Antara yang membawanya turun. “Bisakah bangun?” tanya Dimas lembut. Air mata Amira justru semakin meleleh sambil menggeleng. “Tidak masalah, akan kugendong ke moto
Mereka sudah komplet berkeliling menyusuri perkebunan kopi dan teh. Terasa lelah bagi Dimas, tetapi justru tidak bagi dua pasang orang tua serta sepasang kakaknya. Mungkin sebab terbiasa dan seperti olahraga. Orang tuanya Yunita yang notabene bos pabrik, ternyata fisik pun tidak kalah tahan banting. Termasuk dua balita kakaknya yang semangat meski sesekali minta gendong. “Aku capek banget. Yuyun duluan pulang saja ya, Ma!” seru Yunita yang duduk di ujung pada mamanya. Mereka singgah di lesehan kopi di kaki perkebunan. “Bentar, Yun. Itu teh hangat kamu dah diantar, juga ada getuknya!” seru ibunya membalas. Tidak menyanggah, gadis cantik tetapi dingin pada Dimas itu tetap duduk manis di tempatnya. Menyambut baki-baki berisi kopi panas dan teh hangat yang diulurkan oleh pegawai lesehan. Menyusul piring-piring kecil berisi sawut dan getuk, makanan khas pribumi berbahan baku singkong yang nikmat itu ke meja. “Kalian suka ya?” tanya Dimas pada dua keponakan yang langsung menyerb
Mereka mengunjungi perkebunan kopi milik orang tua Dimas yang luas. Pohon kopi sedang musim berbunga yang rasanya sungguh menakjubkan. Hamparan bunga warna putih dengan harum semerbak sangatlah menentramkan.Ingin rasanya rebah telentang dengan memandangi langit-langi yang berisikan bunga-bunga . Lebah-labah pun begitu asyik menyesapi madu dan tidak peduli dengan rombongan orang-orang yang datang. Bapaknya Dimas telah memasang beberapa kotak-kotak di banyak lokasi demi mendapatkan madu alami dari kopi. Lebah itu akan bersarang dalam kotak demi menyimpan madu yang sudah mereka isap dan usung dari bunga kopi. Sangat lumayan, selain mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarga, sesekali jika dikumpulkan bisa juga dijualnya. Yang Ori pasti mahal! Dimas sesekali melirik Yunita yang berjalan di sebelahnya. Orang tua memang sengaja mendekatkan mereka saat berjalan. Tetapi gadis itu terlihat tidak peduli dan hanya sibuk dengan ponsel. Dimas pikir mungkin saja sedang bimbingan online intensif de
Setelah perbincangan sore tadi, mereka pergi keluar bersama. Meninggalkan area perkebunan dan pabrik menuju Kota Wlingi yang tidak terlalu jauh. Memilih sebuah rumah makan di kawasan pusat kota, Beru-Wlingi untuk makan malam bersama-sama. Tidak banyak perbincangan di antara Dimas dan Yunita. Selain gadis itu bersikap diam dan terus sibuk dengan ponsel, Dimas merasa enggan untuk mengobrol. Selain dirinya pun bersifat tidak banyak bicara, bisa jadi sebab Yunita terlalu cantik yang membuat perasaannya justru merasa berjarak dan canggung. Mungkin akan lain cerita jika sikap Yunita ceria dan hamble. Riang sedikit saja seperti Amira misalnya. Amira…? Kenapa justru gadis bising itu yang terlintas sebagai contoh? Tetapi sedang apa dia, apa sudah makan. Ah, buat apa khawatir? Toh dia gadis modern dan memiliki stok uang tidak kurang-kurang. Dia juga terbiasa sendirian. Dimas berusaha keras mengabaikan. “Kamu jadi kembali ke Surabaya besok siang, Yun?” tanya bapaknya Yunita. Gadis yang
Rumah besar berbahan utama kayu jati kuno dengan halaman luas yang sudah beberapa bulan tidak diinjaknya, telah kedatangan tamu dengan mobil bagus berjajar. Meski terletak di pelosok, daya ekonomi warga sekitar bukanlah kaleng-kaleng. Sebersit tanya menyergap, kenapa bukan pihak lelaki yang datang ke rumah wanita, ini justru keluarga pihak wanita yang datang. Ah, mungkin pemilik pabrik tidak sabar menunggu. Maklum, pengusaha kebanyakan tidak suka menunggu dengan prinsip waktu adalah cuan. Ibunya yang anggun berkebaya, tampak keluar dan menyongsong. Diikuti seorang wanita cantik dan seorang lelaki di belakangnya. “Dengar, Dim. Calon istrimu kayak bidadari turun dari langit. Gak rugi ibuk nyuruh kamu cepat pulang. Ealah, malah kamunya lambat datang. Lekas gih masuk, mereka sudah lama nungguin kamu!”Ibunya langsung membawa kabar baik setelah Dimas sungkem dan mencium punggung tangannya. “Memang cantik, memang kaya, memang mapan, tetapi kalo tidak cocok, kurang sreg, janganlah dipa
Mereka barusan singgah di sebuah masjid besar di Kota Wlingi. Selain memenuhi panggilan dzuhur, sebab Amira tidak tahu lagi jalan mana yang harus diambil untuk lanjut mengemudi, dia andalkan adalah sistem GPS dan hanya mengambil jalur jalan raya menuju Kota Wlingi sesuai arahan Dimas sebelum tidur. Dia bangunkan lelaki itu ketika sudah parkir di halaman masjid. “Betul kah sudah tidak lagi mengantuk?” tanya Amira risau. Mereka meluncur meninggalkan area masjid. “Tak lagi, Amira, Terima kasih. Sekarang giliran kamu yang tidur.” Dimas menolehnya. “Ish, tadi kata tak lama lagi nak tiba kan?” tanya Amira. “Iya, memang, Amira….” Dimas mengatakan dua belas kilometer lagi akan tiba di perkebunan. Tidak habis tiga puluh menit untuk sampai di rumahnya. Nanggung amat buat tidur, lagipula mata tidak mengantuk. Padahal tidur semalam jika dikumpulkan total hanya kurang lebih satu jam. Itu pun hampir sepanjang jalan menuju Blitar dirinya yang mengemudi. Mulanya Dimas menolak, tetapi Amira