Sazleen Shanumi mendapat naas bertubi. Niat mencari dana cepat untuk ganti rugi kecelakaan akibat teledor, justru mendapat apes lagi. Dirinya ditangkap basah bersama Daehan, bos barunya di sebuah hotel dan mendapat sanksi dinikahkan. Tidak disangka, Intana, tunangan Daehan adalah korban kecelakaan yang sedang memerasnya. Daehan sama sekali tidak berminat pada sosok Shanumi yang di matanya adalah janda dengan wajah bengkak dan burik sebab suntik cantik. Namun, perjanjian berdua sebelum dipaksa menikah membuatnya terbelenggu.
View More“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….”
Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi (Sazleen Shanumi), asisten rumah baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung panjang dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya tak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulut yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribadi yang sedang bercuti. Mobil sport kesayangan Daehan tidak dirawat dengan benar. Terbukti saat dipakai hari ini, ternyata kap atas bisa dibuka tetapi tidak bisa ditutup. Padahal hujan turun deras mendadak dan jalanan sungguh macet. Terpaksa membelok ke hotel bersama si asisten baru. Mereka sama-sama basah kuyub. Setelah membuat transaksi, Daehan diikuti Umi pun mengekori seorang petugas hotel lelaki menuju lift. Naik ke lantai dua dan menghampiri sebuah pintu kamar dengan nomor 33. Tidak sengaja bertemu pandang dengan Umi yang buru-buru membuang wajah dan menunduk. Memilin tali tas warna coklat dengan ukuran sedang berisi baju-baju. “Wajahmu bengkak banget. Ish, nggak bersyukur. Suntik nggak kira-kira.” Daehan berkomentar dengan menatap risih wajah Umi yang cemas. Perempuan itu tidak banyak bicara. “Gak usah resah. Kita terpaksa satu kamar. Hanya buat tukar baju sebentar sambil menunggu orangku jemput! Jadi kamu jangan ke-ge-er-an!” ucap Daehan kasar tetapi tidak keras. Perempuan berbaju basah kuyup yang disebut dengan nama Umi pun mengangguk setelah membelalak. “Saya tahu diri lah, Pak. Nggak mungkin juga Anda minat pada gadis model buntal kayak saya, kan?” sahut Umi cepat. “Kamu ini udah janda, Um. Bukan gadis.” Daehan meralat ketus dengan raut meremehkan. Sorot ilfil tampak nyata di matanya. “Janda? Eh, anu, Pak. Saya…,” ucap Umi gugup dan bingung. Daehan mengibas tangan sambil menghempas napas suntuk. “Silahkan beristirahat. Semoga betah dan tidak mengecewakan. Permisi…,” ucap pegawai hotel menyela. Pintu kamar telah dibukanya lebar-lebar. Melenggang pergi setelah berpamit dan menyerahkan selembar kartu yang buru-buru disambar Daehan. Merasa diri mulai tidak enak badan dan meriang. Mengingat air panas ddikamar mandi dalam membuatnya tak sabaran. “Aku nggak lama, Um. Kamu mandinya habis aku, nggak tahan banget lengket air hujan.” Daehan menegur meski tidak ada gelagat Umi masuk ke kamar mandi. Perempuan itu hanya berdiri kaku dan terus bingung-bingung. Bibirnya sudah suram dan semakin membiru. Daehan telah tenggelam di kamar mandi dengan handuk putih yang disambar dari almari. Umi seketika menyandar dinding sebelah pintu dengan rasa lunglai. Pria mempesona yang berkharisma dan berwibawa dengan sejuta kekayaan dunia, tiba-tiba berada dalam satu kamar bersamanya. Mimpi apa semalam?! Terus saja tidak percaya rasanya. Padahal mereka belum lama bertemu. Bahkan belum ada satu jam. Kerudung pinjaman satu-satunya basah kuyup, beruntung mukena tidak pernah lupa dibawa ke mana-mana. Pria berbadan besar telah keluar dengan rambut basah yang membuat maskulin. Ketampanan wajah cerah itu bersinar maksimal. “Cepat, Um! Jangan bikin lantai banjir!” Daehan berseru sambil menghempas badan di ranjang sembarangan. Tidak juga mengelap rambut kuyubnya dahulu. Umi yang memandang buru-buru membuang muka kembali. Berjalan cepat ke kamar mandi. Handuk yang dipakai Daehan ternyata bathrope pendek. Tersingkap hingga ke pangkal paha yang hampir menodai mata. Sebab tidak ada pakaian dalam apa pun di sana. “Alamak, mataku ternoda! Dia ngremehin aku, benar-benar nganggep aku janda. Nggak ngerasa bersalah dengan tingkahnya. Meski aku rada bar-bar, tapi kan enggak liar…,” keluh Umi di balik pintu kamar mandi sambil menepuk-nepuk dada yang serasa akan meleduk kapan saja. Mengakui fisik Daehan yang begitu sempurna. “Aku harus kuat dan sabar. Gunungan upah di depan mata dan akan leleh tidak lama…,” ucap Umi ingin tersenyum. “Alamak, sakit!” pekik Umi tertahan. Bengkak dan memar di bagian wajah justru terasa ngilu saat dipakai tersenyum. Umi berusaha cemberut kembali susah payah. Sebab, dirinya bukan gadis yang suka larut dalam duka! Ingat saat kejadian. Nasib apes menyapanya malam-malam. Sahabat meminta membawakan motor yang ditinggal di kafe menuju satu tempat. Umi menyanggupi dengan senang hati. Khilaf, sebab agak gelap dan tidak biasa dengan watak si motor, tidak sengaja menabrak mobil mewah yang diparkir di tepian jalan raya. Alasan gelap kurang lampu tidak menyelamatkan dari tuntutan. Pemilik mobil yang cerewet meminta ganti rugi hingga puluhan juta. Shanumi pun terpaksa menyanggupi daripada diri di penjara. Malang tak dapat ditolak, hoki tak bisa diprediksi. Tawaran kerja dengan upah menjanjikan, meski agak tak biasa datang menghampiri. Datang dari bibinya yang mendadak sakit usus buntu dan harus operasi buru-buru. Mengabarkan jika sang mantan juragan mencari asisten rumah pengganti dirinya sesegera. Namun, dengan satu syarat wajib yang sempat susah dipenuhi. Yakni… harus wanita tidak menarik sebagaimana bibinya! Di sinilah Shanumi sekarang. Berbekal luka memar dan bengkak di wajah akibat kecelakaan tunggal malam tadi, Daehan menerimanya bekerja. Bujang sukses yang tampan itu mengira jika Umi sedang proses suntik filler di wajah. Menganggap jika asisten rumah baru yang disodorkan art lama tidak jauh berbeda. Wanita berpengalaman kerja rumahan dengan fisik yang sama sekali tidak menawan. Janda pulak! Aman… itulah prinsip Daehan. Demi mendapat kepercayaan dari ibunya untuk memperpanjang masa bujang. Menunggu kesiapan kekasih untuk dinikahi. “Kamu kayak mau umroh saja, Um,” ucap Daehan berkomentar. Meski matanya sudah akan menutup, kini membuka lagi. Melihat Umi duduk gelisah di sofa kamar dengan mengenakan mukena atasan. Padahal waktu shalat maghrib barusan berlalu dan mereka sudah menunaikan di mushola sebelum berangkat. Perjalanan adalah dari rumah bibinya Umi di daerah Cangar-Batu menuju kota domisili Daehan di Surabaya. Kini terpaksa singgah di sebuah penginapan perbatasan. Curah hujan tinggi disertai angin kencang. Mereka berdua totalitas kehujanan. “Saya lupa nggak bawa jilbab lain, Pak. Yang tadi itu basah, gak layak pakai.” Umi menyahut lambat. Meletak ponsel di meja dan bersiaga, barangkali Daehan memberi perintah sesuatu. “Ya udah, sini…!” seru Daehan sambil membalik badan, tengkurap. Matanya kini memejam. “Emmm, minta dipijat ya, Pak? Dioles minyak angin juga ya… maaf, saya pun agak kembung, jadi bentar saja ya, Pak?!” sahut Umi meyakinkan. Berusaha tenang meski dada berdebar cemas tak karuan. “Baiklah, sesukamu!” jawab Daehan akur. Alasan Umi masuk akal sebab barusan kena hujan. Juga merasa senang dengan respon art barunya yang tanggap dan tidak canggung. Sudah seperti asisten rumah yang lama saja rasanya. Terutama, rupa buriknya! Tentu saja, Umi sempat menanggap bibinya tentang perwatakan Daehan cukup detail. Tidak ingin mengecewakan, Umi naik ke ranjang dengan gesit. Membalur telapak kaki lebar, bersih dan panjang itu dengan minyak angin krim yang disambar dari atas meja. Mungkin Daehan memang sudah menunggunya sejak masih di dalam kamar mandi. “Sebelum ini, kamu jadi pengasuh bayikah, Um?” tanya Daehan tiba-tiba. Umi yang mulai santai jadi sangat kaget. Dipikir pria yang dia pijat sudah tidur, tiba-tiba bersuara. “Eh, anu… eh, iya. Kenapa, Pak?” sahut Umi. Memijatnya berhenti. Merasa jadi canggung, orangnya sadar. “Tanganmu, Um. Halus, nggak kayak Bi Rum, parutan aja lewat…,” celetuk Daehan. “Iya, Pak. Saya ada krim anti kapalan dan udah cocok!” Umi memberi alasan meyakinkan. Padahal, kerjaannya sangatlah mudah selama ini. Kasir di kafe milik sendiri! Dia adalah bos muda yang cantik dan good body. Hanya sedang apes dan harus ganti rugi. Hingga mendapat pekerjaan yang sebenarnya sungguh menyiksa jiwa bagi Shanumi! Tok Tok Tok Umi kembali terkejut dan menoleh ke pintu. “Bukain, Um. Tadi aku pesen makanan,” ucap Daehan santai sambil mengubah posisi miring kepalanya. Shanumi gesit turun ranjang dan menuju pintu. Sangat terkejut saat sudah dia buka lebar-lebar daun pintu. Tiga orang berseragam dinas coklat telah siaga di depan pintu kamar. Alias para petugas satpol PP dengan wajah-wajah garang bak raja hutan! Alamak! Bagaimana ini?! 🍓 Dearest Readers.... Mohon Vote dan penilaian buku ini yaaa Mohon subscribe dan ulasan bintang 5 agar penulis semangat. Terima kasih.Aroma mawar dua warna dari buket bunga di meja sudut, tajam menyapa hidung. Lampu temaram menyinari ranjang luas yang dihias taburan kelopak mawar lebar warna merah. Bunga-bunga nuansa pink dan merah, juga dirangkai berkeliling dinding ranjang. Suasana sungguh berbeda saat ditingglkan sore tadi. Siapa dalang rahasia dekor kamar ini? Tapi alih-alih nuansa romantis, suasana di dalam kamar dengan dua insan yang tidak begitu kenal, justru tampak kikuk. Mama Azizah telah undur diri dengan meninggalkan Irgi bersama mamanya dalam kamar. Erick lebih dulu menghampiri dan duduk di ranjang, melepas sepatu dan kaus kaki yang sudah membuatnya gerah beberapa jam. Di belakangnya, Osara menggandeng Irgi, bocah dua tahun yang sudah menguap berkali-kali sebab gagal tidur dan sukses diambilnya dari gendongan Erick. Rasanya lega tetapi…. Irgi tiba-tiba melepas gandengan, lalu naik ke atas ranjang sambil berteriak kecil, “Papah Eyik... bobox!” Osara otomatis berhenti melangkah. Wajahnya menegang.
“Sorry ya, Sa. Sebetulnya, aku sudah mau datang awal pas akad nikahanmu di kedutaan pagi. Tetapi tiba-tiba mantanku datang ke rumah ngajakin jalan.” Amira memasang muka sedih sambil memegangi tangan lembut pengantin. “Jadi ini baru balik dari jalan? Ke mana saja kalian ngedate?” Osara menyambut dengan sedikit mencibir. Ini sudah dekat larut malam, kebiasaan bucin Amira yang kencan hingga tidak ingat waktu. “Ke mana saja... banyak, ah! Yang jelas, aku sudah….” Amira tidak meneruskan setelah melirik pengantin lelaki. Merasa segan yang ternyata ikut memperhatikan saat berbicara. Suami Osara yang kabarnya seorang penerbang dan faktanya putra seorang dubes, memang sangat gagah dan tampan! “Sudah apa? Kamu sudah balikan lagi sama mantanmu, begitu?” tebak Osara yang jawabannya pastilah benar. Sebab Amira sedang tersenyum-senyum mencurigakan. “Dia nungguin di pagar hotel. Dia kata malu saat kuajak masuk ke sini. Maaf ya, Osa. Aku langsung pamit saja habis ini.” Amira berbicara den
Intana semakin mendekat pada mempelai perempuan. Bahkan sudah terlihat merapat yang masih berbicara dengan lirih dan berbisik. “Apa kamu tidak ingin tahu? Wanita idaman Erick itu yang bagaimana, Osa?” tanya Intana yang sengaja mengulangi. Osara yang melihat ke arah lain, kembali berpaling dengan tatapan tajam pada Intana. Sebenarnya sangat malas menanggapi. Tapi kata-katanya sungguh membuat jadi risih. “Aku bilang padamu ya, Osara. Agar kamu bisa belajar ke depannya untuk menyenangkan hati suami kamu.” “Model wanita yang disukai Erick adalah model sepertiku dan seperti Shanumi. Wanita berlekuk bodi sempurna dan aduhai. Tetapi … justru kamu yang dinikahinya, padahal tubuhmu kerempeng, apa kamu telah memikatnya dengaan jalur duka? Ampuh sekali. Selamat ya, Osara!” Intana berbicara lembut tetapi menusuk bagi Osara. Namun, rasanya terus malas menanggapi meski hatinya sedikit sakit sebab seluruh ucapannya. “Aku khawatir dia tidak akan selera padamu, Osa. Maksudku… Erick tidak t
Bukan menyembur atau menegur. Osara dengan mudah berbalik menghadapnya. Ternyata menangis. Hal yang tidak disukai Erick. Dipikir akan gembira dengan penemuan hantaran dalam almari, tetapi justru kesedihan belaka yang didapati. Apa lagiii laah… keluh Erick dalam hati merasa bingung. “Sebaiknya tidak usah dikasih-kasih kayak gini. Ini semua tidak akan terpakai.” Osara bicara sambil berusaha menghempas bersih sisa tangis. Tidak lupa menepis tangan Erick dari bahunya. “Kenapa tidak? Kamu tidak pakai sekarang, bisa kamu pakai entah kapan. Tidak busuk, kamu kasih siapa juga bukan masalah.” Erick memberikan solusi. Hanya hal sepele saja sudah menangis. Aarrggh! Osara bergeser ke almari sebelah yang lebih kecil. Di sana ada beberapa gamis terlipat rapi. Sepintas juga ada baju milik Erick. Segera Diambilnya satu dan dibawa ke kamar mandi untuk ganti. Tidak lama pun keluar kembali. Telah bertukar ke baju yang lebih ringan dengan warna kerudung senada. Manis terlihat padanya. “Pak Eri
Erick ingin tertawa tetapi khawatir Osara tersinggung. Setelah shalat bersama selesai. Mamanya Irgi buru-buru menyudahi. Melipat sajadah dan mukena dengan kilat serta meletak asal di atas meja rias yang lebar. Kemudian naik ranjang dan meletak badan dengan memakan banyak tempat. Irgi digeser sedikit di pinggir dan diletak bantal guling sebagai pengaman. Terlihat penuh yang tidak mungkin orang lain ikut menempati. “Kamu gak ngelepas baju kamu, Osa?” tanya Erick peduli. “Ngelepas baju? Apa maksudmu?” Osara menyahut meski tadi sempat terlihat tidur memejam mata. Erick tahu jika itu hanya pura-pura demi menghindari segala suasana. “Oh, ya ampun, Osa. Tukar baju maksudku. Kulihat bajumu kayak nggak nyaman.” Erick menunjuk baju Osara dengan dagu. Dia berdiri menjulang di samping ranjang.Baju Osara adalah gamis model princess melebar dan atas semi kebaya warna merah jambu. Sangat modis, indah dan cantik dikenakan. Terlihat fresh dan berisi saat dipakai meski Osara golongan badan kurus.
Ceklerk. Harum semerbak menyambut begitu pintu dari suite room mewah terbuka lebar-lebar oleh Papa Handy. Mereka ber empat masuk ke dalam kamar mendahului pengantin yang membisu di depan pintu. Tetapi mau tidak mau, sepasang pengantin baru masuk juga mengikuti para orang tua yang begitu bersemangat. “Ini kado dariku, Osara.” Mama Azizah meletakkan sekotak size sedang berbalut hiasan unik di atas meja. Osara yang diberi hadiah enggan menerima dengan tangannya. “Jangan lupa dibuka. Ini sudah bersih, siap dipakai.” Mama Azizah kembali berbicara penuh ekspresi yang tak biasa. Menggoda anak perempuan yang dia sudah mulai bisa meraba apa masalahnya. “Ini juga hadiah dari Mama barumu ini, Osara. Juga sudah siap pakai lho.” Mamanya Erick yang asli Surabaya dan berlogat medok sana, juga meletak sekotak yang sizenya hampir sama dengan kotak Mama Azizah. “Papa akan ngasih hadiah buat kalian nanti malam ya. Habis acara resepsi….” Kali ini ayahnya Erick berbicara. Papa Handy hanya tersenyu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments