ANDINI's POV BRAAK! Sesaat aku masuk ke dalam villa untuk mengambil peralatan penataan bunga, aku dikejutkan dengan suara cukup keras. Kuintip lewat jendela depan, benar saja dugaanku. Bunga-bunga anggrek yang tadi kutaruh di area parkiran, rusak terlindas mobil Baskara yang mundur tadi. Pot-pot itu sudah retak, bahkan pecah. Kulihat beberapa tanamanku rusak batang hingga daunnya. “Ya Allah…” aku hanya bisa mengelus dada. Kenapa benda sebegitu besarnya tidak terlihat dari dalam mobil? Aku segera berlari ke luar dan memunguti anggrek-anggrek itu beserta potnya. Mak Ijah sudah siap dengan membawa kardus besar untuk membawanya. “Mbak, maafkan Tuan Baskara, beliau sedang banyak pikiran…” tanpa banyak bicara lagi, Mak Ijah membawanya ke taman belakang. “Saya dulu suka merawat tanaman anggrek. Punya Mbak Andini ini masih bisa terselamatkan.” Ujarnya sambil memotong-motong bagian yang terlindas namun akarnya masih selamat. “Mau diapakan itu batang atasnya, Mak?” tanyaku. Beliau mem
ANDINI’S pov Hal yang membuatku bertahan sampai sekarang di kontrak ini adalah ibuku. Tanpanya, aku sudah barang tentu membatalkan ini semua dan melanjutkan rencana kaburku. Mak Ijah, satu-satunya temanku di villa sekarang, juga ikut andil dalam usahaku untuk bertahan. Aku mungkin tidak akan betah tinggal di villa jika tidak ada dirinya. Nasehat-nasehat beliau selalu meresap di hati dan bisa mengobati kegundahanku. Sesampainya di rumah Baskara, aku sudah disambut oleh seorang lelaki berbaju batik dengan sepatu yang mengkilat. Kami duduk di area garasi rumah dan didampingi oleh beberapa lelaki lain berseragam serba hitam, Dari pembawaannya terlihat dia bukan orang sembarangan di sini. “Apa yang harus saya katakan nanti?” tanpa berlama-lama lagi, aku bertanya pada lelaki yang baru kutahu namanya Pak Darwis, juru bicara keluarga Baskara. Sepertinya orang ini juga ikut saat pernikahanku berlangsung dan bahkan saat kami masih berada di rumah sakit beberapa bulan silam. “Kamu cukup bi
BASKARA’S pov Selesai konferensi pers, Papa terlihat lebih lega dan tidak uring-uringan lagi. Sepertinya semua berjalan sesuai rencana. Wajahnya terus saja tersenyum sejak tadi. “Bas, baru kali ini kamu punya teman wanita yang pintar dan nurut… sayangnya dia bukan istri sahmu.” Papa menepuk-nepuk pundakku. Hal ini aku yakini membuat namaku semakin baik di hadapan Papa. Meski Laura masih belum bisa aku kondisikan dengan hobi shopping-nya. “Ah, Papa. Dia istri sah, Pa. Hanya saja untuk sementara…” Selorohku sambil tertawa. Pembicaraan ini untungnya hanya melibatkan kami berdua saja. “Jangan kau bilang kalau kau juga menikmati tubuhnya seperti Laura?” Papa menimpaliku yang belum berhenti tertawa. Pertanyaan Papa membuatku terkejut bak tersambar petir di senja ini. Jantungku terasa berhenti berdetak seketika. “Bas, jawab Papa! Jika sampai perempuan itu hamil, urusannya akan semakin rumit. Papa harap kamu bisa tahan nafsumu.” Nasehat Papa dimulai. Teringat akan perbuatanku pada Andi
ANDINI’s POV “Mbak Andini?” Mak Ijah menemukanku berada di ujung taman duduk menyendiri. “Sudah hampir malam Mak. Apa kita masih lama di sini?” Tanyaku. Semenjak beberapa bulan tinggal di villa, aku jadi tidak tahan lama-lama di luar. Aku merasa dunia luar tak seaman dulu. Bayangan keluarga Baskara beserta anak buahnya selalu menghantuiku ke manapun aku pergi. “Mbak, kita tidak akan pulang untuk sementara.” “Lho, memangnya mengapa Mak?” Hal ini mengejutkanku. Karena di awal, rencananya kami akan segera pulang ke villa setelah acara konfrensi pers selesai. Aku teringat pada anak-anak yang harus aku beri bimbingan privat Bahasa Inggris serta bunga-bunga yang baru aku beli. “Kita harus di sini dulu. Cuaca di villa sedang hujan dan beberapa jalan lumpuh. Mbak Andini sekarang jadi sorotan setelah konfrensi pers tadi. Saya lihat tadi pas Mbak Andini wawancara, kelihatan pintar ngomongnya.” Mak Ijah menuturkan. “Mak, lalu bagaimana dengan anak-anak yang di sana? Bunga-bungaku?” Rasa c
BASKARA’s POV Laura melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan perlahan. Jantungku berdegup makin kencang. Aku tak bisa menebak gerakan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. “Laura…” “Iya… ini kan yang kamu mau?” Dia menggerak-gerakkan kedua tali bajunya yang membuatku semakin bergairah melihatnya. Tubuhnya sudah hampir terbuka sepenuhnya, kedua tanganku sudah bersiap menggapai Laura. Tok, tok, tok…. Suara pintu kamarku diketok oleh seseorang. Aku dan Laura saling berpandangan. Siapa yang datang malam-malam begini? “Mengganggu saja!” Gerutuku. “Biar aku yang melihatnya, okay?” Laura memberikan sebuah kecupan padaku dan kemudian memakai kimono untuk menutup pakaian dinasnya tadi. “Huh!” kulemparkan bantal karena kekesalanku. Kenapa di saat aku akan bersenang-senang dengan istriku, malah hadir seorang pengganggu. Aku mendengar Laura berbincang dengan seseorang. “Iya, Ma… baiklah. Bisa… iya…” Laura kembali mendekatiku setelah menutup pintu. Raut mukanya nampak kebingungan. “Ada k
ANDINI’s POVMemperhatikan setiap gerak-gerik Baskara adalah hal mustahil di rumah sebesar ini. Nyaris pembantu dan majikan tidak akan bertemu, kecuali jika memang bekerja di ruang-ruang utama rumah ini. Santi sejak pagi tidak nampak batang hidungnya, mungkin dia melayani ayah Baskara dan membersihkan banyak hal di ruang atas.Mak Ijah pergi sebentar lalu tiba-tiba kembali lagi ke dapur. Matanya mencari-cari seseorang.“Mbak Andini…” tiba-tiba dia memanggilku. Aku memang tadinya bekerja membersihkan sayur-sayuran di dekat sink cuci piring.Kali ini aku sudah duduk manis di meja samping memotong-motong paprika serta cabe.“Iya, Mak?” jawabku.Tangannya melambai. Aku mendekatinya sambil menyisihkan terlebih dahulu bahan-bahan yang sudah aku potongi.Dengan suara yang rendah Mak Ijah berbisik, ”Mbak Andini, dipanggil Tuan Baskara. Katanya penting.”Baskara? Kenapa memanggilku lagi…“Mak, bukannya urusan soal konferensi pers sudah selesai. Apa lagi yang harus saya selesaikan?” tanyaku sam
BASKARA’s POV Selama hubungan mutualisme antara aku dan Andini berjalan, belum pernah sekalipun Andini menjadi pihak yang menginginkan hubungan di dalam kamar tidur. Selalu diriku yang menjadi monster untuk memaksakan kehendak kepadanya. Seakan aku adalah penjahat yang selalu dan selalu memberikan tekanan pada Andini untuk memenuhi hawa nafsuku. Buah dari kesabaran dan kegigihanku, Andini akhirnya bertekuk lutut dan semalaman menjadi sosok yang mampu membuatku terpuaskan. Laura biasanya hanya bertahan sekali atau dua kali, lalu dia kelelahan dan memintaku untuk berhenti. Tak jarang juga dia menolakku. Bersama Andini, aku punya banyak hal yang bisa kugunakan sebagai alibi untuk membuatnya tak berdaya menolakku. “Sudahlah, kembalilah tidur di sini…” Dekapku padanya yang sedari tadi mengendap-endap di balik pintu. Tak juga Andini berpindah dari posisinya mengawasi area luar kamar. Setelah berhasil kubawa tubuhnya kembali ke ranjang, kupeluk erat-erat. Baru kurasakan sekarang, Andin
ANDINI’s POVAkhirnya Mak Ijah mengizinkanku untuk menghubungi ibuku. Rindu yang sudah terpendam sekian lamanya. Akhirnya aku bisa melihat ibu dan adikku. Kami berbincang cukup lama.Di luar dugaanku, Prasetia, sosok yang selalu ada dalam tiap doaku… muncul juga dalam layar ponsel. Dia baru datang katanya.Melihatnya walau tak bisa menyentuhnya, hatiku sudah cukup senang. Tatapan matanya nampak sayu, apakah dia juga merindu sepertiku?Sebenarnya ingin aku bermanja-manja dengannya, karena kami sekarang sudah sama-sama tahu bagaimana perasaan kami, hanya aku malu. Ada ibu dan adikku di sebelahnya. Saat-saat beginilah aku begitu merindukan memiliki ponsel sendiri agar lebih privasi.“Jaga dirimu…” Kalimat terakhir Prasetia sempat terucap, sebelum Baskara diam-diam ketahuan menguping pembicaraan kami dan aku mengakhiri panggilan.Tanganku menjatuhkan ponselnya ke ranjang.Saat diriku hampir menangis sesenggukan, Baskara mengatakan kalimat yang membuatku seperti tersengat listrik jutaan vo