ANDINI's POV
Suasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.
Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan.
"Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.
Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik.
"Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.
Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.
Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
"Kamu yang sabar ya, Andini…"Suara Paman membuatku semakin yakin akan firasatku tadi pagi ketika Ibuku menelpon dengan isak tangis yang histeris. Paman Adi dan Bibi nampak lesu."Ibu dimana?" tanyaku pada mereka. Nafasku masih belum bisa teratur. Aku berlari dari lobby hingga ke mari.Mataku melihat sekeliling, aku tak mendapati ibuku yang pagi tadi meneleponku. "Ibumu masih di ruang rawat inap. Tapi tenang saja, ibumu tidak kenapa-napa hanya kelelahan.." Paman mencoba menenangkan aku.Setelah duduk di ruang tunggu UGD, Paman dan Bibi menceritakan kronologis insiden kecelakaan yang membuat ayah belum sadarkan diri."Rencananya ayahmu akan dioperasi sore ini. Menunggu hasilnya keluar.." Jelas Paman sambil matanya berkaca-kaca. Beliau terlihat terpukul. Aku hanya bisa menutup bibirku dengan kedua tangan. Air mataku sudah jatuh membasahi pipi sejak tadi."Lalu bagaimana biaya operasinya...Apalagi, kondisi keuangan keluarga sedang memburuk!” Gumamku lirih. Aku sudah terbayang dengan b
“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau, Baskara Jayakusuma bin Haji Agus Jayakusuma dengan Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin dua ratus gram emas mulia dibayar tunai!"Ucap Paman Adi sambil menjabat tangan laki-laki yang sedang menjalani ijab qabul. Beliau menjadi wali nikahku, mewakili Ayah yang telah tiada.“Saya terima, nikah dan kawinnya Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin tersebut, tunai!” jawab lelaki yang duduk bersanding denganku, tanpa jeda sejenakpun.Hatiku semakin berdegup saat namaku disebut dalam acara yang menegangkan ini. Bisa-bisanya aku menyetujui pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Padahal kami baru sekali bertemu. Itupun aku tidak berani menatap wajahnya sama sekali."Bu.."aku memeluk Ibuku dengan erat.Nafasku seperti terhenti."Maafkan Ibumu, Andini, maafkan Ibu..." berkali-kali Ibu meminta maaf padaku. Tangsinya tak tertahan lagi.“Ibu tidak punya pilihan…” Bisiknya sambil mengelus-elus pundakku.Aku tahu jika pernikahan ini ha
Mataku terbuka perlahan. Melihat sosoknya dari dekat. Rupanya ini bukan mimpi. "Andini!" Sosok itu memanggilku. Siapa yang malam-malam begini mendatangiku? Apakah itu....Ya, sosok yang mendekat itu adalah Baskara."Ayo, bangunlah. Cepat!"Ia tertawa sinis dan menjelma menjadi monster yang menyeramkan saat malam.Ia meraih tanganku dan membangunkanku dengan paksa karena aku sama sekali tidak beraksi dengan upayanya membangunkanku tadi. Emosinya mulai naik."Andini, cepat bangun... Atau kamu mau aku melakukannya saat kamu tidur?""Tuan, apa yang Tuan lakukan malam-malam di kamar saya?" suaraku masih parau.Aku memberanikan diri untuk menepis tangannya yang sejak tadi mencengkeramku. Sementara mataku masih belum mampu terbuka sepenuhnya.Segera kutarik selimutku sekuatnya untuk melindungi tubuhku."Aku juga tahu ini sudah malam!" Ia tertawa sinis.Wajahnya seperti orang yang sedang kerasukan."Tuan jangan mendekat! Atau saya akan berteriak..." aku mulai menangis ketakutan. Tanganku be
BAB 4"Pak Gun, saya balik dulu, Jaga dan awasi Andini...” Komando Baskara pada Pak Gun, penjaga villa setelah selesai mengemas barang bawaannya.Aku berdiri mematung di dekat pintu. Melihat untuk yang terakhir kali sebelum lelaki itu pergi.“Jangan sampai dia kabur. Akhir pekan nanti saya ke sini. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi saya. Sekalian cek juga perkembangan proyek rumah baru. Saya tidak mau mandor-mandornya curang seperti waktu membangun villa ini dulu.”Rumah baru? Oh, rupanya yang dimaksud proyek itu adalah rumah baru. Mungkin untuk tempat tinggal selir-selir Baskara.“Kenapa kamu sejak tadi terdiam? Kamu senang pastinya kalau aku tidak ada di sini.”Kali ini Baskara berjalan mendekatiku. Baiklah, aku harus menahan emosi karena hari ini juga hari terakhirku berada di sini.“Jangan mencoba untuk kabur. Di depan ada dua security yang selama dua puluh empat jam akan menjaga villa. Dan proyek rumah baru juga tidak jauh dari sini. Kamu dalam pengawasan banyak orang, Andini
Kepalaku terasa berat dan mataku tak sanggup untuk kubuka. Aku merasa remuk redam di sekujur tubuhku. Kakiku pun tak bisa kugerakkan dengan leluasa. Sendi-sendi ini terasa terhimpit satu sama lain. “Aahhh…” Erangku. “Kamu sudah bangun? Syukurlah…” suara seorang wanita mendekatiku. Di mana aku? Kulihat sekeliling. Apakah aku sudah di alam kubur? “Pak Gun, dia sudah siuman.” Seseorang yang tadi akhirnya mengabarkanku pada Pak Gun. Tunggu, Pak Gun? Berarti aku masih hidup dan aku masih di area dekat villa. Ya Tuhan, semalam aku berencana kabur dan gagal. Lalu… bagaimana bisa aku berakhir di tempat ini? Dan kepalaku terasa sangat berat. “Terima kasih Bu Bidan, sudah merawat Mbak Andini semalaman.” Jelas itu adalah suara Pak Gun. “Akan saya bawa Kembali ke villa.” “Tunggu, Pak. Saya tidak mau kembali ke villa.” Elakku. Aku tak mau jika harus berhadapan dengan Baskara lagi. Bagiku, lebih baik mati daripada harus kembali. Toh semalam aku sudah bertarung dengan maut untuk berupaya
Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu. Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi. “Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali. “Apa?” Baskara terkejut. “Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. “Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.” Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun. Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati. “Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan. “Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku. “Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…” Aku menggeleng. “Lalu, apa maumu
Dugaanku tidak salah. Hal yang sesungguhnya tidak ingin aku saksikan akan terjadi. Sebuah nama terpampang di kertas undangan mewah berbalut warna emas dan merah. Kedua netraku masih terpaku pada tiap foto hasil jepretan fotografer handal ibukota. Baskara Jayakusuma bersanding dengan nama Laura Wright Danardi. Hatiku pecah berkeping. Baru semalam rasanya rasa cinta itu muncul dan berbunga. Tiba-tiba layu seketika. “Lho, Mbak Andini sudah baca undangannya?” Mak Ijah membangunkanku dari lamunan. Seketika aku letakkan kembali undangan mewah ke atas meja. Air mata sebisanya kutahan. “Eh, anu. Tadi Tuan Baskara berpesan, akhir pekan ini untuk mengajak Mbak Andini juga menghadiri pesta pernikahan Tuan Muda.” Pak Gun menyela. Setelah dia memindahkan beberapa pot bunga keluar ruangan, Pak Gun mendekati kami. “Apa sebaiknya Mbak Andini segera siap-siap saja, siapa tahu ada barang yang dibutuhkan untuk dibeli.” Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban kali ini. Kepalaku seper