Pagi harinya mata Kiara begitu sembab karena terlalu lama menangis.Cuaca yang cerah tidak seperti hati Kiara yang mendung.Benar-benar tidak bersemangat untuk menyambut pagi hari ini.Namun, Kiara tetap memiliki untuk pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibunya.Semoga saja keadaan Diana sudah lebih baik, itulah harapan yang saat ini tersimpan di hatinya."Kamu mau kemana?" tanya Chandra saat melihat Kiara yang hendak membuka pintu.Kiara pun menoleh dan melihat Chandra dengan malas.Sedangkan Chandra melihat wajah Kiara yang pucat, mata sembab dan rambut acak-acakan."Apa penting kamu tau?" tanya Kiara dengan sinis.Tapi Chandra hanya diam saja."Ah, iya. Aku lupa, kamu suami ku ya?" ejek Kiara.Kemudian Kiara pun menatap Chandra dengan miring."Suami tidak diinginkan!" tambah Kiara.Sesaat kemudian Kiara pun segera pergi dan tak butuh ijin dari Chandra.Tapi Chandra pun segera mengikuti kemanapun perginya Kiara."Kiara, tunggu," Chandra pun menghentikan langkah kaki Kiara yan
Semua biaya pengobatan Diana sudah ditanggung oleh Chandra.Namun, dia memilih diam karena tak ingin menimbulkan kesalahpahaman lagi.Saat pagi tadi dokter yang menangani Diana menghubungi dirinya.Dimana dokter itu adalah temanya sendiri.Kemudian mengatakan bahwa keadaan Diana semakin memburuk dan ditemukan lagi penyakit yang serius.Setelah dipastikan ternyata penyakit tersebut sudah cukup lama diderita, sehingga harus benar-benar ditangani dengan baik.Diberikan pilihan yang terbaik dan Chandra pun memutuskan untuk mengirim ke luar negeri tanpa berbicara pada Kiara.Dia takut Kiara menolak bantuannya sedangkan keadaan Diana sudah begitu buruk.Bahkan Diana dan Farhan sendiri tidak tahu tentang biaya pengobatan karena dokter merahasiakan sesuai dengan keinginan Chandra sendiri.***Hingga akhirnya Kiara pun sampai di kampus.Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali.Setelah turun dari mobil Chandra pun langsung melenggang pergi.Kiara sedang mencari keberadaan dia teman
"Kok tidur?" tanya Dinda melihat Kiara yang benar-benar tidak bersemangat sama sekali."Males banget liat wajah dia!" gerutu Kiara.Orang yang dia maksud adalah dosennya sendiri, Chandra."Nggak boleh gitu, nggak baik tau," Dinda pun memperingati Kiara agar tidak bersikap demikian."Perasaan kamu belain dia mulu, deh. Sebenarnya sahabat kamu aku tau dia sih?""Kiara, kamu kok ngomongnya begitu? Dia juga udah berusaha untuk membiayai pengobatan Ibu kamu," bisik Dinda agar suaranya tak sampai didengar oleh yang lainnya."Siapa suruh? Aku nggak minta!" jawab Kiara.Membuat Dinda hanya bisa menarik napas frustasi mendengar jawaban Kiara.Bagaimana pun saat ini tentunya kekecewaan masih begitu besar tersimpan dalam hatinya.Tapi paling tidak Dinda telah berusaha untuk meredam emosi Kiara.Sedangkan Chandra tahu Kiara pastinya tak ingin melihatnya hingga memilih untuk tidur di kursinya.Lain halnya dengan Moza yang mendadak senyum-senyum sendiri sambil melihat ponselnya."Kamu kenapa?" tany
"Yang bikin Moza," Moza pun menunjuk perutnya."Kamu tanya sama Nyonya Dinda?""Iya, malah katanya dia juga sering ngemut eskrim itu. Bikin Moza tampah pusing aja," gerutu Moza.Sedangkan Hilman terkekeh geli sambil geleng-geleng kepala melihat wajah polos Moza."Kok Kakak, senyum-senyum sendiri?""Lupain aja pertanyaannya, kita makan apa?" Hilman pun memilih untuk tak lagi membahasnya.Karena Moza hanya membuatnya menjadi tertawa terbahak-bahak karena kepolosannya."Makan siput gimana?""Baiklah."Hilman pun setuju dan segera membawa Moza sesuai dengan keinginannya.Benar-benar tidak tanggung-tanggung.Moza memakannya dengan begitu lahap sampai mulutnya begitu belepotan."Dasar anak kecil, makan pelan-pelan," kata Hilman.Moza pun melihat ke arah Hilman dan berpikir sejenak.Kemudian dia pun berbicara, "Seharusnya, Kakak lap pakai tisu, yang kayak di film-film itu lho, Kak," jawab Moza dengan wajah polosnya."Ahahahhaha," Hilman kembali tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Moza.
"Kak, mampir di supermarket di depan situ ya," Moza pun menunjuk ke depan sana.Hilman pun menurut dan segera menepikan mobil seperti yang diinginkan oleh Moza.Sesaat kemudian Moza pun turun dan Hilman juga mulai mengikuti.Moza mencari stroller untuk beberapa beberapa barang yang akan dia beli."Sini, Kakak yang dorong," Hilman pun segera mengambil alih.Dan Moza mulai memilih beberapa camilan yang menurutnya sangat enak."Kakak, nggak beli apa-apa?" tanya Moza karena Hilman hanya mengikuti dirinya saja."Nggak, Kakak nggak bawa duit," jawab Hilman.Hilman sedang menahan tawa karena menantikan jawaban konyol Moza selanjutnya.Sedangkan dompetnya tentunya selalu dia bawa pada saku celananya.Sedikit berbohong saja."Ya udah nggak papa belanja aja, kan Moza masih punya utang.""Jadi, Moza bayar aja," terang Moza.Benar sekali tebakan Hilman sebelumnya.Jawaban Moza yang konyol itu tampaknya akan terus melekat pada Moza."Nggak usah, antar aja," tolak Hilman.Moza pun mengangguk dan tak
"Kak Hilman!" pekik Moza yang semakin menjadi-jadi.Tangan pria itu seakan membuatnya risih karena berkeliaran dengan sesukanya.Sedangkan untuk membebaskan diri pun telah dilakukan oleh Moza berulangkali.Sayangnya dia terlalu kesulitan untuk bisa terbebas."Baik lah, buatkan kopi," perintah Hilman.Saat itu Hilman pun mulai melepaskan Moza.Tentunya Moza lebih setuju dengan keinginan Hilman dari pada terus mendapatkan kekesalan.Tapi saat itu Hilman pun mulai mengingat sesuatu.Seketika matanya pun membulat dan melihat Moza yang sudah mendekati pintu.Ah, Hilman sempat lupa jika kopi buatan Moza rasanya aneh.Bagaimana bisa dia meminta Moza kembali membuat kopi untuknya."Moza, tunggu!" Hilman pun segera mendekati Moza.Langkah kaki Moza terhenti berubah menatap Hilman dengan penuh tanya."Apa lagi?" tanya Moza dengan kesal."Kakak mendadak nggak pengen kopi," ujar Hilman.Tentunya Moza menatap Hilman dengan perasaan bingung."Kakak, gimana sih? Tadi minta dibuatkan, sekarang?" Moza
Tidak ada yang serius, hanya butuh observasi dan kini Moza sudah boleh dibawa pulang.Saat itu Hilman pun sampai dan melihat Moza yang sedang dibantu oleh Dimas untuk turun dari ranjang rumah sakit tersebut."Kak Hilman, kok ke sini?" tanya Moza tiba-tiba.Karena sebelumnya Hilman mengatakan bahwa dirinya tidak pulang karena bersama dengan Rena."Kok pertanyaannya begitu?" tanya Dinda kembali.Pertanyaan Moza sangat membingungkan semua orang.Moza pun bingung harus menjawab apa karena tak mungkin mengatakan bahwa Hilman memiliki dua orang istri.Akhirnya Moza pun hanya menggeleng pelan."Mas, kita balik duluan yuk. Ada Hilman," kata Dinda.Dimas pun mengangguk dan mengurungkan niatnya untuk membantu Moza.Karena ada Hilman.Hingga kini benar-benar hanya ada keduanya saja."Kamu kenapa?" tanya Hilman yang kini semakin berjalan mendekati Moza."Tiba-tiba aja perut Moza sakit," jawab Moza."Kita pulang?""Iya. Tapi, Kakak kok ke sini? Moza nyusahin lagi ya?" tanya Moza dengan perasaan ti
"Diam lagi, apa lagi yang kamu pikirkan?" tanya Hilman.Moza masih diam dengan kebingungannya karena menyadari jika dirinya ternyata tidak mampu untuk berbagi suami."Jangan dipendam sendiri, Kakak tidak suka seperti ini. Bicara," desak Hilman.Masih menunggu jawaban Moza dengan serius.Tetapi, tiba-tiba Moza malah menangis karena bingung harus menjawab apa."Kenapa menangis lagi?" Hilman pun panik karena sepertinya perasaan wanita hamil itu tengah kacau.Hingga tak bisa mengendalikan dirinya sendiri."Kak Hilman, maunya apa sih?!" pekik Moza disela-sela tangisnya."Kenapa jadi marah sama Kakak?""Ish, udah sana pergi aja. Nikah beneran sama Kak Rena!" pekik Moza."Kamu serius?""Em!" Moza pun segera membaringkan tubuhnya dengan memunggungi Hilman.Tapi hati kecilmu bertanya-tanya apakah Hilman akan pergi dan benar menikah lagi dengan kekasihnya itu?Moza mendengar suara langkah kaki yang berjalan ke arah pintu.Hingga suara pintu yang terbuka dan saat itu Moza pun cepat-cepat mendudu