Emir mencari tahu obat apa yang kini ada dalam genggamannya. Ternyata pil itu adalah obat pencegah kehamilan. Sudah ada tujuh tablet yang terbuka dari satu strip obat pencegah kehamilan tersebut. Kenapa sudah Farah minum sebanyak tujuh tablet? Berarti sebelum menikah, ia sudah terlebih dahulu mengonsumsi obat ini? Tega sekali.
Emir berjalan ke tempat sampah, melemparkan obat itu ke dalamnya. Segera ia membuka ponsel, ada beberapa pesan dari Farah yang menanyakan keberadaannya. Ada juga lima panggilan tak terjawab dari Farah, dan satu panggilan video. Semua ia acuhkan, karena rasa kesal yang teramat sangat. Jemarinya menggeser layar ponsel, ada pembaruan status dari istrinya yang sedang menikmati kopi dengan majagernya di sebuah restoran di Malaysia. Hatinya terbakar cemburu, bagaimana bisa begitu ceria senyum sang istri saat menikmati siang di sana, dengan lelaki yang bukan suaminya. "Sayang sekali tiket ke Bali yang sudah aku beli," gumaEmir, Amira, dan Aminarsih sudah berada di dalam bus, menuju Bali. Kenapa bisa naik bus? Karena Emir membatalkan tiket pesawat bisnisnya. Ami tak memiliki KTP, sehingga tidak memungkinkan untuk berangkat dengan pesawat bersama dengannya.Tak masalah bagi Emir, yang penting saat ini ia tengah menikmati langit malam bertabur bintang, dengan Amira yang duduk di pangkuannya. Ami tersenyum penuh arti. Dia yang duduk di kursi seberang, ikut menikmati perjalanan dengan menatap jalan tol yang padat merayap."Tidur saja! Aku akan menjaga Amira," ujar Emir pada Ami."Tak apa, Tuan. Saya akan menunggu Tuan dan Amira tidur, baru saya tidur.," jawab Ami sambil tersenyum. Bus eksekutif yang dinaiki mereka hanya terisi lima belas bangku, sedangkan sisanya kosong. Mungkin karena hari ini hari senin."Kamu lapar?""Mmm ... Tidak, Tuan. Lagian ini masih ada roti yang tadi Tuan belikan." Ami mengangkat bungkusan plastik roti dengan gam
Amira tidak mau turun dari punggung Emir, saat lelaki itu tengah mengonfirmasibookingankamar, di salah satu resort terkenal di Bali. Ami berusaha merayu puterinya agar mau turun, tetapi Amira menolak. Malah tangannya semakin kencang memeluk leher Emir. Apa lelaki itu marah? Tentu tidak. Emir malah tertawa cekikikan melihat kelakuan Amira yang sangat menggemaskan.Ami memperhatikan tempat paling bagus seumur hidup baru ini ia kunjungi. Yaitu, Bali dan benar-benar sangat bagus resort yang mereka datangi saat ini. Ada hamparan sawah hijau nan asri, udara segar, pepohonan seakan bersahabat dengan angin. Menambah kesejukan pada setiap orang yang berada di sana. Kolam renang dengan bentuk lonjong, bulat, dan juga kotak, tepat di atas tebing dengan pemandangan hutan tropis yang memanjakan mata. Benar-benar vitamin mata."Selamat bersenang-senang dengan keluarga," ucap pelayan resort ramah saat menyerahkan kunci kamar pada Emir."T
Amira masih asik berenang bersama Emir di kolam anak. Sudah satu jam lamanya, gadis kecil itu tidak mau naik untuk makan. Ia terus saja meminta Emir untuk menggendongnya di dalam air, atau sesekali menuntunnya. Begitu senang, begitu gembira, dan seringai giginya terus saja mengembang, tatkala menikmati moment berenang bersama Emir.Aminarsih memandang keduanya dari kursi santai terbuat dari rotan, dengan payung sebagai pelindung kepalanya. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi kebaikan Emir. Sesuatu yang sangat di luar logika menurutnya. Jika sebelumnya, ia ditemani dan ditolomg oleh dua ekor tikus, segerombolan kecoa, pasukan semut, serta buah apel ajaib. Maka, hari ini, Emir adalah sosok yang menggantikan mereka.Lelaki itu menghibur dirinya dan juga anaknya, mengeluarkan banyak uang untuknya dan juga anaknya. Memberi kebahagiaan yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Ami mengusap air matanya, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia.
Emir terbangun dari tidurnya. Suasana kamar sudah gelap, udara juga sangat dingin di atas sini, walau ada selimut tebal menutupi tubuhnya. Lelaki itu menoleh ka arah perutnya, ada tangan kecil nan montok sedang bertengger di sana, seakan memeluknya. Emir tersenyum tipis, lalu mengangkat jemari itu, kemudian mengecupnya. Tunggu, tapi di mana Ami? Mata Emir menangkap sosok yang tengah meringkuk kedinginan di sofa. Pelan Emir bergeser turun, agar Amira tidak terbangun."Ami, Ami, kenapa malah tidur di sini?" Emir mengangkat tubuh ringan Aminarsih dengan pelan dan hati-hati, lalu membawanya ke atas ranjang besar nan empuk. Mendekatkannya pada Amira. Dua wanita berambut kriting itu kini sudah berdampingan dan sangat lucu. Emir pun ikut naik, kemudian berbaring di sebelah Amira, melanjutkan tidurnya.Pagi menjelang, sayup-sayup suara musik khas Bali mengalun merdu di area resort. Udara pagi yang terasa sejuk dan dingin, sebenarnya membuat orang malas untuk bangun. Sa
"Emir, kamu di sini? Siapa wanita ini?""Mbak Raya." Emir kaget bukan kepalang, walau sudah menyamarkan diri dengan memakai kumis dan menutup kepalanya dengan topi, tetap saja sang kaka mengenalinya. Lekas lelaki itu berdiri dari duduknya, lalu tersenyum canggung pada sang kakak yang juga keheranan, bisa bertemu adiknya di sini."Mana Farah?" mata Raya mencari-cari di mana sosok adik ipar modelnya, Raya. Jangan tanyakan bagaimana wajah Ami. Dia menunduk takut, bahkan sangat dalam, tak berani mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegub terlalu keras, hingga ia tak mampu mendengar dengan baik obrolan dua kakak beradik di depannya."Mbak, kenalin dulu ini Aminarsih. Ami, ini Suraya kakak saya." Ami perlahan mengangkat wajahnya dengan takut-takut. Suraya memberikan tangannya pada Ami, lalu disambut Ami dengan mencium punggung tangan Suraya, membuat Suraya menahan tawa."Sayang , kamu kok lama ... Lha, Emir kamu di sini?" kakak ipar Em
Emir terpana dengan pemandangan di depannya, seorang wanita yang kucel, rambut tak bersisir, berubah bagaikan orang lain yang sangat cantik, kini berdiri di hadapannya sambil menunduk malu dan memilin jemarinya. Bukan saja Emir, Iqbal suami dari Suraya pun terbengong dan ikut menelan saliva, sama seperti Emir."Gak bagus ya, Mas?" tanya Ami lagi pada Emir."Itu capa, Pa?" tanya Amira yang mengundang tawa semua orang yang ada di sana. Amira saja anaknya sampai tidak mengenalinya."Ha ha ha ... Amira saja tidak tahu kalau kamu ibunya, Mi. Bagus sekali dan kamu cantik," puji Emir membuat semburat merah menjalar di kedua pipi Aminarsih. Sepanjang umurnya, baru Emirlah lelaki yang mengatakan kalau dia cantik. Ya, walaupun harus dimake over terlebih dahulu."He he he ... Begitu ya." Ami canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, guna mengusir rasa canggung diperhatikan semua orang saat ini."Matanya sayang, lihat Ami ja
"Maaf, Ami. Sebentar saja ya, seperti ini. Saya tidak suka melihat mata para lelaki jelalatan padamu." Emir merangkul pinggang Ami, membuat wanita itu menahan nafas kaget."Saya cemburu," bisik Emir lagi.Ami tak mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahnya kelu untuk berucap, sungguh saat ini adalah saat di mana seorang lawan jenis memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan mendekat padanya pun meminta izin. Sayang sekali, ia tidak boleh GR atau melibatkan perasaannya, walau setitik. Ia harus tahu diri, ingat Emir memperlakukannya sebagai adik dan Emir adalah suami seorang artis."Kenapa melamun? Ga suka ya sama makanannya?""B-bukan, Mas. Saya hanya bingung, bagaimana membalas semua kebaikan Mas pada saya dan Amira.""Kalian keluargaku, jadi tak perlu sungkan. Aku sayang Amira dan sayang ibunya Amira." Entah kenapa, volume suara Emir merendah, saat mengatakan sayang ibunya Amira. Ami memberanikan diri menatap netra hit
Emir menatap punggung Ami yang saat ini tengah terlelap di sofa. Sekeras apapun ia meminta agar Ami tidur di ranjang empuk bersama Amira, tetap wanita itu tidak mau. Sisa sesegukan sehabis menangis hampir satu jam di depan Emir masih tampak dari bahunya yang sesekali bergetar. Ami meringkuk di sofa dengan selimut tebal, membuat Emir iba.Lekas lelaki itu mengaktifkan ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada seseorang. Ada banyak chat dari Farah, namun ia abaikan. Tak dibaca, hanya dilewati saja. Dalam hatinya, Emir sudah bertekad, benar-benar menikmati liburannya tanpa ingin bertengkar dengan Farah.SendEmir menonaktifkan kembali ponselnya, lalu turun dari ranjang. Kakinya melangkah lebar secara perlahan menuju sofa di mana Ami sedang terlelap. Emir sempat melihat jam dinding sudah pukul dua dini hari. Pastilah Ami benar-benar sudah lelap. Lelaki itu berjongkok di dekat Ami, mengusap rambut kriting Ami yang masih belum kembali.