Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
"Bawa saja keponakan saya! Dia yang akan menjadi jaminannya!" seru Martin dengan gila, sebelum empat orang pria berbadan besar menangkapnya. Dia yang berada di belakang keponakannya, memegangi bahu Elena dan tak memedulikan tatapan kaget keponakannya itu."Apa? Apa yang Om katakan?""Diam! Kamu diam saja! Nurut sama Om!" Martin mendesak, lalu mengalihkan perhatiannya pada empat orang di depannya. Dia mencengkeram dagu gadis itu serta menunjukkan wajah Elena. "Kalian bisa membawa Elena. Lihatlah! Dia cantik, Bos pasti suka! Saya janji akan melunasi semuanya nanti."Elena tersentak. Dia melotot kaget mendengar perkataan pamannya yang bicara seolah dia adalah barang. Bagaimana bisa pamannya bersikap seperti ini? Dia bahkan baru saja pulang kerja saat kegaduhan terjadi dan melihat pamannya dipukuli, gara-gara tidak mampu melunasi utang yang sudah menunggak hingga ratusan juta. Dia juga sedang bernegosiasi untuk mencari jalan keluar terbaik agar utang pamannya bisa dilunasi, tapi apa yang
"Siapa yang menyuruh kalian membawa gadis ini?""Maafkan kami, Bos, pria tua itu menjadikan keponakannya sebagai jaminan. Dia bilang, Anda bisa melakukan apa pun padanya dan dia harus membicarakan masalah utangnya dengan anaknya."Ugh.Suara percakapan samar-samar terdengar di telinga Elena yang kini dalam kondisi setengah sadar. Dia berusaha kuat membuka matanya, tapi sangat sulit. Rasa pusing di kepalanya juga sangat terasa. Tubuhnya lemah."Jaminan? Dia memberikan keponakannya?""Iya, kami rasa, tidak ada salahnya. Kalau dia kabur, kita bisa jual keponakannya dan kita bisa menangkapnya. Bos juga bisa bersenang-senang dengannya. Pria itu bilang dia masih perawan.""Perawan, huh? Kalian bertindak di luar perintah.""Maafkan kami, Bos. Jika Bos tidak mau, kami akan mengembalikannya dan menangkap pria itu.""Tidak, biarkan aku memeriksa. Apa gadis ini berguna atau tidak."Seorang pria dewasa sekaligus bos mereka, yang berumur sekitar tiga puluh delapan tahunan itu, tampak melirik ke ar
"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghi