Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Keesokan harinya. Elena duduk tenang di sofa sambil mengamati Ezekiel yang saat ini tengah belajar dengan seorang guru wanita. Mereka tampak asyik belajar huruf sampai-sampai Elena merasa bosan dan menghela napas beberapa kali. Tentu bukan hanya itu saja, dia juga murung karena kejadian semalam. Uang yang dikumpulkan di rekening bank miliknya pasti sudah dikuras oleh orang yang menemukan ATM-nya. Itu benar-benar sangat disayangkan. Dia mengumpulkannya dengan susah payah selama ini karena ingin membeli sesuatu. Elena juga mulai merindukan sepupunya, Marcell. Apa lelaki itu akan tahu dan mencarinya? Hanya Marcell satu-satunya harapan bagi Elena saat ini. Kakak sepupunya yang begitu menyayanginya. Seandainya tantenya masih ada, dia pasti tidak akan dijual ke sini oleh pamannya. Kenapa orang baik harus mati lebih cepat? Elena menghela napas kasar. Cukup lama, Elena larut dalam pemikirannya, hingga dia tidak sadar ketika guru privat Ezekiel memandangnya dan berjalan mendekatinya. Dia ba
"Yo, Darryl!"Sebuah suara keras terdengar menyapa Darryl, saat dia sedang menikmati waktunya memandangi orang-orang bermain judi. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik melakukannya saat para wanita dan pria asyik bermain. Darryl lebih senang menjadi pengamat saja di lantai atas sambil menikmati segelas tequila miliknya. Namun kehadiran seseorang membuat perhatiannya teralihkan. Dia menatap seorang pria berpakaian rapi mendekat ke arahnya sambil tersenyum lebar. Pria yang seumuran dengannya. "Mike.""Apa kabar? Tumben kau berada di sini?"Darryl menyambut jabatan tangan Mike yang penuh semangat. "Sangat baik. Aku hanya ingin melihat-lihat.""Mau coba main?" tawar Mike sambil melirik ke arah bawah di mana banyak permainan yang bisa mereka mainkan. Orang-orang juga tampak begitu asyik. Sayangnya, Darryl yang memang pada dasarnya enggan melakukannya, langsung menggeleng tanpa berpikir dua kali. "Tidak akan ada untungnya aku bermain.""Kau bercanda? Memang siapa yang membuat tempat
"Apa kau tidak berniat melanjutkan hidupmu? Sudah waktunya kau belajar untuk merelakan kepergian istrimu." Darryl melangkah masuk ke dalam rumah dengan perkataan Mike yang terus berdenging di telinganya. Dia sudah mendengar perkataan itu beberapa kali dari orang lain selama ini, tapi dia belum bisa melakukannya. Darryl masih belum rela dengan kepergian istrinya. Bagaimana mungkin mereka semua menyuruhnya melupakan dan melanjutkan hidup, sedang kematian Kayleen masih saja membayanginya? Darryl menarik napas kasar dan perlahan melangkah semakin ke dalam. Dia yang minum cukup banyak hari ini, sedikit pusing. Namun untungnya, lampu rumah masih menyala terang, sehingga dia bisa melihat jalan dengan jelas. Walau Darryl bingung, siapa orang yang masih bangun di jam segini? Apa ada seseorang yang menunggunya? Tidak, tidak mungkin. Darryl menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah menuju dapur. Dia ingin menenangkan pikirannya yang lagi-lagi tertuju pada mantan istrinya. Dia juga harus m
"Emma, apa kau sedang menyiapkan sarapan?"Elena melangkah mendekati dapur dan mengejutkan Emma yang saat ini sedang memasak. Wanita itu menoleh ke arahnya. "Anda mengejutkan saya, Nona pengasuh. Iya, saya sedang membuatkan sarapan.""Apa aku boleh membantu? Aku ingin tahu, apa yang Ezekiel sukai.""Saya tidak ingin merepotkan Anda, Nona. Ini sudah menjadi tugas saya," tolak Emma dengan halus. Elena yang mendengarnya sedikit kecewa. Bibirnya merengut. "Tapi aku benar-benar ingin membantu, Emma. Tolong, aku bisa memasak kok."Emma diam dan menatap Elena yang menatapnya dengan ekspresi penuh permohonan. Gadis muda yang kini terlihat lebih bersemangat setelah sebelumnya marah-marah dan murung. "Baiklah, Anda bisa membantu. Tolong masak cuminya. Tuan muda menyukai cumi.""Tentu!"Jika itu demi Ezekiel, maka Elena bisa melakukannya. Dia akan membuatkan makanan anak itu dengan masakan buatannya. Elena sebenarnya merasa bosan karena pekerjaannya hanya mengawasi Ezekiel atau bermain denganny
Tok-tok-tok. "Tante? Tante Elena, ini Iel. Tolong buka pintunya, Tante."Suara ketukan disertai suara khas anak kecil terdengar di luar pintu. Elena yang saat ini masih kesal dan melewatkan sarapan setelah pertengkarannya dengan Darryl, kini tampak meringkuk di ranjang. Dia mendengar suara itu, tapi enggan beranjak sedikit pun. Elena tahu, bukan salah Ezekiel apa yang terjadi padanya, tapi anak itu terlalu mirip dengan bajingan yang membuatnya seperti ini. "Tante, Tante marah, ya? Tolong maafkan Iel. Iel tidak bisa melindungi Tante dari Ayah yang nakal, tapi tadi Iel sudah cubit Ayah kok. Ayah tidak akan kayak gitu lagi. Iel janji lindungin Tante dari Ayah. Kalau Tante mau, nanti Iel akan jewer telinga Ayah.""Ffttt ...."Elena nyaris tertawa saat mendengar perkataan Ezekiel. Perkataan dewasa anak umur lima tahun itu, cukup menghiburnya dan membuat perasaannya lebih baik. Rasa kesal yang dirasakannya pun perlahan lenyap, yang tersisa hanyalah senyum manis. Sampai pada akhirnya, Elen
"Ezekiel? Ezekiel, di mana kamu?"Elena memanggil Ezekiel beberapa kali sambil memasuki sebuah ruangan. Dia tadi tengah bermain petak umpet dengan anak itu, tapi ini sudah hampir setengah jam dia tidak berhasil menemukannya, meski sudah mencari hampir ke seluruh rumah. Elena benar-benar lelah, tapi dia tidak membiarkan Ezekiel begitu saja. Jika Darryl pulang dan melihat anaknya tidak ada, dia yang pasti akan langsung dimarahi. "Ezekiel!"Pada akhirnya, dengan penuh semangat Elena kembali memanggil Ezekiel tepat saat dia masuk. Sampai dia terkejut ketika menyadari jika ruangan itu ternyata adalah ruang perpustakaan dan Ezekiel tampak tengah duduk di sofa dengan mata tertutup. Ada sebuah buku di tangannya. Elena yang melihatnya pun sontak menghembuskan napas lega dan tersenyum. Dia berjalan mendekati Ezekiel dan duduk di sebelahnya. Membiarkan anak itu bersandar padanya, sembari mengambil buku di tangannya. "Aku mencarimu dari tadi, bagaimana bisa kau tidur di sini? Dasar kau, Ezekiel