"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl.
Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya."Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu."Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangkah masuk ke dalam. Tepatnya menuju ke arah meja kerjanya, yang kemudian diikuti juga oleh gadis itu."Itu, aku ingin bicara soal keputusanmu menjadikanku pengasuh. Apa maksudnya? Aku tidak mau jadi pengasuh anakmu. Kau juga tidak bertanya dulu bagaimana pendapatku." Elena berusaha menyampaikan semua keluhannya, meski Darryl memunggunginya. "Harusnya kau mengembalikanku! Aku ingin pulang!""Kau tahu sejak awal pulang tidak ada dalam pilihan."Darryl berbalik dan menghadap ke arah Elena sambil bersandar di mejanya. Dia menatap gadis itu dari atas hingga bawah dengan penuh penilaian. Sampai Elena refleks memblokir tatapannya dengan menyilangkan kedua tangannya."Jangan menatapku seperti itu! Aku tetap tidak mau menjadi pengasuh anakmu!"Elena risi. Tatapan Darryl terasa melecehkannya, sampai dia tidak berani menatap langsung mata tajam itu. Elena benar-benar tak tahan. Dia ingin keluar dari tempat ini. Pamannya sialan!"Kau tidak mau jadi pengasuh Ezekiel? Baiklah, aku tidak akan memaksamu.""Huh?"Elena yang sejak tadi menghindari bertatapan langsung dengan Darryl, kini kembali menatapnya. Dia terkejut dengan jawaban tak terduga dari pria tua itu. Apa semudah ini? Bagaimana bisa? Kenapa pria tua itu berubah pikiran dengan cepat? Elena tidak dapat menebak isi kepala Darryl sama sekali. "Apa itu benar? Aku tidak perlu menjadi pengasuh? Kalau begitu, bolehkan aku pergi menemui Omku? Soal utang, aku akan—""Sepertinya telingamu tidak dipasang dengan baik. Sudah kukatakan, tidak ada pulang dalam pilihannya," ujar Darryl dengan tegas sambil mendekat. Dia menatap tajam Elena."Apa? Tapi—"Grep!Tanpa aba-aba, Darryl meraih pinggang Elena dan membenturkan tubuh gadis itu padanya. Dia tak sungkan memeluknya, tak peduli apakah Elena terkejut atau tidak. Tak cukup sampai sana, Darryl menarik dagu Elena dan menyentuh bibir pucat gadis itu, membuat hasratnya yang selama ini diam, kini muncul kembali. Darryl merasa bergairah pada gadis di depannya ini. "Kalau kau tidak mau jadi pengasuh, kau harus siap melayaniku.""A-apa?"Elena terbata-bata. Dia terlalu kaget atas perkataan dan tindakan Darryl. Namun, melihat tatapan pria itu yang menginginkannya, dia menjadi takut dan refleks mendorongnya. Elena ingin memberi jarak, tapi sialnya, rengkuhan Darryl terlalu kuat dan tanpa disangka, pria itu juga meremas bokongnya. "Aakhh! Hentikan! Aku tidak mau! Aku tidak mau melayanimu! Bajingan! Lepaskan aku!"Darryl menikmati ketakutan Elena. Begitu pun saat gadis itu berusaha memukulnya. Dia bukannya marah, justru malah semakin terangsang dan menegang. Tentu saja, bagian bawahnya yang tidak dapat dikontrol, semakin membuat Elena ketakutan. Gadis itu berteriak."Pamanmu mengatakan, aku bebas melakukan apa pun padamu. Kau milikku sekarang dan kau sudah memutuskan untuk tetap melayaniku," putus Darryl seenaknya. Dia awalnya tidak ingin menerima Elena sebagai jaminan utangnya, tapi sepertinya, dia tertarik pada wanita. Secara seksual. Hingga pikiran untuk mengembalikan Elena dan mengejar paman gadis itu, tidak lagi dia pikirkan."Siapa bilang! Aku tidak mau!""Kau sudah setuju."Darryl menarik kasar tangan Elena dan langsung mendorongnya ke arah meja tanpa basa-basi. Membuat gadis itu memekik karena terkejut, tapi tak bisa melakukan apa-apa saat Darryl langsung memerangkapnya. Tubuh bagian atas yang terbaring di meja dan kedua kaki mengangkang, menghadap ke arah Darryl, membuat pria itu tampak bersemangat. Tak butuh waktu lama bagi Darryl untuk menyingkap rok milik Elena. Hingga jeritan keras terdengar."TIDAK! Aku mau, aku mau jadi pengasuh anakmu! Aku akan jadi pengasuh Ezekiel, tapi tolong jangan lakukan ini!"Tubuh Elena bergetar ketakutan. Matanya juga terpejam. Dia takut dan tak mau melihat Darryl. Tidak ada pilihan lain baginya sekarang yang tidak dapat melarikan diri. Lebih baik menjadi pengasuh anak kecil, dibanding harus menjadi wanita penghibur. Untunglah, berkat teriakannya, Darryl juga berhenti."Buka matamu dan katakan dengan jelas!""Ugh."Elena terpaksa membuka matanya pelan-pelan dan melihat Darryl dengan takut. Dia memerhatikan pria itu yang akhirnya diam, tapi penampilannya berantakan. Beberapa kancing kemejanya sudah dilepas dan memperlihatkan bagian dadanya. Pria itu benar-benar berniat melampiaskan nafsunya. Membuat tubuhnya menjadi merinding. Sialan, hidupnya benar-benar sial harus berurusan dengan pria mesum seperti Darryl. Padahal selama ini dia anak baik-baik."A-aku, aku mau jadi pengasuh anakmu. Aku bersedia, tapi tolong jangan menyentuhku." Elena berusaha mengatakannya dengan lancar, tapi entah mengapa dia malah tergagap. Semua itu karena Darryl mengintimidasinya dan menatapnya sangat lekat."Kau yakin? Aku tidak akan memberimu gaji, tapi aku menjamin kebutuhan pokokmu. Kecuali jika kau menjadi wanitaku, aku bisa memberimu apa saja.""Tidak masalah! Aku mau jadi pengasuh!" Elena menepuk dadanya cepat. Dia tidak mau Darryl berubah pikiran. Asal dia bisa makan saja sudah cukup, karena dia tidak mau jika harus menjadi wanita penghibur. Memang apa yang dia harapkan? Pamannya berutang, sudah pasti kehadirannya akan dimanfaatkan.Sementara Darryl yang mendengarnya, mengernyitkan dahi. Dia merasa agak kesal dengan ucapan Elena. Wanita itu lebih memilih menjadi pengasuh dibanding jadi teman tidurnya. Padahal, di luaran sana banyak sekali wanita yang ingin naik ke atas ranjangnya. Walau pada akhirnya, Darryl juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena di samping itu, anaknya telah meminta Elena. "Pergilah.""Eh, apa?"Darryl menahan rasa sesak di celananya sambil menutup kembali kancing kemejanya. "Lakukan tugasmu sekarang sebagai pengasuh. Jika kau tetap di sini, aku tidak menjamin akan menahan diri."Itu adalah peringatan tanda bahaya dan untungnya, Elena cepat menyadarinya. Hingga dia lekas turun dari meja dan merapikan penampilannya, sebelum akhirnya pamit pada Darryl. Karena rasa takut dirinya akan kembali disergap Darryl, Elena sampai berlari dan menutup pintu agak kencang. Menimbulkan suara yang cukup berisik."Huh, aku selamat." Elena bernapas lega dan mulai memelankan langkah kakinya saat dia berjalan menuju ruang makan. Sesuai perkataan Darryl, dia harus langsung bekerja sebagai pengasuh Ezekiel hari ini, tapi ... di mana bocah itu? Elena tidak mendapati Ezekiel di ruang makan. Tidak ada seorang pun dan meja juga sudah dalam kondisi bersih. "Di mana bocah itu?""Tante? Lagi ngapain?""Wahhh!"Elena terkejut. Jantungnya hampir melompat dari tempatnya saat tiba-tiba sebuah sentuhan kuat terasa di kakinya. Ternyata saat dilihat, itu adalah Ezekiel. Bocah yang dicari-carinya. "Ezekiel? Ke-kenapa kamu di sini?""Iel nyari Tante. Iel mau ngajak main Tante." Ezekiel memegang ujung dress milik Elena dengan polosnya. "Ayo! Tante mau?""Baiklah."Elena tidak punya pilihan lain selain menurut. Dia mengikuti apa yang diinginkan Ezekiel dan menurut, ketika anak kecil itu membawanya menuju sebuah ruang bermain, yang di sana terdapat banyak mainan.Sementara di sisi lain, di ruang kerja milik Darryl, pria yang tadi sempat bicara dengan Elena itu kini tampak duduk dan bersandar. Wajahnya memerah serta berkeringat. Sesekali erangan dan desahan keluar dari bibirnya saat tangannya sedang bermain menenangkan miliknya yang sempat dibuat tegang oleh Elena. Bayangan gadis itu yang ketakutan pun, menjadi fantasinya. Hingga akhirnya, Darryl menggapai puncak kenikmatan.Darryl mendesah kasar dan langsung mengambil tisu untuk membersihkan dirinya. Dia tak percaya, setelah istrinya meninggal, baru kali ini merasakan gairahnya lagi, itu pun pada gadis yang berusia lima belas tahun lebih muda darinya."Sial, gadis itu ....""Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Keesokan harinya. Elena duduk tenang di sofa sambil mengamati Ezekiel yang saat ini tengah belajar dengan seorang guru wanita. Mereka tampak asyik belajar huruf sampai-sampai Elena merasa bosan dan menghela napas beberapa kali. Tentu bukan hanya itu saja, dia juga murung karena kejadian semalam. Uang yang dikumpulkan di rekening bank miliknya pasti sudah dikuras oleh orang yang menemukan ATM-nya. Itu benar-benar sangat disayangkan. Dia mengumpulkannya dengan susah payah selama ini karena ingin membeli sesuatu. Elena juga mulai merindukan sepupunya, Marcell. Apa lelaki itu akan tahu dan mencarinya? Hanya Marcell satu-satunya harapan bagi Elena saat ini. Kakak sepupunya yang begitu menyayanginya. Seandainya tantenya masih ada, dia pasti tidak akan dijual ke sini oleh pamannya. Kenapa orang baik harus mati lebih cepat? Elena menghela napas kasar. Cukup lama, Elena larut dalam pemikirannya, hingga dia tidak sadar ketika guru privat Ezekiel memandangnya dan berjalan mendekatinya. Dia ba
"Yo, Darryl!"Sebuah suara keras terdengar menyapa Darryl, saat dia sedang menikmati waktunya memandangi orang-orang bermain judi. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik melakukannya saat para wanita dan pria asyik bermain. Darryl lebih senang menjadi pengamat saja di lantai atas sambil menikmati segelas tequila miliknya. Namun kehadiran seseorang membuat perhatiannya teralihkan. Dia menatap seorang pria berpakaian rapi mendekat ke arahnya sambil tersenyum lebar. Pria yang seumuran dengannya. "Mike.""Apa kabar? Tumben kau berada di sini?"Darryl menyambut jabatan tangan Mike yang penuh semangat. "Sangat baik. Aku hanya ingin melihat-lihat.""Mau coba main?" tawar Mike sambil melirik ke arah bawah di mana banyak permainan yang bisa mereka mainkan. Orang-orang juga tampak begitu asyik. Sayangnya, Darryl yang memang pada dasarnya enggan melakukannya, langsung menggeleng tanpa berpikir dua kali. "Tidak akan ada untungnya aku bermain.""Kau bercanda? Memang siapa yang membuat tempat
"Apa kau tidak berniat melanjutkan hidupmu? Sudah waktunya kau belajar untuk merelakan kepergian istrimu." Darryl melangkah masuk ke dalam rumah dengan perkataan Mike yang terus berdenging di telinganya. Dia sudah mendengar perkataan itu beberapa kali dari orang lain selama ini, tapi dia belum bisa melakukannya. Darryl masih belum rela dengan kepergian istrinya. Bagaimana mungkin mereka semua menyuruhnya melupakan dan melanjutkan hidup, sedang kematian Kayleen masih saja membayanginya? Darryl menarik napas kasar dan perlahan melangkah semakin ke dalam. Dia yang minum cukup banyak hari ini, sedikit pusing. Namun untungnya, lampu rumah masih menyala terang, sehingga dia bisa melihat jalan dengan jelas. Walau Darryl bingung, siapa orang yang masih bangun di jam segini? Apa ada seseorang yang menunggunya? Tidak, tidak mungkin. Darryl menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah menuju dapur. Dia ingin menenangkan pikirannya yang lagi-lagi tertuju pada mantan istrinya. Dia juga harus m
"Emma, apa kau sedang menyiapkan sarapan?"Elena melangkah mendekati dapur dan mengejutkan Emma yang saat ini sedang memasak. Wanita itu menoleh ke arahnya. "Anda mengejutkan saya, Nona pengasuh. Iya, saya sedang membuatkan sarapan.""Apa aku boleh membantu? Aku ingin tahu, apa yang Ezekiel sukai.""Saya tidak ingin merepotkan Anda, Nona. Ini sudah menjadi tugas saya," tolak Emma dengan halus. Elena yang mendengarnya sedikit kecewa. Bibirnya merengut. "Tapi aku benar-benar ingin membantu, Emma. Tolong, aku bisa memasak kok."Emma diam dan menatap Elena yang menatapnya dengan ekspresi penuh permohonan. Gadis muda yang kini terlihat lebih bersemangat setelah sebelumnya marah-marah dan murung. "Baiklah, Anda bisa membantu. Tolong masak cuminya. Tuan muda menyukai cumi.""Tentu!"Jika itu demi Ezekiel, maka Elena bisa melakukannya. Dia akan membuatkan makanan anak itu dengan masakan buatannya. Elena sebenarnya merasa bosan karena pekerjaannya hanya mengawasi Ezekiel atau bermain denganny
Tok-tok-tok. "Tante? Tante Elena, ini Iel. Tolong buka pintunya, Tante."Suara ketukan disertai suara khas anak kecil terdengar di luar pintu. Elena yang saat ini masih kesal dan melewatkan sarapan setelah pertengkarannya dengan Darryl, kini tampak meringkuk di ranjang. Dia mendengar suara itu, tapi enggan beranjak sedikit pun. Elena tahu, bukan salah Ezekiel apa yang terjadi padanya, tapi anak itu terlalu mirip dengan bajingan yang membuatnya seperti ini. "Tante, Tante marah, ya? Tolong maafkan Iel. Iel tidak bisa melindungi Tante dari Ayah yang nakal, tapi tadi Iel sudah cubit Ayah kok. Ayah tidak akan kayak gitu lagi. Iel janji lindungin Tante dari Ayah. Kalau Tante mau, nanti Iel akan jewer telinga Ayah.""Ffttt ...."Elena nyaris tertawa saat mendengar perkataan Ezekiel. Perkataan dewasa anak umur lima tahun itu, cukup menghiburnya dan membuat perasaannya lebih baik. Rasa kesal yang dirasakannya pun perlahan lenyap, yang tersisa hanyalah senyum manis. Sampai pada akhirnya, Elen