"Karena aku mencintaimu. Aku tidak mau wanita itu sampai melukaimu." Degh....... Tubuhku seketika membeku. "Aku mencintainu Shila, sangat. Sangat mencintaimu sampai rasanya aku bisa mat* jika kehilanganmu." Mata yang mengembun itu akhirnya mengalirkan lelehan bening yang menggetarkan hati dan jantungku. "Aku tak peduli dengan wanita itu. Aku bahkan tak peduli dengan Mommy. Biarlah dia sedih asalkan kamu tetap aman." Ungkapnya. Dan lagi-lagi aku tak bisa merespon semua ucapannya. Lidahku terasa kelu dan tubuhku seolah membeku. Aku bingung, kaget dan...... entahlah apa yang sebenarnya kurasakan saat ini. Mataku terasa panas dan tanpa bisa kucegah lelelan bening pun ikut menetes bertubi-tubi dari sana. "Tidak, jangan menangis. Aku tak sanggup melihatnya." Elgar mengusap pipiku yang basah oleh air mata. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam saat tangan besar itu tiba-tiba menyentuh rahangku. Seketika aku membelalakkan mataku saat bibir tipis sang pria menyentuh bibirku. Degh...... Ti
"Iya. Wanita itu alasan adikku mengakhiri hidupnya," jawabnya. Tatapan yang tadinya tajam berubah sendu. Pria itu pun beranjak bangun. "Dia selingkuh dengan Edward, pacar adikku. Lebih tepatnya mereka bermain di belakang kami." Ada sorot kebencian dimata Elgar. Sepertinya luka yang diberikan wanita itu sangat dalam. "Kalau mengingatnya membuatmu terluka tak perlu menceritakannya." Aku tak ingin membuatnya harus membuka luka lama yang bisa kupastikan belum sembuh. Pria itu menggeleng, "Tak apa, aku tidak ingin suatu hari masalah ini jadi boomerang untuk hubungan kita." Hubungan? Memangnya aku bilang sudah menerima cintanya. Kepedean. "Wanita itu dan Edward berasal dari panti asuhan yang sama. Meski begitu keluarga dengan tangan terbuka menerima mereka tanpa melihat asal usulnya. Tapi nyatanya anjing saja lebih bisa membalas budi. Sednah dua orang itu malah menggigit orang yang memberi mereka rumah." Ungkap Elgar dengan sorot mata penuh kebencian. Mendadak hatiku terasa nyeri. Ta
"Pakai maskernya," perintah Elgar sambil menyelipkan tali masker ke telingaku. Sentuhan tangannya di daun telingaku membaut darahku berdesir. Aku pun membeku seketika. "Sudah. Ayo!" Elgar sudah berdiri dengan tangan terulur di depan wajahku. Wajah tampan itu tersenyum tipis tapi terlihat sangat manis. "Ah... iya." Sedikit gugup, aku berdiri tanpa menyambut tangan besar itu. Aku berjalan mendahului sang pria, sempat kulihat Elgar malah terkekeh. Aneh kan? Harusnya dia menghela nafas sebagai tanda kecewa. Ini malah terkekeh, emangnya apa yang lucu. Baru dua langkah sebuh tangan menggenggam telapak tanganku. Meski kaget aku tetap berusaha tenang lalu menepis tangan itu. Namun seolah diberi lem tangannya tak bisa dilepaskan. Begitu kami sudah dia dalam mobil barulah tautan jemari itu terlepas dengan sendirinya. "Turunkan aku di depan saja. Aku akan naik taksi online," ucapku begitu mobil berjalan meninggalkan area bandara. "Tidak. Aku akan mengantarmu sampai di depan rumah," balas E
Pov Author. "Karma adalah buah dari perbuatan kita. Bukan pemberian dari mulut manusia. Berprasangka baiklah pada Tuhan, maka yang terjadi akan baik. Segalanya atas kehendak-Nya." Sebelum pergi Shila sudah menyakinkan Elgar untuk tidak menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Shila. Tidak sesuai janji. Elgar tetap kekeh mengantar Shila sampai di depan rumah. Beruntung ketiga teman Shila sedang berada di rumah keluarganya masing-masing. Setelah memastikan Shila masuk rumah Elgar pun pergi. [Aku sudah sampai di rumah.] Shila mengirim pesan ke group whats**p, disertai gambar kopernya diatas ranjang tidur. [Siapa yang menjemputmu?] Ardi yang memang tak pernah lepas dari ponselnya menjadi orang pertama yang berkomentar. [Kenapa tidak bilang, aku bisa menjemputmu di bandara.] Selang satu detik Nathan juga berkomentar. [Tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah sampai rumah dengan selamat. Setelah istirahat segera nyusul kesini. Edel sudah kangen dengan Bundanya.] Giliran Miranda,
"Shila ini aku...." Sesosok ia yang sangat Shilla kenal sedang berjalan kearahnya."Maaf jika terlalu lama aku pergi. Aku akan jelaskan semuanya," ucap sang pria sambil berjalan pelan mendekati Shilla. "Berhenti di sana!" Teriak Ardi sambil berlari. Dibelakangnya menyusul Nathan dan Miranda. "Bajing*n menjauhlah dari Shila! Pria pengecut seperti kamu tak pantas untuknya." Sambil mengumpat Ardi menerjang Devon sampai pria itu tersungkur. Ya, pria itu Devon, kekasih Shila yang sebelumnya dikabarkan meninggal di Belanda karena kecelakaan. "Apa kamu sudah gil*?" Rafka segera berlari dan menghadang Ardi yang masih ingin memukul Devon yang sedang berusaha bangun. "Kamu dan temanmu itu yang gil*. Kalian sudah menipu Shila selama ini. Kamu bahkan Membully-nya dan media sosial. Brengs*k!!!!" Cecar Ardi penuh amarah. "Ar, tenanglah." Nathan memegangi lengan Ardi yang sedang diliputi amarah. Devon bangun lalu membalas Ardi. Pria yang memang tempramental sejak dulu itu tidak terima."Sudah
"Apa yang kamu katakan, aku mengharapkan kematianmu dan kamu ingin mengujiku?" tanya Shilla dengan mata melebar. Seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Bisa-bisanya Devon menjadikan hidup dan mati sebagai ujian. Dan apa dia katakan, Shilla mengharapkan kematiannya? Berita kematian Devon saja dia dapatkan dari Ayunda, kakak perempuan Devon. "Iya, Kak, Ayunda bilang kalau dia menelponmu meminta kamu datang ke Belanda untuk merawatku. Tapi kamu malah berkata...." Devon tak melanjutkan ucapannya saat melihat Ekspresi wajah Shilla. Shilla mengela nafas kasar, terjawab sudah rasa penasarannya selama ini. 'Jadi, itu alasannya.' batin Shilla.Sambil membuang muka, Shilla pun tersenyum kecut. Dirinya tak habis pikir dengan pria di sampingnya itu. Bisa-bisanya Devon langsung percaya dengan ucapan kakaknya yang memang sedari awal tidak merestui hubungannya dengan Shilla. Seharusnya Devon mengkonfirmasi lebih dulu pada Shila atau setidaknya meminta penjelasan atas tuduhan Ayunda pada w
"Aku tanya kita mau kemana?" Berusaha menaha diri Shilla menekan suaranya. "Pulang ke rumah kita." Jawab Devon masih dengan fokus pada jalanan di depannya. Shilla memiringkan tubuhnya, "Berhenti!" pinta Shilla dengan nada tegas. "Aku bilang berhenti!" Ulangnya. "Kamu gak dengar? Atau aku harus menarik paksa stirnya?" Devon menoleh sebentar lalu tersenyum sinis. "Sekarang kamu benar-benar berubah. Kamu jadi suka membantahku. Apa Ardi yang mempengaruhimu? Ah... atau dia, lelaki bernama Jonathan itu?" Shilla menarik nafas panjang, berusaha menekan amarah yang mulai memenuhi dadanya. 'Tenang Shilla... kamu harus tenang,' batin Shilla. Tak ingin dirinya terbawa emosi dan melakukan hal-hal yang akan disesalinya nanti.Masih segar di ingatannya kejadian terakhir dirinya terbawa emosi saat bertengkar dengan Elgar. Beruntung saat itu masih sempat minum obat dan hanya pingsan di pinggir jalan. Bagaimana jika tidak, Shilla tidak bisa membayangkannya. "Apa dia yang menyembuhkan lukamu? Aku l
Bajing*n!" Devon mengangkat kepalanya. "Kubilang hentikan, brengs*k!!!" Umpat Shilla dengan tatapan tajam. Devon tertegun, selama ini tidak pernah sekalipun mendengar gadis yang dicintainya itu berkata kasar apalagi mengumpat. Shilla memang dingin dan jarang bicara tapi tidak pernah kasar. Dia juga sangat lembut dan sabar. "Memang seharusnya kamu itu mat*. Jadi mat*lah!!!" Shilla mendorong dan menendang Devon sekuat tenaga sampai pria itu terjermbab jatuh. Devon merasakan sakit di punggung dan pantatnya yang mencium lantai. Pria itu masih berusaha bangun ketika Shilla sudah berdiri di depannya. Gadis yang selama ini Devon kenal sebagai pribadi yang lembut itu memiringkan kepalanya dengan tatapan tajam dan senyum sinis. "Kamu sudah mat* jadi kamu harus mat*." Katanya lalu berjalan menuju meja belajar yang ada di pojok ruangan itu. "Shilla kamu mau apa?" tanya Devon ketika Shilla berjalan ke arahnya dengan memegangi gunting yang sudah diangkatnya setinggi kepala. Shilla kembali