“Baiklah, pernikahan akan dilaksanakan empat bulan sepuluh hari dari hari meninggalnya Dima. Ini sudah sesuai dengan waktu di mana kapan wanita dapat menikah setelah suaminya meninggal.” Papa David menatap keluarga semua yang hadir.
Setelah kemarin Ale menyetujui pernikahan dengan Alca, akhirnya semua keluarga segera bertemu. Mereka segera membahas rencana pernikahan yang terjadi antara Ale dan Alca. Pernikahan yang diinginkan oleh Dima. “Baiklah.” Alca setuju dengan semua itu. “Sepertinya tidak perlu ada pesta. Yang terpenting pernikahannya sah saja,” tambahnya. Semua keluarga mengangguk setuju. Lagi pula apa kata orang juga. Baru saja Dima meninggal, tetapi sudah mengadakan pernikahan. Walaupun sebenarnya itu adalah keinginan Dima juga. “Mama akan urus semuanya.” Mama Mauren merasa bertanggung jawab atas pernikahan menantunya. “Jadi sambil menunggu pernikahan ini terlaksana Alca yang akan menjaga Ale.” Mama Mauren menatap Alca. Memindahkan tanggung jawab pada Alca. Alca menatap sinis pada Ale. “Tentu saja aku akan menjaganya. Memastikan jika dia akan aman.” Ale mendengar jelas jika ucapan Alca seolah tidak akan lepas dirinya dari genggaman Alca. Ale tidak bisa bayangkan akan seperti apa pernikahan itu.*** Dua bulan sudah Dima meninggal. Ale sudah kembali bekerja. Berusaha mengisi waktunya agar tidak larut dalam kesedihan kehilangan Dima. Selama ini Ale bekerja sebagai sekretaris Dima. Selama ini Dima adalah CEO dari Janitra Grup. Karena sang suami sudah tiada, jabatan itu masih kosong. Rencananya jabatan itu akan ditempati oleh Alca. Hari ini Alca akan mulai bekerja sebagai CEO Janitra Grup. Ale masih merasa tidak rela jabatan itu ditempati oleh orang lain. Namun, perusahaan harus tetap berjalan. Jadi tentu saja jabatan itu harus segera diisi. “Di mana ruanganku?” Setelah rapat pengesahan jabatan, Alca meminta Ale menunjukan ruangannya. Selama ini, dia memang jarang ke kantor Janitra. Jadi, dia tidak tahu letak tempat-tempat di kantor tersebut. “Silakan, Pak.” Ale mempersilakan Alca. Menunjukan di mana ruangannya berada. Terkadang Ale berpikir jika Alca jauh berbeda sekali dengan Dima. Dima adalah pria lemah lembut, sedangkan Alca sedikit kasar. Mereka sampai di ruangan bekas Dima. Alca melihat ke sekeliling. Masih banyak sekali barang-barang pribadi milik Dima. Padahal sudah dua bulan berlalu. Namun, belum dipindahkan sama sekali. “Aku mau semua barang milik Dima dipindahkan.” Alca memberikan perintah pada Ale. Ale hanya terpaku. Sengaja dia membiarkan barang-barang itu, agar bisa mengingat Dima saat bekerja. Namun, semua harus disingkirkan, sesuai dengan permintaan Alca. “Aku akan makan siang bersama Pak David. Jadi kamu rapikan semuanya. Saat aku kembali, aku mau barang-barang itu sudah kamu singkirkan.” Alca memilih segera keluar dari ruangannya. Membiarkan Ale untuk merapikan semuanya itu. Ale memandangi ruangan Dima. Rasanya tidak rela jika memindahkan semua barang pribadi milik suaminya. Namun, apa boleh dikata. Kini ruangan ini bukan milik suaminya lagi. Ale segera merapikan barang-barang mendiang suaminya. Dia memulai dari merapikan meja kerja milik Dima. Foto pernikahan yang terpajang di atas meja milik Dima, menandakan jika Dima begitu mencintai Ale. Masih terasa sesak ketika mengingat jika kini suaminya sudah tiada. Di saat orang-orang istirahat, dia sibuk mengambil barang-barang milik Dima. Barang-barang itu menjadi tiga kardus. Sudah dua jam juga berlalu sejak Ale merapikan ruangan Dima. Memastikan jika semua sudah dimasukkan.Alca membuka pintu. Dilihatnya tiga kardus berada di ruangannya. Dia yakin semua itu adalah barang-barang milik Ale.“Apa semua sudah selesai?” tanya Alca.“Sudah.” Ale mengangguk.“Masukkan mobilku. Mobilku ada di lobi. Aku akan antarkan pulang ke rumah.” Alca memberikan perintah pada Ale.“Baiklah.” Ale membawa satu kardus terlebih dahulu, mengingat tidak bisa membawa semuanya.Ale menuju ke lobi. Di sana sudah ada mobil Alca. Seolah memang Alca sudah merencanakan untuk membawa barang-barang milik Dima pulang. Karena barang-barang milik Dima tidak hanya satu kardus saja, Ale harus bolak-balik ke lantai delapan mengambil barang-barang itu, dan turun ke lobi.“Kenapa kepalaku pusing?” Di dalam lift, Ale merasa pusing sekali ketika baru saja membawa kardus kedua ke lobi kantor. “Mungkin karena aku belum makan.” Ale berusaha untuk tetap kuat. Dia berpikir, setelah ini mungkin dia akan makan.Selesai meletakkan kardus yang kedua, Ale kembali ke ruangan Alca lagi. Mengambil kardus terakhir untuk dibawa ke mobil lagi.“Tinggal itu saja?” tanya Alca memastikan pada Ale.“Iya.” Ale mengangguk. Dengan segera dia mengambil kardus di dekat meja kerja Alca.Saat membungkukkan tubuhnya, Ale merasa begitu pusing sekali. Namun, dia berusaha untuk tetap kuat. Tinggal satu kardus. Setelah ini, dia bisa beristirahat.Ale mengangkat kardus dan segera mengayunkan langkahnya kembali ke lobi. Sepanjang jalan, dia berusaha untuk tetap kuat. Sayangnya, saat keluar dari lift lobi, pandangannya mulai kabur. Tubuhnya perlahan seperti melayang. Seketika tubuh Ale limbung, dan jatuh ke lantai.Orang-orang yang berada di lobi segera menolong Ale. Mereka membawa Ale ke ruang medical kantor. Untuk mendapatkan pertolongan dari dokter. Di ruang medical, dokter segera mengecek keadaan Ale.Salah satu karyawan pun menghubungi Alca. Memberitahu jika Ale sedang pingsan dan dilarikan di ruang medical. Alca pun segera menuju ke ruang medical. Mengecek keadaan Ale.“Kenapa dia pingsan?” tanya Alca penasaran.“Apa Pak Alca tahu kapan Bu Ale terakhir datang bulan?” Dokter menatap Ale yang berdiri di dekatnya.Kedua bola mata Alca membulat sempurna. Baru juga dirinya datang, sudah ditanya hal konyol itu. Mana dirinya tahu hal semacam itu. “Tentu saja aku tidak tahu.” Alca kesal ketika ditanya hal itu. “Memang kenapa?” tanyanya ingin tahu.“Ada kemungkinan Bu Ale hamil, Pak.” Dokter memberitahu hasil diagnosa.Alca begitu terkejut ketika mendapati jika Ale kemungkinan hamil. Jika Ale hamil, artinya dia hamil anak Dima.“Apa Dokter tidak bisa mengecek apakah dia benar hamil atau tidak?” Alca menatap dokter.“Harus ada pemeriksaan khusus, Pak. Bisa pakai alat tes kehamilan, bisa juga memeriksakan ke dokter kandungan dengan USG. Jika Pak Alca mau, nanti jika Bu Ale bangun kita bisa mengecek dengan alat tes kehamilan.” Dokter mencoba menjelaskan.Alca mengangguk. Dia tentu saja akan menunggu Ale bangun. Karena dia juga penasaran apakah Ale hamil atau tidak. Sambil menunggu Ale bangun, dokter mengambilkan alat tes kehamilan. Meminta Alca untuk memberikan pada Ale nanti.Ale membuka matanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat yang tercium, membuatnya bertanya-tanya di mana gerangan dirinya berada.“Ale.” Alca memanggil Ale yang baru saja membuka matanya.“Aku di mana?” Ale masih merasa pusing.“Kamu di ruang medical.”Ale mengingat jika terakhir kali adalah dirinya yang berada di lobi. Dia menebak jika tadi pasti dirinya pingsan.Ale berusaha untuk bangun. Mendudukkan tubuhnya. Berusaha untuk menahan rasa sakit yang dirasakan.“Jika kamu sudah bangun, sebaiknya kamu cek dulu.” Alca menyodorkan alat tes kehamilan.Ale menatap alat tes kehamilan yang diberikan oleh Alca. Tubuhnya membeku ketika Alca memberikan alat tersebut. Pikirannya melayang, apakah dirinya hamil, sampai-sampai diberikan alat tes kehamilan.Ale menunggu alat tes kehamilan terlihat warnanya. Perasaannya campur aduk. Dia bingung karena apa yang harus dilakukannya. Saat dua garis tercetak di alat tes kehamilan, tangis Ale pecah. Dia tidak menyangka jika dirinya akan hamil. Ternyata buah cintanya bersama sang suami hadir juga di rahimnya. “Ale.” Suara panggilan disertai dengan ketukan pintu terdengar. Ale yang mendengar suara pintu segera menghapus air matanya. Dia keluar dari toilet untuk menemui Alca. “Bagaimana?” Pertanyaan pertama yang diberikan Alca pada Ale. “Positif.” Ale menunjukan alat tes kehamilan. Tubuh Alca membeku. Rasanya, dia masih tidak bisa membayangkan akan menikah dengan wanita yang sedang mengandung anak sepupunya itu. Ale dan Alca akhirnya kembali ke ruang perawatan. Di sana sudah ada dokter yang menunggu. Ale segera memberikan alat tes kehamilan pada dokter. Dokter melihat alat tes kehamilan yang menunjukan jika Ale hamil. Karena terdapat dua garis merah di alat tes kehamilan. “Alat tes k
“Huek … huek ….” Ale memuntahkan isi perutnya. Kehamilannya ini benar-benar payah sekali. Padahal sudah masuk empat bulan, tetapi mualnya belum juga hilang. Belum lagi terkadang kepalanya pusing. Setelah isi perutnya keluar barulah Ale merasa lega sekali. Akhirnya lega juga. Dengan segera Ale keluar dari toilet dan membersihkan bibirnya di wastafel di depan kaca toilet. Sebelum keluar dari toilet, Ale merapikan make up-nya terlebih dahulu.Ale keluar dari toilet. Namun, dia dikagetkan dengan kehadiran Alca di dekat toilet wanita. Pria itu berdiri bersandar dengan tembok sambil melipat tangannya di dada. Melihat Alca di sana seketika nyali Ale ciut. Dia justru takut Alca marah. Karena baru saja klien datang Ale tiba-tiba pergi begitu saja. Rasa mualnya, membuatnya tidak sempat berpamitan. “Kak Alca kenapa ke sini? Klien kita ditinggal?” Dengan wajah ragu, Ale bertanya. “Dia sudah pergi.” Alca menjawab ketus. “Kenapa pergi?” Ale menatap Alca dengan rasa penasaran. Alca melepa
Pagi ini Ale bekerja, sayangnya Alca tidak menjemputnya. Karena itu dia memutuskan untuk berangkat bekerja sendiri dengan menaiki taksi. Ale berpikir jika Alca sengaja tidak menjemputnya karena berpikir jika dirinya tidak akan ke kantor. Beruntung pagi ini Ale jauh lebih baik. Jadi bisa datang ke kantor dengan keadaan sehat. Saat sampai di kantor, dia segera ke ruangannya. Kali ini, semangatnya cukup besar untuk ke kantor. Mengingat seharian kemarin dia di rumah. Saat lift terbuka, Ale mengayunkan langkahnya ke meja kerjanya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Anisa, temannya yang berkerja di bagian HRD. “Nisa kenapa di sini?” Ale menatap temannya itu. Penasaran dengan keberadaan sang teman. “Aku dipindahkan ke sini, Al. Memang Pak Alca tidak bilang kamu?” Tubuh Ale membeku. Tidak ada pembicaraan sama sekali tentang hal ini padanya. Jadi tentu saja dia tidak tahu apa-apa. “Maksudnya kamu dipindah sementara ke sini?” tanya Ale memastikan. Nisa sedikit bingung deng
Pernikahan Ale dan Alca diadakan di rumah. Mereka hanya mengadakan acara tersebut dengan sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang. Acara akad nikah pun terlaksana dengan lancar. Tidak ada kendala apa pun. Ale dan Alca kini jadi pasangan suami istri. Keluarga turut senang ketika mereka akhirnya menikah. “Mama titip Ale dan anak Dima padamu, Al.” Mama Mauren memeluk keponakannya. Kini cucunya akan menjadi anak Ale. Tentu saja dia harus menitipkan cucunya pada keponakannya itu. “Alca akan menjaga mereka, Ma. Mama jangan khawatir.” Alca menenangkan Mama Mauren. Ale yang mendengar janji Alca itu hanya dapat mencibir dalam hati. Kadang Ale merasa Alca sering sekali berdusta. Bilang ingin menjaganya, tetapi nyatanya tidak pernah sekalipun Alca menjaganya. Yang ada justru perlakuan ketus yang didapatkan Ale. “Mama tetap jadi mama kamu. Jadi jangan sungkan untuk meminta tolong.” Mama Mauren berpindah pada Ale. Walaupun Ale sudah bukan menantunya karena ditinggal mat
Acara yang selesai menyisakan mama dan papa Alca dan Dima saja. Mereka masih mengobrol banyak hal. “Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, Al. Lagi pula rumah ini kosong nanti jika Ale kamu bawa pulang ke rumah.” Mama Mauren memberitahu keponakannya itu. Ale juga berniat untuk tinggal di rumah Dima. Lebih mudah dirinya yang pindah, dibanding Ale yang pindah. “Al, kalau bisa jangan sampai kamu melakukan hubungan suami istri sebelum Ale melahirkan.” Papa Adriel memberitahu anaknya. Mengingat Ale mengandung anak Dima, haram bagi Alca menyentuh Ale. Dahi Alca berkerut dalam, diiringi dengan alis yang bertautan. Dia benar-benar tidak berpikir hal itu. “Aku tidak akan melakukannya, Pa,” jawab Ale malas. “Bagus kalau begitu.” Papa Adriel merasa jauh lebih tenang karena Alca tidak akan melakukan hal yang dilarang. “Kalau begitu kami pulang dulu.” Papa David berpamitan. “Besok akan ada orang yang akan merapikan dekorasi ini.” Dia memberitahu Alca sambil berpamitan. Alca pun mengangguk. B
“Tidak.” Alca menjawab sambil berlalu pergi.Mendapati jawaban itu, membuat Ale terpaku. Apalagi Alca pergi begitu saja. Ale mengalihkan pandangan pada makanan yang dibuatnya, tak tersentuh sama sekali. Padahal, dia membuat masakan cukup banyak.Ale mengembuskan napasnya. Dia masih terus bertanya dalam hatinya, ‘kenapa Alca terus bersikap seperti itu padanya?’ Jika boleh jujur, pernikahan ini pun bukan keinginannya, lalu kenapa dirinya yang jadi pelampiasan kemarahan.“Mungkin dia masih butuh adaptasi.” Ale berusaha untuk berpikir positif. Berusaha untuk tetap kuat dengan sikap Alca. Berharap setelah mereka tinggal bersama cukup lama, mungkin Alca akan berubah.Ale pun memilih untuk segera kembali ke meja makan. Menikmati makanan yang tadi dibuatnya.“Aku pikir setelah ada orang di rumah ini, aku tidak akan makan sendirian.” Ale tersenyum tipis ketika dia bergumam sendiri. Ternyata dia tetap makan sendiri, walaupun ada Alca di rumah.Seharian Alca menikmati waktu di rumah dengan memba
Ale segera berdiri ketika mendengar suara mobil. Menyambut kedatangan Alca. “Kak Alca mau aku siapkan makan sekarang?” Ale segera melemparkan pertanyaan itu saat Alca baru saja masuk.Alca melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Waktu menunjukan jam delapan. “Kamu belum makan?” tanyanya.“Aku sudah makan.” Ale tadi memang sengaja makan lebih dulu. Jika makan berat saat malam, dia merasa perutnya tidak enak. Jadi dia makan tepat jam tujuh. Sisanya, dia akan makan buah.“Jika kamu sudah makan, tidak perlu kamu siapkan. Aku mau langsung tidur, jadi tidak makan.” Selesai bicara Ale segera berlalu ke lantai atas. Seperti biasa, dia mengabaikan Ale.Ale hanya bisa mengembuskan napas. Sepertinya Ale sudah mulai terbiasa diabaikan oleh Alca. Apalagi ditolak Alca.“Aku hanya ingin bersikap baik, tetapi sepertinya Kak Alca masih belum bisa menerima.” Di saat Ale sudah mulai berdamai dengan keadaan, Alca justru terus masih kesal dengan Ale. Karena Alca tidak mau makan, akhirnya Ale memi
Setelah tahu jika mama mertuanya itu membawanya ke mal, Ale segera bersiap. Dia pergi bersama sang mama dengan mobil dan supir keluarga Janitra. Ale memang kehilangan Dima, tetapi tidak kehilangan mertuanya. Walaupun, perhatian itu didapat karena adanya anaknya, paling tidak Ale mendapatkan kasih sayang dari mertuanya itu juga.“Kapan kamu cek kandungan lagi?” Mama Mauren menatap Ale ketika sedang asyik memilih baju bayi.“Dua minggu lagi, Ma.” Ale menjelaskan pada Mama Mauren. Dua minggu lagi usia kandungannya menginjak enam bulan. Jadi dia akan memeriksakannya.“Alca tidak pernah ikut memeriksakan kandungannya, coba minta dia untuk ikut juga memeriksakan kandungan. Apalagi sekarang kalian sudah menikah.” Mama Mauren mencoba memberitahu Ale. Memang baru saja mereka menikah. Jadi Alca paling tidak harus mengambil peran dalam tumbuh peran keponakannya, apalagi sekarang dia adalah ayahnya.“Aku akan coba mengatakannya nanti pada Kak Alca, Ma.” Ale sendiri tidak tahu akan berani mengataka