Ale menangis di kamar. Suaminya benar-benar menempatkan dirinya di posisi yang tidak nyaman sekali. Menikah dengan kakak sepupu sang suami jelas bukan pilihan untuk Ale. Jika dia boleh memilih, lebih baik dia sendiri seumur hidupnya, dibanding harus menikah lagi. Namun, justru sang suami membuat surat wasiat yang cukup aneh, dan kini surat wasiat sang suami menjadi masalah di dalam keluarga.
“Kenapa kamu harus meninggalkan warisan sebanyak itu untukku? Kenapa juga kamu meminta aku menikah dengan Kak Alca.” Ale yang melihat foto suaminya merasa begitu terpukul sekali. Dia tidak mengerti kenapa suaminya harus memintanya hal konyol itu. Dada Ale terasa sesak ketika mendapati kenyataan seperti sekarang. Belum hilang rasa sedihnya kehilangan suaminya, justru bertambah dengan keinginan suaminya menikah dengan sepupu sang suami. Ale terus menangis. “Bolehkah aku menukar semuanya itu. Aku tidak butuh semua itu. Aku hanya mau kamu.” Ale memeluk foto Dima. Dia merasa suaminya begitu jahatnya meninggalkan dirinya begitu saja dengan masalah dan harta yang membuatnya tersiksa. Ale menangis terus menangis. Dia merasa begitu bingung kenapa nasibnya jadi seperti ini. Baru sebulan pernikahannya, tetapi suaminya sudah pergi meninggalkannya. Belum lagi, suaminya meminta hal yang benar-benar aneh baginya, yaitu menikah dengan kakak iparnya. *** Hari ini Ale berniat untuk bertemu dengan Alca. Ale merasa jika harus bicara dengan Alca tentang perihal warisan yang tidak masuk akal yang dibuat oleh mendiang suaminya. “Maaf aku terlambat. Jalanan macet.” Alca menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya. “Tidak apa-apa, Kak.” Ale mengangguk. Sedari tadi, dia memang menunggu cukup lama kedatangan Alca. “Kakak mau minum apa?” Melihat Alca yang sudah duduk, Ale menawari Alca. “Tidak perlu, aku tidak bisa berlama-lama.” Alca menolak tawaran Ale. Ale cukup terpaku ketika sikap Alca berubah sekali. Alca dulu adalah pria yang ramah. Namun, kali ini dia begitu ketus saat berbicara. Dia menduga jika ini pasti karena permintaan mendiang suaminya tempo hari. “Katakan apa yang ingin kamu katakan.” Alca tidak bisa berlama-lama bersama dengan Ale. Dia merasa tidak nyaman ketika berada berdua dengan Ale. “Jadi aku ingin mengatakan jika aku tidak mau menuruti permintaan Dima. Aku harap Kak Alca pun melakukan hal itu.” Sakit rasanya ketika apa yang diminta suaminya tidak bisa dipenuhi, tetapi Ale tidak bisa memenuhi permintaan suaminya itu. Baginya, mengganti posisi suaminya terlalu sulit. Karena itu, dia bicara pada Alca. Jika Alca menolak pernikahan ini, tentu semua akan berjalan dengan baik. “Jadi kamu menolak menikah denganku?” Alca menatap Ale tajam. “Iya.” Ale tidak bisa memaksakan hatinya. Sekali pun mendiang suaminya memintanya, tetapi dia tidak akan melakukannya. “Jika kamu tidak menikah denganku, lalu kamu akan menikah dengan orang lain. Setelah itu, saham perusahaan akan kalian kelola sendiri. Semua milik keluarga Janitra akan kamu ambil.” Alca menatap tajam pada Ale. Ale membulatkan matanya. Dia tidak menyangka jika Alca akan mengatakan hal sekejam itu. Padahal tidak ada niatnya sama sekali melakukan hal itu. “Aku tidak berniat untuk menikah dengan siapa-siapa. Kenapa Kak Alca begitu kejam sekali mengatakan hal itu?” Ale benar-benar tidak habis pikir jika Alca akan menuduhnya seperti itu. “Jika memang Kak Alca merasa takut saham itu aku gunakan, aku bisa berikan pada Kak Alca. Jika aku boleh memilih. Aku mau suamiku kembali, Kak. Bukan harta yang dia tinggalkan.” Air mata Ale menetes di pipinya. Tuduhan itu begitu menyakitkannya. Tak ada niatnya sama sekali menguasai saham itu. “Surat wasiat Dima sudah sah secara hukum. Jadi tidak bisa dipindah tangan sembarangan.” Alca menatap Ale. Walaupun wanita itu menangis, tak ada rasa iba sama sekali. “Lalu apa mau Kak Alca. Kak Alca tidak mau saham itu, tetapi Kak Alca menuduh aku akan menikah dengan orang lain yang akan mengakibatkan saham itu jadi milik orang lain.” Ale masih bingung dengan yang diinginkan Alca. Alca menatap Ale yang sedang menatapnya. “Kamu tanya apa yang aku inginkan?” tanyanya memastikan. “Iya, aku ingin tahu apa yang Kak Alca mau?” Ale menatap balik Alca. Wajahnya sudah basah karena air mata. “Menikahlah denganku. Sesuai dengan keinginan Dima.” Alca sudah memikirkan apa yang harus dilakukannya. Dia harus menerima pernikahan dengan Ale demi keluarga Janitra, dan lagi wasiat sang adik harus dipenuhi agar sang adik tenang. Ale membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut dengan apa yang diinginkan Alca. Padahal jelas Alca tidak menyukainya, tetapi pria itu justru memutuskan untuk menikah dengannya. “Aku tidak bisa menikah dengan Kak Alca.” Ale jelas menolak. “Kenapa tidak mau menikah? Jika kamu merasa tidak ingin menguasai harta Dima. Jadi lakukan saja apa yang diminta Dima.” Ale benar-benar tidak habis pikir. Padahal dirinya sudah menjelaskan pada Alca jika tidak ada niatnya menerima warisan itu. “Terserah apa yang Kak Alca katakan. Yang penting aku sudah jelaskan jika aku tidak peduli dengan warisan itu. Jika Kak Alca mau meminta dariku, maka aku akan berikan, tapi tidak dengan pernikahan.” Ale tak kuasa mendapati tuduhan itu lagi. Dia pun meraih tasnya dan segera pergi meninggalkan Alca. Ale menuju ke rumahnya menggunakan taksi. Sepanjang perjalanan Ale terus menangis. Rasanya benar-benar menyesakkan mendapat tuduhan itu. Belum hilang rasa sedihnya atas kematian sang suami, kini dia harus bersedih karena tuduhan itu. Sampai di rumah, Ale bertemu dengan mertuanya. Mama Mauren segera memeluk Ale yang sedang menangis. Berusaha untuk menenangkan menantunya itu. “Kenapa kamu menangis?” Mama Mauren mengajak Ale untuk duduk. “Kak Alca masih menuduhku ingin menguasai harta Dima. Ma, aku tidak mau menerima warisan dari Dima. Aku tidak mau saham perusahaan, tidak mau rumah ini, tidak mau mobil.” Ale menggelengkan kepalanya. Isyarat jika dia tidak mau. Air matanya mengalir deras membasahi wajahnya. “Jika kamu merasa tidak ingin dituduh menguasai harta Dima, maka menikahlah dengan Alca.” Mendengar ucapan dari mama mertuanya, Ale terpaku. Rasanya kecewa mendengar mertuanya sendiri yang meminta menikah lagi. Padahal tanah makam anaknya masih basah. Rasanya, tidak pantas kalimat itu keluar dari mulut seorang ibu. “Apa Mama juga menuduh aku ingin menguasai harta Dima” Ale memastikan pada mertuanya itu. Mama Mauren memilih diam saja. Dia tidak tega menjawab iya pada menantunya itu. Dari sikap mertuanya, Ale juga merasa jika mertuanya juga sedang berusaha untuk mempertahankan semua warisan yang diberikan Dima. Karena itu dia berharap dirinya menikah dengan Dima. “Jika semua mengira aku akan menguasai harta milik Dima. Maka aku akan menikahi dengan Kak Alca.” Walaupun hatinya menolak untuk melakukan semua itu, tetapi demi membuktikan tuduhan itu, dia akan melakukannya.“Baiklah, pernikahan akan dilaksanakan empat bulan sepuluh hari dari hari meninggalnya Dima. Ini sudah sesuai dengan waktu di mana kapan wanita dapat menikah setelah suaminya meninggal.” Papa David menatap keluarga semua yang hadir.Setelah kemarin Ale menyetujui pernikahan dengan Alca, akhirnya semua keluarga segera bertemu. Mereka segera membahas rencana pernikahan yang terjadi antara Ale dan Alca. Pernikahan yang diinginkan oleh Dima. “Baiklah.” Alca setuju dengan semua itu. “Sepertinya tidak perlu ada pesta. Yang terpenting pernikahannya sah saja,” tambahnya. Semua keluarga mengangguk setuju. Lagi pula apa kata orang juga. Baru saja Dima meninggal, tetapi sudah mengadakan pernikahan. Walaupun sebenarnya itu adalah keinginan Dima juga. “Mama akan urus semuanya.” Mama Mauren merasa bertanggung jawab atas pernikahan menantunya. “Jadi sambil menunggu pernikahan ini terlaksana Alca yang akan menjaga Ale.” Mama Mauren menatap Alca. Memindahkan tanggung jawab pada Alca. Al
Ale menunggu alat tes kehamilan terlihat warnanya. Perasaannya campur aduk. Dia bingung karena apa yang harus dilakukannya. Saat dua garis tercetak di alat tes kehamilan, tangis Ale pecah. Dia tidak menyangka jika dirinya akan hamil. Ternyata buah cintanya bersama sang suami hadir juga di rahimnya. “Ale.” Suara panggilan disertai dengan ketukan pintu terdengar. Ale yang mendengar suara pintu segera menghapus air matanya. Dia keluar dari toilet untuk menemui Alca. “Bagaimana?” Pertanyaan pertama yang diberikan Alca pada Ale. “Positif.” Ale menunjukan alat tes kehamilan. Tubuh Alca membeku. Rasanya, dia masih tidak bisa membayangkan akan menikah dengan wanita yang sedang mengandung anak sepupunya itu. Ale dan Alca akhirnya kembali ke ruang perawatan. Di sana sudah ada dokter yang menunggu. Ale segera memberikan alat tes kehamilan pada dokter. Dokter melihat alat tes kehamilan yang menunjukan jika Ale hamil. Karena terdapat dua garis merah di alat tes kehamilan. “Alat tes k
“Huek … huek ….” Ale memuntahkan isi perutnya. Kehamilannya ini benar-benar payah sekali. Padahal sudah masuk empat bulan, tetapi mualnya belum juga hilang. Belum lagi terkadang kepalanya pusing. Setelah isi perutnya keluar barulah Ale merasa lega sekali. Akhirnya lega juga. Dengan segera Ale keluar dari toilet dan membersihkan bibirnya di wastafel di depan kaca toilet. Sebelum keluar dari toilet, Ale merapikan make up-nya terlebih dahulu.Ale keluar dari toilet. Namun, dia dikagetkan dengan kehadiran Alca di dekat toilet wanita. Pria itu berdiri bersandar dengan tembok sambil melipat tangannya di dada. Melihat Alca di sana seketika nyali Ale ciut. Dia justru takut Alca marah. Karena baru saja klien datang Ale tiba-tiba pergi begitu saja. Rasa mualnya, membuatnya tidak sempat berpamitan. “Kak Alca kenapa ke sini? Klien kita ditinggal?” Dengan wajah ragu, Ale bertanya. “Dia sudah pergi.” Alca menjawab ketus. “Kenapa pergi?” Ale menatap Alca dengan rasa penasaran. Alca melepa
Pagi ini Ale bekerja, sayangnya Alca tidak menjemputnya. Karena itu dia memutuskan untuk berangkat bekerja sendiri dengan menaiki taksi. Ale berpikir jika Alca sengaja tidak menjemputnya karena berpikir jika dirinya tidak akan ke kantor. Beruntung pagi ini Ale jauh lebih baik. Jadi bisa datang ke kantor dengan keadaan sehat. Saat sampai di kantor, dia segera ke ruangannya. Kali ini, semangatnya cukup besar untuk ke kantor. Mengingat seharian kemarin dia di rumah. Saat lift terbuka, Ale mengayunkan langkahnya ke meja kerjanya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Anisa, temannya yang berkerja di bagian HRD. “Nisa kenapa di sini?” Ale menatap temannya itu. Penasaran dengan keberadaan sang teman. “Aku dipindahkan ke sini, Al. Memang Pak Alca tidak bilang kamu?” Tubuh Ale membeku. Tidak ada pembicaraan sama sekali tentang hal ini padanya. Jadi tentu saja dia tidak tahu apa-apa. “Maksudnya kamu dipindah sementara ke sini?” tanya Ale memastikan. Nisa sedikit bingung deng
Pernikahan Ale dan Alca diadakan di rumah. Mereka hanya mengadakan acara tersebut dengan sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang. Acara akad nikah pun terlaksana dengan lancar. Tidak ada kendala apa pun. Ale dan Alca kini jadi pasangan suami istri. Keluarga turut senang ketika mereka akhirnya menikah. “Mama titip Ale dan anak Dima padamu, Al.” Mama Mauren memeluk keponakannya. Kini cucunya akan menjadi anak Ale. Tentu saja dia harus menitipkan cucunya pada keponakannya itu. “Alca akan menjaga mereka, Ma. Mama jangan khawatir.” Alca menenangkan Mama Mauren. Ale yang mendengar janji Alca itu hanya dapat mencibir dalam hati. Kadang Ale merasa Alca sering sekali berdusta. Bilang ingin menjaganya, tetapi nyatanya tidak pernah sekalipun Alca menjaganya. Yang ada justru perlakuan ketus yang didapatkan Ale. “Mama tetap jadi mama kamu. Jadi jangan sungkan untuk meminta tolong.” Mama Mauren berpindah pada Ale. Walaupun Ale sudah bukan menantunya karena ditinggal mat
Acara yang selesai menyisakan mama dan papa Alca dan Dima saja. Mereka masih mengobrol banyak hal. “Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, Al. Lagi pula rumah ini kosong nanti jika Ale kamu bawa pulang ke rumah.” Mama Mauren memberitahu keponakannya itu. Ale juga berniat untuk tinggal di rumah Dima. Lebih mudah dirinya yang pindah, dibanding Ale yang pindah. “Al, kalau bisa jangan sampai kamu melakukan hubungan suami istri sebelum Ale melahirkan.” Papa Adriel memberitahu anaknya. Mengingat Ale mengandung anak Dima, haram bagi Alca menyentuh Ale. Dahi Alca berkerut dalam, diiringi dengan alis yang bertautan. Dia benar-benar tidak berpikir hal itu. “Aku tidak akan melakukannya, Pa,” jawab Ale malas. “Bagus kalau begitu.” Papa Adriel merasa jauh lebih tenang karena Alca tidak akan melakukan hal yang dilarang. “Kalau begitu kami pulang dulu.” Papa David berpamitan. “Besok akan ada orang yang akan merapikan dekorasi ini.” Dia memberitahu Alca sambil berpamitan. Alca pun mengangguk. B
“Tidak.” Alca menjawab sambil berlalu pergi.Mendapati jawaban itu, membuat Ale terpaku. Apalagi Alca pergi begitu saja. Ale mengalihkan pandangan pada makanan yang dibuatnya, tak tersentuh sama sekali. Padahal, dia membuat masakan cukup banyak.Ale mengembuskan napasnya. Dia masih terus bertanya dalam hatinya, ‘kenapa Alca terus bersikap seperti itu padanya?’ Jika boleh jujur, pernikahan ini pun bukan keinginannya, lalu kenapa dirinya yang jadi pelampiasan kemarahan.“Mungkin dia masih butuh adaptasi.” Ale berusaha untuk berpikir positif. Berusaha untuk tetap kuat dengan sikap Alca. Berharap setelah mereka tinggal bersama cukup lama, mungkin Alca akan berubah.Ale pun memilih untuk segera kembali ke meja makan. Menikmati makanan yang tadi dibuatnya.“Aku pikir setelah ada orang di rumah ini, aku tidak akan makan sendirian.” Ale tersenyum tipis ketika dia bergumam sendiri. Ternyata dia tetap makan sendiri, walaupun ada Alca di rumah.Seharian Alca menikmati waktu di rumah dengan memba
Ale segera berdiri ketika mendengar suara mobil. Menyambut kedatangan Alca. “Kak Alca mau aku siapkan makan sekarang?” Ale segera melemparkan pertanyaan itu saat Alca baru saja masuk.Alca melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Waktu menunjukan jam delapan. “Kamu belum makan?” tanyanya.“Aku sudah makan.” Ale tadi memang sengaja makan lebih dulu. Jika makan berat saat malam, dia merasa perutnya tidak enak. Jadi dia makan tepat jam tujuh. Sisanya, dia akan makan buah.“Jika kamu sudah makan, tidak perlu kamu siapkan. Aku mau langsung tidur, jadi tidak makan.” Selesai bicara Ale segera berlalu ke lantai atas. Seperti biasa, dia mengabaikan Ale.Ale hanya bisa mengembuskan napas. Sepertinya Ale sudah mulai terbiasa diabaikan oleh Alca. Apalagi ditolak Alca.“Aku hanya ingin bersikap baik, tetapi sepertinya Kak Alca masih belum bisa menerima.” Di saat Ale sudah mulai berdamai dengan keadaan, Alca justru terus masih kesal dengan Ale. Karena Alca tidak mau makan, akhirnya Ale memi